"Nggak ma!"
Ben terlihat begitu murka dan tak terima saat mamanya meminta laki-laki itu untuk menikahi Putri, gadis muda yang telah ditabraknya tepat dua minggu yang lalu.
"Ben, please mama mohon, nikahi Putri nak!"
"Ma, tolong dong jangan main-main, ini tuh hal serius ma, ini bukan lagi soal keinginan mama yang selalu meminta Ben untuk tinggal di Jakarta, ini nggak mungkin ma, apa kata orang, apa kata teman-teman Ben, kalau tahu ternyata Ben menikahi gadis berkursi roda." Balas Ben dengan tatapan mengiba.
"Cukup Ben!" Maura beteriak keras di depan putra keduanya itu.
"Dengan keadaan Putri yang sekarang, kamu pikir itu kemauan dia, kamu lupa keadaan nya jadi seperti itu gara-gara siapa, apa perlu mama ingetin lagi Ben, kalau kamulah penyebabnya, kamu penyebab gadis itu kehilangan masa depannya!"
"Dan ingat Ben, umur kamu sekarang! seharusnya kamu itu sudah memiliki istri dan anak, sampai kapan kamu akan hidup sendiri terus Ben, kamu butuh seseorang untuk mendampingi kamu."
"Tapi nggak harus sama perempuan itu juga kan ma!"
"Pokoknya mama nggak mau tahu, ikuti kemauan mama, atau jangan pernah lagi anggap mama ini sebagai mama kamu!"
"Ma, dari awal mama tahu kan, kalau Ben sudah berjanji akan bertanggung jawab sepenuhnya sama gadis itu, tapi satu hal yang mama harus tahu, Ben tidak akan menikahi gadis itu ma,"
"Dengar mama Ben, apakah sebelum nya mama pernah meminta sesuatu hal dari kamu?"
Ben menggeleng..
"Jadi boleh kan, mama meminta satu aja permintaan dari kamu, dan hanya kali ini aja mama meminta!" lanjut Maura dengan kedua tangan yang dikatupkan, terlihat begitu memohon padanya.
Ben memang laki-laki yang egois, berwatak keras, dan tidak mudah peduli, namun saat melihat sorot mata sendu penuh permohon dari seorang wanita yang berstatus ibunya itu, hati Ben mendadak lemah, dan tak berdaya.
Terlebih saat dia mengingat seberapa besar pengorbanan seorang ibu untuk anaknya, dan setelah ia mengingat-ingat beberapa waktu kebelakang, hingga umurnya kini menginjak 29 tahun, belum sekalipun ia memberikan sesuatu hal yang membuat mamanya itu tersenyum, kecuali saat ia mendapat kan rangking sewaktu sekolah dulu.
"Mama seneng kalau seandainya Ben menikah dengan gadis itu?" ujar Ben kemudian.
"M-maksud kamu?" Maura tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, namun sorot matanya menunjukkan binar kebahagiaan.
"Mau,?" lanjut Maura dengan sedikit tidak sabaran.
************
"Seharusnya kamu nggak perlu berbicara begitu dengan bu Maura Yan, lagi pula apa salahnya sih jika kita yang merawat Riri sampai dia sembuh!" ujar Arfan pada Yani yang berstatus istrinya itu.
"Ck, kamu pikir dengan semua keterbatasan yang kita miliki, akan cukup untuk mengobati dia mas, nggak akan!"
"Dan jangan lupakan satu hal, anakku Evelyn dan Rena, bukan Putri." balas Yani yang cukup membuat Arfan terhenyak.
"Kita itu sudah cukup susah, dan aku nggak mau jika beban kita semakin bertambah karena anak kamu yang tidak berguna itu." lanjut Yani dengan suara lantangnya.
"Yan, kenapa? kenapa kamu harus bahas ini lagi, bukankah kamu menyayangi Riri sama seperti kamu menyayangi Evelyn dan juga Rena, bukankah kamu juga telah berjanji tidak akan mengatakan bahwa kamu bukanlah ibu kandungnya Yan?"
"Itu dulu, tapi tidak untuk sekarang!"
"Yan, ini nggak adil buat Riri."
"Terserah kamu mau mengatakan apapun, aku sungguh tidak peduli, yang pasti aku tidak sudi merawat anak kamu yang cacat itu lagi mas, jadi sebaiknya kamu segera hubungi keluarga bu Maura, katakan pada putranya, agar bertanggung jawab untuk menikahi Putri, kalau tidak kita akan laporkan mereka ke polisi."
