Tuan Adiguna dan istrinya serta ibu dan Pipit juga di buat bingung oleh kondisi Armell. Sudah sejak pagi sebelum mereka tiba di rumah sakit, keadaan Armell seperti itu.
" Baby, makan dulu ya. Dari pagi kamu belum makan. " rayu Seno. Tapi tetap tidak ada jawaban dari Armell. Ia masih dengan posisinya. Duduk dengan kaki di tekuk dan kepala menyandar di kedua lututnya.
Seno menghela nafas panjang dan matanya kembali berkaca-kaca. Ibu Armell mendekat, dan mengambil alih piring dari tangan Seno.
" Biar ibu coba. " ucap sang ibu. Dan Seno mengangguk.
Ibu mendekati Armell. Beliau menyendok nasi dan lauk dengan sendok. Lalu membawanya ke depan mulut Armell.
" Makan, nak. Ibu suapi. Sudah lama kan nggak di suapi sama ibu? Ayo buka mulutnya. Aaa....." ujar ibu Armell.
Melihat itu semua Pipit merasa hatinya ikut sakit. Matanya mulai berkaca-kaca. Melihat keluarga suami dari kakaknya yang begitu perhatian terhadap kakaknya, juga kakak iparnya yang terlihat begitu sayang kepada kakaknya membuat Pipit bersedih. Ia bersedih karena kondisi kakaknya yang seperti itu, membuat semuanya menjadi serba salah.
Keadaan masih sama. Armell sama sekali tidak merespon. Ia tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Ibu mencoba menempelkan sendok berisi nasi dan lauk itu di bibir putrinya. Tapi tetap sama. Armell masih tidak bergeming. Akhirnya ibupun menyerah.
Sore menjelang. Seorang psikolog datang ke kamar Armell. Beliau berusaha mengajak Armell berbicara banyak hal. Tapi Armell tidak menunjukkan respon sama sekali. Ia tetap asyik dengan kesedihan dan rasa bersalahnya.
Bryan yang kala itu datang bersama sang psikiater, melirik sekilas ke arah Pipit yang berada di pojok ruangan sambil menggigit kuku jarinya. Ia terlihat begitu tegang. Terlihat raut kesedihan di wajahnya.
Setelah psikiater mencoba berkomunikasi dengan Armell dan mencoba berbicara, sang psikiater segera keluar dari ruangan. Terlihat raut kekecewaan dari semua orang.
Bryan mengajak Seno keluar ruangan. Dan tanpa pemberitahuan, Pipit mengikutinya. Ia juga ingin tahu apa yang di bicarakan oleh dokter Bryan dan iparnya.
" Sen, istrimu masih begitu terpukul. Sepertinya psikiater belum berhasil kali ini. " ujar Bryan.
Seno terlihat menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya.
" Sepertinya gue tidak akan meneruskan lagi cara ini . Sepertinya akan percuma. Armell terlalu sibuk dengan kesedihannya. " sahut Seno.
" Bang, jangan gitu dong bang. Jangan putus asa. " ujar Pipit.
" Abang bukannya putus asa. Tapi kamu lihat tadi kan, kakak kamu tidak menunjukkan respon apapun. " jawab Seno.
" Tapi kita harus tetap berusaha, Sen. " sahut Bryan.
" Iya, gue tahu. Kita akan bicara dengannya sedikit demi sedikit. Kita akan melakukannya pelan-pelan. " ujar Seno. " Kamu mau kan bantu abang, bicara pelan-pelan sama kakak kamu? " tanyanya ke Pipit.
Pipit mengangguk, " Pasti bang. " jawabnya.
" Gue masuk dulu. " pamit Seno sambil menepuk pundak Bryan.
Bryan dan Pipit hanya bisa memandang punggung Seno yang berjalan masuk ke dalam ruang rawat inap Armell.
" Kasihan bang Seno. " ujar Pipit.
" Iya, kasihan mereka. " sahut Bryan. Pandangan mereka masih terfokus ke pintu ruangan yang telah kembali tertutup.
" Mbak Mell masih tidak mau makan. " ujar Pipit sambil memutar tubuhnya dan duduk di bangku yang ada di samping pintu masuk kamar Armell.
