...~ Happy Reading ~...
...________________...
...*...
...*...
...*...
Tok,
Tok,
Tok!
Telapak tangan Rossa berkeringat. Seluruh tubuhnya seolah dibuat tremor saking cemas.
Gimana kalo dia bukain pintu? Ngomong apa aku nanti? Ya Tuhan, tolong aku!
Sambil menunggu pintunya dibuka, beberapa kali Rossa mengusap wajahnya sambil menepuk pipi, menghilangkan kegugupan.
Lama banget sih.
Kembali ia hendak mengetuk pintu sekali lagi. Namun, tangan itu tiba-tiba menggantung tepat di depan seraut wajah tampan yang baru saja membuka pintu.
Jantung Rossa tiba-tiba berpacu dengan kencang, bak mengikuti lomba maraton. Kinerjanya dua kali lipat dari level normal. Gadis itu terpaku, tubuhnya mendadak diam tak bergerak sedikitpun. Bernafas pun, rasanya sulit.
Ia baru tersadar ketika pintu itu hendak ditutup kembali oleh yang empunya kamar.
"Just a moment." Cegahnya dengan sebelah tangan yang menahan pintu.
Terdengar Alvino mendengus kesal. Tanpa ingin memandangi gadis di depannya, ia memalingkan wajahnya ke tempat lain. Never mind, dengan diberi kesempatan seperti ini saja sudah cukup bagi Rossa.
Asalkan aku yang menatapmu.
Batin Rossa dengan tatapan lekat tertuju pada wajah tampan di depan sana.
"Ma-maaf, sudah mengganggu waktumu." Menunduk. Merasa tak sanggup untuk melihatnya lebih lama lagi. "A-ak-aku." Tergagap, tidak tahu harus berkata apa.
"Ck." Sekali lagi Alvino hendak menutup pintu, tapi lagi-lagi ditahan Rossa.
"Bolehkah aku beraktivitas di luar mulai besok?" Satu kalimat pertanyaan pendek itu saja, nyatanya cukup menguras sebagian besar keberanian Rossa.
"Aku tidak peduli!"
Brakkk!
Belum lagi suara pintu yang tertutup keras, satu kalimat awal tadi saja sudah sangat tajam mengiris hati Rossa. Sakit sekali rasanya.
Gadis itu terperanjat kaget dengan tangan yang menyentuh dadanya. Namun, itu sama sekali tidak sebanding dengan ucapan Alvino tadi.
Masih berdiri di depan pintu kamar itu, Rossa memejamkan mata sambil menggigit bibirnya kuat. Menahan sesak yang mulai mencekiknya.
Gak papah, Rossa. Tetap sabar dan kuat.
Batinnya menguatkan diri sendiri. Sejak bersedia mengikuti Alvino dan keluarganya, gadis manis itu sudah siap dengan segala konsekuensinya.
"Huufffttt, semangat. Jangan nyerah!" ucap Rossa. Gadis itu tersenyum paksa menyemangati diri, yang sebenarnya sedang terluka.
Gadis itu segera beranjak dari depan pintu kamar Alvino. Menuruni tangga dengan perlahan, dan langsung menuju kamarnya. Mengunci diri di dalam sana, lalu meluapkan segala rasa yang membebani dan mencekiknya.
Malam semakin larut, Rossa baru saja tertidur setelah mengirimkan sebuah pesan chat untuk seseorang yang menelponnya tadi.
Di balik pintu kamarnya, mami Lusy tengah bersandar di sana, mendengarkan segala keluh yang diluapkannya.
"Mami tau itu sakit, Nak. Maafin mami! Tapi jika tidak dengan begini, kalian tidak akan pernah mau saling bicara. Mami mau kalian jadi biasa, meski awalnya seperti ini."
Wanita paruh baya itu lalu segera berlalu dari sana, menyusul suaminya yang mungkin saja sudah lebih dulu terlelap.
