Ketahuan

Perlahan Adrian membuka pintu kamar mereka. Terlihat Erina sedang berkemas dengan semua baju dalam kopernya.

"Erina, apa yang kau lakukan?" Adrian langsung mengambil baju yang sedang dipegang Erina dan membuangnya ke atas ranjang.

"Cintya sudah bangun, aku harus pergi sebelum dia tahu bahwa aku adalah istri keduamu. Ayo, ceraikan aku sekarang juga," ucap Erina dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak, kau tidak bisa pergi begitu saja. Bagaimana dengan Arga? Dia sudah terbiasa denganmu. Lihat saja saat tadi Cintya ingi menggendongnya. Arga tidak mau."

"Ada ibu. Arga juga menyayanginya."

"Tidak, Erina. Aku tidak mau bercerai denganmu. Aku sangat mencintai mu. Aku tidak bisa kehilangan dirimu." Adrian menggenggam tangan Erina. Menatapnya dengan penuh permohonan.

"Ini yang aku takutkan. Kau tidak akan bisa adil padaku maupun Cintya. Kau hanya akan membuat salah satu dari kami tersakiti. Apa kau tidak melihat seberapa besar perjuangan Cintya sampai dia koma selama dua tahun. Demi apa? Demi melahirkan anakmu."

"Erina, aku berjanji akan bersikap adil pada kalian. Berikan aku waktu, aku akan memberi pengertian pada Cintya."

"Tidak, ini tidak benar. Aku tidak mau menjadi orang ketiga di pernikahan kalian. Apa kau kira kami para wanita siap untuk berbagi cinta? Tidak, Adrian, kau harus tahu itu."

"Ibu juga pasti akan sangat marah. Beliau sudah terlanjur menyayangi mu. Bahkan, setelah kematian adikku tiga tahun lalu, akhirnya beliau kembali tersenyum karena mu."

"Adik? Aku tidak pernah dengar."

"Ya, dia selama ini kuliah di Amerika dan tinggal bersama kakek kami. Dia kembali setelah menyelesaikan studinya. Dan baru satu bulan dia ada di sini, dia meninggal karena kecelakaan. Padahal Ibu sangat menyayanginya. Sejak itu ibu tidak mau tersenyum. Setelah kau datang, semuanya berubah. Ibu lebih banyak tersenyum dan seperti mendapat anak perempuannya lagi. Makanya saat kau meminta berpisah, dia menolak."

Erina menundukkan kepalanya. Sesungguhnya ia sangat berat jika harus meninggalkan mereka. Tapi, semua ini ia lakukan agar tidak menjadi orang ketiga di pernikahan orang lain. Karena dulunya, ia pernah merasakan saat suaminya berselingkuh dengan wanita lain saat mereka baru dua bulan menikah.

Setelah ditelusuri, ternyata selingkuhan suaminya adalah mantan pacarnya dulu. Memang ia tidak pernah melihat wajah sang pelakor karena ia memergokinya dari pesan mesra. Yang ia tahu, suaminya selalu memanggil wanita itu dengan sebutan Mermaid. Rasanya sakit teramat sakit, namun karena sedang hamil, ia memilih mempertahankan rumah tangga mereka. Dan karena ia tahu bagaimana rasanya didatangi pelakor, ia tidak ingin menjadi pelakor meski harus mengorbankan hatinya.

Erina langsung menggelengkan kepalanya dan menepis pikiran tentang masa lalunya itu. Ia tidak ingin memberatkan sang suami yang sudah tenang di sana.

"Tidak, maafkan aku. Aku tidak bisa. Aku pernah merasakan di posisi Cintya, dan itu sangat menyakitkan. Aku tidak ingin menyakitinya."

Erina menutup kopernya, lalu membawanya menuju keluar kamar. Adrian segera mengejarnya dan terus membujuknya.

"Erina, ku mohon, pertimbangkanlah lagi. Kau bahkan tidak mengucapkan selama tinggal pada Arga. Artinya kau memang belum siap berpisah darinya, bukan?"

Ucapan Adrian membuat Erina langsung berhenti. Ia menoleh ke box bayi tempat dimana Arga sedang tidur. Ia menitihkan air mata, lalu menyekanya segera.

"Aku hanya tidak ingin mengganggu tidurnya. Aku sudah menulis semua rutinitasnya dan juga apa yang dia butuhkan. Catatannya ada di atas nakas. Sekarang izinkan aku pergi."

Erina pun membuka pintu yang ternyata sejak tadi tidak tertutup rapat. Mungkin karena Adrian terkejut melihat kopernya sehingga ia lupa menutup rapat.

Saat pintu sudah terbuka, alangkah terkejutnya Erina saat melihat Cintya sudah ada di depan pintu dengan kursi rodanya.

