“Tapi Dirga, aku lebih membutuhkan kamu!” Alika masih menggenggam kuat lengan suaminya. Merendahkan nada bicara agar orang-orang di sekitar tak mendengar ucapannya.
“Lepaskan atau kamu akan malu sendiri di sini!” ancam Dirga.
Perlahan genggaman Alika mulai merenggang. Dirga menarik tangannya dan segera menyusul Lula ke ruangan dokter, setelah sebelumnya menatap tajam Hito yang selalu saja mengikuti Lula kemana pun.
Sementara Alika terdiam menatap punggung suaminya yang perlahan menghilang di balik pintu. Padahal ia sengaja memajukan jadwal kontrol untuk memanas-manasi Lula dengan kemesraannya bersama Dirga. Tetapi sungguh di luar dugaan, senjatanya justru berbalik menyerangnya.
Perhatian Alika kini tertuju kepada laki-laki yang duduk di barisan kursi sebelah, yang juga sedang menatapnya.
***
“Selamat pagi!”
Lula refleks menoleh saat mendengar suara decitan pintu yang kemudian disusul oleh sapaan ramah. Begitu pun dengan dokter yang tampak terkejut melihat laki-laki yang tiba-tiba masuk.
“Kamu? Tumben,” ucap sang dokter dengan kerutan tipis di dahi.
“Aku juga perlu tahu kondisi anakku.”
Dirga lantas menutup kembali pintu dan berjalan santai dan duduk di sisi Lula. Wanita itu menunduk saat menyadari Dirga menatapnya.
“Oh ya ... Suster Selma, tolong pintunya dikunci dulu.” Dokter Allan menunjuk pintu.
“Kenapa dikunci, Dok? Kan pintunya sudah tertutup.” Suster Selma tampak bingung. Karena selama ini, pintu hanya sebatas ditutup, tetapi tak dikunci.
“Sudah, kunci saja. Tidak usah tanya kenapa,” ujarnya tanpa bantahan.
Meskipun bertanya-tanya dalam hati, tetapi Suster Selma beranjak menuju pintu dan menguncinya.
Melihat sepasang suami-istri itu saling diam, Dokter Allan segera memecah kebekuan dengan melakukan pemeriksaan awal.
“Bu Lula ada keluhan? Misal mual atau pusing?” tanya Dokter Allan.
“Mual sudah tidak, Dok. Cuma sering sesak napas dan kesulitan mencari posisi tidur yang nyaman.”
“Itu normal untuk kehamilan menjelang persalinan. Sekarang kita USG dulu ya.”
Lula mengangguk, kemudian berpegang pada kursi untuk berdiri. Namun, Dirga dengan gerakan cepat membantunya.
Dengan dibantu seorang perawat dan Dirga, Lula berbaring di atas ranjang pasien. Perawat menutupi bagian kaki hingga batas pinggang dengan selimut tipis.
“Mau apa kamu?” Dirga menghalau tangan Dokter Allan ketika menyentuh ujung selimut yang membalut tubuh istrinya. Dokter Allan menatapnya bingung, begitu pun Lula dan perawat.
“Kamu ini kenapa?” tanya Dokter Allan.
“Kamu yang kenapa? Itu mau apa menarik selimut?” Dirga menunjuk tangan dokter dengan kesal tanpa sikap hormat sama sekali.
“Untung masih sepupu, kalau tidak sudah kuminta keluar,” gerutu Dokter Allan menatap perawat. “Suster Selma, tolong bantu Bu Lula. Suami pasien sepertinya terlalu posesif.”
Suster tertawa kecil, kemudian menyibak selimut dan pakaian yang membalut tubuh Lula hingga batas bawah dada. Menampilkan perut yang membesar. Dirga terkesiap, untuk pertama kali melihat perut istrinya. Sedangkan Lula menundukkan pandangan.
“Kamu jangan lihat! Biar Suster Selma saja yang pegang!” pekik Dirga membuat Dokter Allan memutar bola mata dengan malas.
Lula merasakan sensasi dingin ketika Suster Selma mengoles gel pada perut dengan hati-hati, lalu menggeser-geser alat ke atas perut.
Dirga terkesiap ketika mendengar suara detakan jantung yang berpacu dengan cepat. Kemudian menatap perut istrinya dan mendapati gerakan-gerakan aktif dari sana. Muncul dorongan yang begitu kuat dari dalam hati untuk menyentuhnya. Tetapi tentu saja ia tak akan berani.
“Itu detak jantung anak kamu,” ucap Dokter Allan tanpa menoleh. Tatapannya hanya tertuju ke arah berlainan.