Berbeda lagi di sebuah kamar tidur yang terletak di lantai dua rumah besar tersebut. Ruangan yang didominasi warna hitam ini, menggambarkan dengan jelas maskulinitas pemilik kamarnya. Tidak hanya itu, alasan lain ruangan tidur tersebut diberi sentuhan gelap, adalah bentuk dari suasana hati. Lebih tepatnya suasana hati penghuni kamar. Dimana ia masih saja tidak lepas dari masa lalu yang melukis gelap dalam hidupnya.
Di balkon kamar, Alvino tengah berdiri di sana, berpegang pada pembatas balkon. Pandangannya melayang jauh di hamparan kota. Kelap-kelip lampu di setiap lorong dan hunian, mempertontonkan vista malam yang indah. Namun, tak seindah hati Alvino.
Seluruh penghuni rumah besar itu sudah terlelap masing-masing ke dalam dunia mimpi. Hanya Alvino saja yang masih larut dengan kenangan masa lalunya.
I miss you ....
Alvino memejamkan mata, mengizinkan dinginnya angin malam membekukan hatinya yang dipenuhi rindu. Hanya rindu, tanpa rasa ingin meraih dan memiliki lagi.
Enam bulan telah berlalu, dan kamu masih jadi pemilik hati ini. Maafkan aku yang belum bisa mencintai sahabatmu.
Lelaki itu sedikit menyesal. Sebab permintaan wanita yang dicintainya, tidak bisa ia kabulkan kali ini.
...*****...
Gelap berangsur-angsur pergi. Mentari mengintip dengan antusias di ufuk timur. Kabut dan embun pun menghindar, merasa malu dengan waktu yang seharusnya bukan lagi untuk perannya.
Buana kembali cerah dibanjiri terangnya surya. Seseorang masih betah di dalam tidurnya. Suara ketukan di pintu berulang kali, berhasil membangunkannya.
"Engg." Mengerang kecil. Perlahan ia bangun lalu duduk beberapa detik hingga nyawanya terkumpul semua.
Bumil muda itu melirik pada jam dinding yang tersemat pada dinding kamarnya.
"Hah? Hampir jam 8? Ah, telat lagi."
Suara ketukan pintu kembali memanggilnya. Gadis manis itu beranjak dari tempat tidurnya dengan sedikit berat.
Ceklek.
"Morning, Sayang! Pulas bener tidurnya." Mami Lusy sudah berdiri di depan pintu dengan seorang pelayan di belakangnya, yang membawa nampan berisi sarapan untuk menantunya.
"Morning, Mi," balas Rossa dengan senyum kecil. Ia memiringkan sedikit kepalanya melihat ke belakang sang mertua. "Ngapain repot-repot sih, Mami? Rossa bisa bikin sendiri kok, maaf bangun telat." Merasa tidak enak hati.
"Kenapa? Kamu anak mami, gak ada salahnya mami siapin buat kamu. Juga kamu boleh tidur sepuasnya, asal jangan telat makan. Jangan sampai cucu mami kelaparan."
Meminta pelayan membawakan sarapan Rossa dan meletakkannya ke dalam.
"Makasih, Mi."
"Sama-sama Sayang. Ayo sarapan dulu! Mau jalan sama temen kan?"
"Ah, mami yang terbaik." Terharu lalu berhambur memeluk mertuanya dengan manja.
"Kamu juga terbaik buat mami." Mengusap kepala gadis manis itu. "Ya sudah, mami tinggal dulu. Kalau sudah siap, kasih tau mami yah."
"Siap, Bu boss!" ucap Rossa dengan gerakan hormat. Mertuanya tertawa melihat tingkahnya.
Mami Lusy dan pelayan segera berlalu meninggalkan Rossa. Gadis itu menutup pintu lalu masuk dan menikmati sarapannya.
Beberapa menit setelah itu, di ruang makan. Alvino baru saja turun dengan sudah berpakaian rapi, menghampiri ayah dan ibunya yang sudah lebih dulu di sana.
"Pagi, Mi." Memberikan satu kecupan di pipi ibunya. "Pagi, Pi." Menarik kursi lalu duduk di samping sang ayah.
"Pagi, Sayang." Sambut mami Lusy.
"Udah mau jadi ayah, berhenti mencium mami kamu." tegur sang papi.