"Yan?"
"Sudahlah mas, bukankah aku sangat baik, seharusnya kamu bersyukur dengan ide yang aku kasih ini, kamu ingat bukan, yang Dokter katakan bahwa Putri kemungkinan mengalami kelumpuhan permanen."
Sementara itu, Putri yang hendak memberi tahu sang ayah bahwa obatnya telah habis pun ia urungkan, dengan pelan ia memutar kursi roda untuk kembali kedalam kamarnya dengan perasaan sedih.
Putri membuka dan menutup kembali pintu kamarnya dengan pelan, kemudian ia memutar kembali kursi rodanya kearah jendela kaca kamarnya, lalu menumpahkan tangisnya disana, rasanya ia tak percaya dengan apa yang ia dengar di dalam kamar ayahnya tadi.
Setelah kepulangan nya dari rumah sakit 3 hari yang lalu, sikap Yani memang sangat berbeda dari biasanya, wanita yang dianggap ibu kandungnya itu, selama ini memang selalu membedakan hal apapun dengan Adik-adiknya, namun Putri tak keberatan, dan selalu menganggap bahwa karena dirinya memang harus mengalah untuk kedua adiknya itu.
Namun hari ini, ia mendapat kejutan tak terduga, bahwa ternyata dirinya memanglah bukan anak kandung Yani, yang menurut Putri adalah wanita hebat kebanggaan nya.
Putri terus memegangi dadanya yang terasa sesak dan ngilu, tak pernah menyangka bahwa ia akan mengalami hidup sepahit ini, dan untuk pertama kalinya ia marah dengan keadaan nya saat ini.
Padahal sebelumnya ia sama sekali tak merasa tertekan dengan keadaan dirinya, saat di nyatakan cacat oleh pihak rumah sakit.
"Apa mungkin laki-laki sedewasa dan setampan kak Ben mau menikahi ku, terlebih aku adalah gadis cacat, rasanya sangat tidak mungkin." batinnya semakin pilu.
Putri mengusap kasar air matanya, bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka, menampilkan sosok Arfan sang ayah dengan raut wajah yang tak kalah sedihnya.
"Sayang, kok mukanya sedih gitu?" ujar sang ayah setelah memperhatikan wajah murung putri pertamanya itu.
"Ayah boleh Riri bertanya?"
"Silahkan sayang, tentu saja boleh!"
"Apa benar yang dikatakan Dokter, bahwa Riri akan mengalami lumpuh permanen yah?" tanya Putri, dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak sayang, itu tidak benar, Riri pasti sembuh nak, ayah yakin!" Arfan pun memeluk Putri berharap bisa menyalurkan sedikit kekuatan untuk anak gadisnya itu, meski sebenarnya ia pun merasakan kesedihan yang begitu mendalam.
"Apa ayah menyesal mempunyai anak seperti Riri yah,?" ujar Putri setelah melepaskan pelukan dari ayahnya.
"Kamu ini bicara apa sih nak, mana ada begitu, apapun yang terjadi kamu itu tetap menjadi Riri anak kebanggaan ayah!"
"Benarkah?" Lagi-lagi cairan bening itu keluar dari kedua bola matanya.
"Maafkan Riri, karena tidak bisa jadi anak yang berbakti, dan berguna untuk keluarga."
"Sudah ya jangan berbicara seperti itu lagi, ayah tidak suka!" balas sang ayah.
"Seandainya hari itu Riri lebih berhati-hati, seandainya saat itu Riri tidak keluar, seandainya_"
"Cukup sayang cukup, itu semua sudah takdir nak, nggak boleh seperti itu ya!"
"Tapi yah?"
"Sudah sudah, ayo Ayah bantu untuk berbaring, ini sudah waktunya kamu beristirahat nak!" ujar sang Ayah yang kemudian membantu Riri untuk berbaring diatas tempat tidurnya.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Reza Indra
sedih nichh.. tanpa sadar air mata sdh jatuh.. 😥😥😥
2023-06-11
0
epifania rendo
sabar ya putri
2023-06-07
0
Qaisaa Nazarudin
Apa kamu lupa itu terjadi murni atas keteledoran dan kesalahan kamu,,Mending keluarga Putri gak nuntut kamu, dan gak lapor kamu ke polisi..
2023-01-15
0