“Apa dia sehat?” Suara Dirga terdengar bergetar.
“Sehat.”
Selepas memeriksa detak jantung, Suster Selma menggeser alat pada permukaan perut. Dirga kembali membeku, cairan bening menggenang ketika tatapannya tertuju pada layar.
“Itu anak kamu!” ucap sang dokter.
Dirga belum sanggup berkata-kata. Begitu takjub, apa lagi ketika menatap wajah mungil yang tampak sedang menguap itu. Tangan kecilnya bergerak-gerak dengan lembut menutupi sebagian wajahnya. Sangat menggemaskan bagi Dirga, hingga rasanya ingin menangis karenanya.
“Dia laki-laki atau perempuan?” tanya Dirga tiba-tiba.
Dokter Allan tampak terkejut mendengar pertanyaan itu. “Jadi kamu belum tahu jenis kelamin anakmu?”
Dirga menggeleng pelan, sembari menatap Lula. Ya, Lula tidak memberitahunya tentang jenis kelamin anaknya.
Sambil berdecak, Dokter Allan menatap layar dan menunjuk ke arah layar. “Lihat, itu jenis kelaminnya.”
Dahi Dirga berkerut menatap layar. Tentunya, sebagai orang awam ia tak dapat menebak gambar yang tersamar itu.
“Apa itu, Lan? Aku kan tidak bisa membaca gambar USG.”
“Anak kamu berjenis kelamin laki-laki. Beratnya 2,8 kilogram dan panjangnya 48,6 centimeter. Kamu harus jadi ayah yang siaga. Karena kelahiran semakin dekat, perkiraan dua minggu lagi.”
Seakan melambung tinggi, Dirga tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Masih dengan raut tak percaya, ia menatap layar dengan senyum kebahagiaan.
“Kamu yakin dia bayi laki-laki?” tanya Dirga menatap Dokter Allan.
“Laki-laki atau perempuan sama saja. Yang penting sehat dan lahir selamat,” ucap Lula.
***
Pemeriksaan selesai. Dirga membantu Lula untuk bangun dengan memeluk punggungnya. Sebuah bentuk perhatian yang membuat Lula berdebar. Dirga juga membantunya berjalan menuju kursi, walaupun ia tahu Lula lebih dari mampu untuk berjalan sendiri.
“Pelan-pelan jalannya.” Dirga mendudukkan Lula di kursi. Kemudian duduk di sisinya. Entah sadar atau tidak, ia tak pernah melepas genggaman tangannya.
“Aku panggil kamu Lula saja, ya. Kita kan sudah menjadi satu keluarga karena kamu istrinya Dirga,” ucap Dokter Allan dengan ramah.
“Iya, Dokter.”
“Kamu panggil saya kakak saja. Jangan seperti suami kamu ini, yang tidak punya sopan-santun sama yang lebih tua.” Ucapan Dokter Allan membuat Dirga mendelik.
Lula hanya menjawab dengan anggukan kepala diiringi senyuman tipis.
“Oh ya, Dok ... Em maksud saya, Kak Allan ... Saya harus apa menjelang kelahiran?”
“Lakukan olahraga kecil seperti berjalan-jalan di pagi hari, banyak jongkok, dan satu ini tidak kalah penting.”
“Apa?” tanya Lula dan Dirga bersamaan.
“Lebih sering berhubungan suami-istri.”
Lula dan Dirga terdiam.
“Berhubungan intim pada bulan-bulan akhir menjelang persalinan dapat menstimulasi produksi hormon oksitosin yang merangsang kontraksi."
Wajah Lula dan Dirga mulai memerah.
"Pada usia sembilan bulan, perut ibu hamil sudah sangat besar dan membuat banyak posisi yang tidak mungkin dilakukan. Salah satu posisi yang populer dan aman adalah penetrasi dari belakang. Spoon position bisa menjadi pilihan yang nyaman untuk ibu hamil menjelang kelahiran. Bisa juga menggunakan posisi women on top.”
Meskipun terdengar vul*gar, namun Dokter Allan sangat santai mengucapkan. Berbeda dengan sepasang suami istri di hadapannya.
Lula dan Dirga saling melirik, rona merah di wajahnya terlihat sangat jelas.
“Kamu ini dokter spesialis kandungan atau dokter kela*min?” tanya Dirga yang tak dapat menyembunyikan rona merah di wajahnya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Sulis Tyawati
senangnya aq masih bsa bertemu dg dokter pebinor ini😁😆
2024-12-05
0
Trisna
Dokter Allan tau aja cara membuat situasi memanas
2024-10-17
0
Soritua Silalahi
🤣🤣🤣
2024-08-24
0