"Cintya?" Erina menutup mulutnya. Adrian juga terkejut melihat keberadaan Cintya di sana. Bahkan kini, Cintya terlihat sudah berlinang air mata.

"Mbak Cintya, sejak kapan di sini. Saya baru saja menaruh Arga di boxnya." Erina mencoba terlihat setenang mungkin.

"Sejak Adrian mengatakan bahwa dia tidak ingin menceraikan mu." Cintya menatap dingin ke arah mereka berdua.

Adrian dan Erina sama-sama terkejut. Mereka hanya bisa saling pandang.

"Kenapa kau tega mengkhianati aku, Adrian, kenapa kau menikah lagi?" Cintya menatap Adrian dengan perasaan penuh kekecewaan.

"Karena dia memang membutuhkan istri yang bisa terus mendampingi dirinya. Ibu yang bisa merawat anaknya dengan sangat baik."

Tiba-tiba saja Heni datang dan menyela. Dengan gaya bersedekap dada, ia menatap Cintya begitu tajam.

"Hebat sekali kau bisa menaiki lift seorang diri." Datang mendekat dengan wajah yang masih masam.

"Tadi perawat yang mengantarkan aku ke sini. Aku hanya ingin melihat kamar kami, Bu," jelas Cintya.

"Bu, kenapa ibu tega mengizinkan Adrian menikah lagi? Apa ibu tidak memikirkan perasaan ku?" Kini Cintya menatap Heni dengan air mata yang semakin mengalir deras.

"Bukan mengizinkan, aku bahkan yang memaksanya. Agar apa? Agar dia mendapatkan istri yang baik, bukan istri seperti dirimu yang taunya hanya menghamburkan uang suami dan hanya mementingkan kehidupan sosialita bersama teman-teman munafik mu itu."

"Bu, sudahlah, Cintya baru saja sadar dari komanya," sela Adrian.

"Biar saja dia tahu yang sebenarnya. Untuk apa menyembunyikan fakta ini darinya? Dan kau Erina. Jika kau berani pergi dari sini, maka aku akan menghancurkan karir teman mu yang dokter itu."

Ancaman Heni mampu membuat Erina diam dan menunduk. Namun tiba-tiba, ia langsung kehilangan keseimbangan dan pingsan.

Adrian segera membawanya ke atas ranjang lalu menelepon dokter.

Setibanya dokter di rumah itu, Erina langsung diperiksa. Di dalam kamar itu juga ada Heni dan Cintya yang masih ingin menagih penjelasan pada Adrian.

"Selamat, Tuan, Nyonya Erina sedang hamil empat Minggu."

"Apa? Hamil?"

Berbagai ekspresi berbeda terlihat di sana. Heni yang kegirangan, Cintya yang sangat kecewa, dan Adrian yang sangat senang namun tidak bisa menunjukkan reaksinya karena menjaga perasaan Cintya. Dengan hamilnya Erina, tentu saja mereka tidak akan bisa bercerai.

Setelah kepergian sang dokter, Heni pun menatap sinis pada Cintya.

"Sekarang kau mau apa? Menyuruh mereka bercerai? Jangan pernah bermimpi, mereka akan tetap bersama. Erina akan melahirkan cucuku lagi dan kau tidak bisa melakukan apa-apa."

"Bu, sudahlah, tolong jangan bersikap seperti itu pada Cintya, aku mohon."

Dengan air mata yang masih jatuh berlinang, Cintya pun memilih pergi dari kamar itu. Adrian berusaha menyusul Cintya. Namun ia hanya mendapatkan Cintya yang diam membisu sekeras apapun ia meminta maaf atas kenyataan ini dan juga sikap ibunya.

Erina yang baru saja bangun dari pingsannya terlihat begitu heran saat ibu mertuanya memeluknya sambil mengusap punggungnya.

"Ada apa, Bu?"

"Kau hamil, Erina. Kau akan melahirkan anak Adrian."

"Apa? Hamil? Alhamdulillah." Erina mengucap syukur. Namun tiba-tiba senyumannya menghilang karena mengingat Cintya.

"Jangan khawatirkan dia. Yang terpenting sekarang kau harus menjaga kesehatan mu." Heni tersenyum lembut.

'Ternyata rencana ku berhasil. Akhirnya Erina hamil dan mereka tidak perlu berpisah,' batin Heni.

Terpopuler

Comments

istripak@min

istripak@min

apa selingkuh dgn suami erina ya si cintya

2024-02-15

2

𝐀⃝🥀Angelyo❤️⃟Wᵃfᴳ᯳ᷢ

𝐀⃝🥀Angelyo❤️⃟Wᵃfᴳ᯳ᷢ

mama Hany 😍😍😍

2024-02-11

0

Lusiana Ouw

Lusiana Ouw

ah kyk nya 🙄Ade nya Adrian kecelakaan ngikutin perselingkuhan Kaka ipar nya deh🙄🙄

2022-11-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!