Bryan mengikutinya duduk di sebelahnya. " Dia gadis yang kuat. Dia pasti bisa melalui semua ini. Kita hanya perlu berusaha membuat moodnya membaik. " ujar Bryan.
" Hah.." Pipit mendesah sambil menyandarkan kepalanya di dinding rumah sakit. " Om, bantuin balikin kakak Pipit seperti dulu. " pinta Pipit sambil memejamkan matanya.
" Lo nggak usah khawatir. Gue pasti bantu. Cuma sekarang kita belum menemukan solusi yang tepat aja. " jawab Bryan.
Kini hubungan Pipit dan Bryan sudah tidak kaku seperti saat mereka baru berkenalan. Setelah acara makan di kantin, mereka menjadi dekat. Bahkan Bryan sudah menggunakan bahasa informal saat berbicara dengan Pipit.
" Berdoa saja semoga kakak Lo bisa segera membaik. " lanjut Bryan.
Pipit mengangguk lemah. " Iya om. " jawabnya.
" Sebenarnya banyak juga pasien yang mengalami hal ini. Tapi mereka akhirnya bisa move on. " lanjut Bryan.
" Semoga saja mbak Armell juga bisa segera move on. Kasian bang Seno juga. Dia juga sudah kehilangan. Tapi di tambah keadaan istrinya yang seperti ini. Dia pasti benar-benar down. " sahut Pipit.
" Iya. Gue udah bicara banyak sama dia. Insyaallah dia akan kuat. Ini adalah cobaan yang mampir di kehidupan rumah tangga mereka. " jawab Bryan.
Pipit mengangguk. Suasana menjadi hening. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
" Ngomong-ngomong, Lo lagi liburan sekolah atau gimana? Kok lama Lo di sini. Bukannya Lo masih SMA kan . " tanya Bryan.
" Ijin om. Kemarin niatnya cuma ijin dua hari. Cuma buat datang di acara wisuda mbak Mell. Tapi malah ada kejadian kayak gini. Mana mungkin Pipit pulang kalau mbak Mell masih kayak gini. " jawab Pipit.
" Oh..." sahut Bryan. Kemudian ia melihat jam tangannya. " Udah jam segini. Makan yuk di kantin. Lo pasti belum makan. Kebetulan gue juga belum makan siang. " ajak Bryan.
" Di bayarin lagi sama om? " tanya Pipit.
Bryan mengangguk dan tersenyum.
" Ih, nggak ah. Pipit nggak enak. Masak di bayarin terus sama om dokter. " sahut Pipit.
" Ya udah, kalau gitu Lo gantian yang bayarin. " ujar Bryan.
Pipit menggeleng, " Pipit mana punya uang buat traktir om dokter. " ujarnya.
Bryan tersenyum lalu berdiri dari duduknya. " Ayo, nggak usah sungkan. Gue yang bayarin. Besok kalau Lo dah kerja, dah punya duit sendiri, Lo gantian yang bayarin. " ajak Bryan.
" Kuy lah. " jawab Pipit bersemangat dan langsung berdiri dari duduknya. Membuat Bryan geleng-geleng kepala. Sungguh amazing pikir Bryan.
Mereka berjalan berdampingan. Sambil sesekali bercanda. Selama perjalanan menuju kantin, beberapa kali mereka bertemu dengan suster-suster muda. Pipit perhatikan, gelagat aneh dari laki-laki yang ia panggil om dokter itu.
Sesekali Bryan mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum kala bertemu dengan suster-suster itu. Dan suster-suster itupun menyambutnya dengan sangat antusias. Sepertinya om dokter ini sangat terkenal di rumah sakit ini. Pikir Pipit.
Tak lama, mereka sampai di kantin. Bryan mengajak Pipit duduk di kursi yang berada dekat dengan dinding kaca besar dimana mereka bisa melihat pemandangan ibukota. Karena kantin yang ini berada di lantai 15.
Pipit nampak keheranan. Wah, benar-benar rumah sakit yang elit.
" Om emang ada berapa kantin di rumah sakit ini? " tanya Pipit keheranan. Karena kantin yang mereka datangi kali ini, berbeda dengan kantin yang kemarin.
" Ada tiga. Satu di lantai dasar, yang kemarin itu. Lalu satu lagi ada di lantai 10. Dan ini yang ketiga. " jawab Bryan.