Alvino tergelak. "Apaan sih, udah mau jadi kakek, gak usah cemburuan." Tiba-tiba ia menghentikan tawanya, seolah menyadari sesuatu.
Apakah aku mengakuinya?
Batinnya bertanya pada diri sendiri. Sekilas, matanya melirik ke arah bangku kosong yang sering diduduki Rossa. Hal itu tidak lepas dari pengamatan ibunya.
Kau mencarinya? Pelan-pelan waktu akan mengubah hatimu, nak.
Wanita itu tersenyum dalam hati dengan sejuta harapan baik. Begitu juga dengan ayahnya.
Ketiganya lalu menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Tidak lama setelah itu, Alvino berpamitan ke kantor.
Tiga puluh menit selepas kepergian Alvino, Rossa pun keluar dari kamar dengan penampilan rapi dan sangat cantik.
"Jangan cantik-cantik amat, Sayang! Takutnya ada yang ngelirik. Kasian anak mami nantinya." Mami Lusy menggoda menantunya.
Rossa tertawa kecil. "Ada-ada aja Mami. Lagian gak ada yang bakal suka sama wanita hamil. Orang Rossa juga gak cantik."
"Kata siapa? Putri mami cantik kok. Yang bilang gak cantik, matanya bermasalah tuh."
Gadis manis itu tertawa lagi. "Makasih, Mi, Rossa gak punya uang buat kasih ke Mami," candanya.
"Cukup kasih mami cucu aja, itu sangat berharga," ucap mami Lusy dengan tulus.
Selesai bercanda dengan ibu mertuanya, Rossa lalu berpamitan. Tadinya wanita parah baya itu memaksa untuk menantunya diantar oleh sopir, tetapi Rossa menolaknya. Ia sudah lebih dulu memesan taksi.
Gadis itu kemudian berjalan menuju gerbang besar rumah mega tersebut. Satpam di sana sigap membuka pintu lalu menunggu sampai menantu majikannya pergi barulah ia menutup kembali.
Tanpa Rossa sadari, seseorang tengah memantaunya dari balik kaca mobil lain. Begitu taksi yang ditumpangi Rossa melewati mobil tersebut, seseorang di dalam sana turun dari mobil dan menyuruh sopirnya mengikuti kemana taksi itu membawa istrinya.
"Ikuti dia saja, Pak! Kabarin Vino, dan tolong jaga sampai dia kembali. Vino naik taksi saja!"
Oh, jadi ini alasan gak mau diantar temannya? Takut ketahuan intilin istri sendiri.
Sopir keluarga Dharmawan itu menggeleng kepala dengan senyum kecil melihat tingkah anak majikannya. Alvino memang selalu diantar jemput sekretaris yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Namun, kali ini ia meminta sopir keluarga yang mengantarnya. Mungkin inilah alasannya.
"Loh, Tuan tidak pakai mobil lain saja?" tanya Pak sopir pura-pura tidak tahu.
"Tidak usah, Pak! Nanti ketahuan mami lagi. Males banget."
Gengsi sekali, Tuan. Ntar dilirik orang baru nyesel.
Sopir itu pun melaju mengikuti Rossa, sedangkan Alvino ke kantor dengan menggunakan taksi.
..._____🦋🦋 MR 🦋🦋_____...
...Selanjutnya …...
...*...
...*...
...*...
...*...
...*...
Hay semuanya 👋
Makasih buat yang mau mampir dimari 🙏😍
Jangan lupa tinggalkan like dan komen yah 🥰
Mohon dukungannya yah, genks 🙏
Sampai jumpa di episode berikutnya 🤗
Ig author : @ag_sweetie0425
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
EuRo
gemes deh ama alvin ... kalau rossa di ambil orang nyesel deh lo. gigit jari.
2022-03-18
1
𓂸ᶦᶰᵈ᭄🇪🇱❃ꨄ𝓪𝓢𝓲𝓪𝓱࿐
salken yah thor semangat💪
2022-02-22
2
Nazwatalita
Gengsinya gede bener. Pengen aku getok kepalanya
2021-12-21
2