Tak lama, datang seorang gadis yang cantik menghampiri mereka.
" Eh, dokter Bryan. Selamat siang, dok. " sapa gadis itu.
" Siang nona Zana. " sapa Bryan balik dengan senyum manisnya.
Membuat gadis yang berdiri di sampingnya nampak salah tingkah. Ia tersenyum malu-malu sambil merapikan rambutnya dan diselipkan di belakang telinga.
" Dokter mau makan apa nih? " tanya gadis itu.
Oh, sepertinya gadis itu adalah pelayan di kantin itu.
Bryan tersenyum, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, sambil mengelus dagunya ia berkata, " ingin makan kamu. " godanya.
Si gadis nampak tersipu di buatnya. Gadis itu memang cantik. Kulitnya bersih, meskipun agak kecoklatan warnanya. Tapi tak menutupi kecantikannya. Tubuhnya molek.
Pipit memandang gadis itu dari atas sampai bawah. Lalu kembali mengamati Bryan yang duduk di depannya. Ia merasa agak tidak nyaman.
Bryan segera mengingat kehadiran Pipit di sana. Ia tadi sempat lupa jika ia tidak datang sendirian. Ada anak di bawah umur yang datang bersamanya.
" E hem. " Bryan berdehem menghilangkan suasana tidak nyaman yang tadi sempat di buatnya. " Lo mau makan apa Pit? " tanyanya ke Pipit.
" Mmm...apa ajalah dok. Saya suka semua jenis makanan. " jawab Pipit.
" Oke. " jawab Bryan. lalu ia segera memesan makanan untuknya dan untuk Pipit. Setelah memesan makanan, Bryan membiarkan gadis tadi pergi menjauh darinya. Padahal dia belum selesai menggoda dan merayunya.
Saat sedang menunggu makanan tiba, tiba-tiba ada seorang dokter muda menghampiri mereka. Kalau di lihat penampilannya, seperti masih dokter magang alias koas.
" Hai, dokter Bryan. " sapa dokter koas itu.
" Hai. " Bryan menyapanya dengan senyuman. " Kamu...." Bryan mengerutkan keningnya mengingat-ingat nama dokter koas itu.
" Michelle dok. " sahut dokter itu mengingatkan Bryan siapa namanya.
" Oh iya, sorry. Saya sedang banyak pikiran jadi kurang fokus. " sahut Bryan sambil tersenyum.
' Ilih modus. ' gumam Pipit dalam hati. Sepertinya Pipit mulai paham situasi.
" Mau makan siang dok? " tanya dokter koas itu.
" Iya. " jawab Bryan singkat.
" Wah, sayang sekali...Saya malah barusan selesai. Seharusnya saya bisa menemani dokter makan siang. Tapi dokter Diego memanggil saya. Beliau bilang mau ada operasi mendadak. " ujar dokter Michelle dengan tampang penuh penyesalan.
" Tak apa, dokter Michelle. Kebetulan saya di temani sama adik saya. " jawab Bryan.
Dokter Michelle segera melihat ke arah depan Bryan. Ia sedikit tersenyum menyapa Pipit. Dan Pipit pun tersenyum menyapanya.
Lalu dokter Michelle sedikit membungkuk, dan membisikkan sesuatu di telinga Bryan, " Bagaimana kalau nanti malam kita habiskan malam bersama? "
Membuat Bryan tersenyum menyeringai. " Boleh juga. " jawabnya. Lalu dokter Michelle meninggalkan sebuah kecupan di pipi Bryan sebelum ia meninggalkannya. Bryan tersenyum menerima kecupan itu dan memukul pelan pan**t dokter Michelle.
Dokter Michelle tersenyum, " I Will call you. " ucapnya sembari berjalan meninggalkan mereka.
" Pacarnya om dokter? Cantik. " ujar Pipit ketika Michelle telah berlalu.
***
bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
astaga,, apakah si dokter ini gay pemirsahhhh😂
2023-08-30
2
nuri
td ktanya lupa nmnya siapa tp kok berakhir dng tantangan mlm brsm&tepuk bemper sgla...🤔
2022-12-24
1
Daffodil Koltim
ampun kelakuan dokter bryan😢😢😢😭😭😭
2022-06-25
1