Kepala sekolah memperbaiki kacamatanya yang sedikit melorot, sementara Mentari sudah balik ke kelasnya atas perintah kepala sekolah.
Diruangan kepala sekolah hanya ada kepala sekolah dan ke-dua orang tua Steven, juga wali kelas ips.
"Alasan pihak sekolah tidak mengeluarkan Alvaro karna Alvaro salah satu murid mempunyai IQ di atas rata-rata," kata kepala sekolah,"dia salah satu murid terpintar di sekolah ini dari sekian banyaknya murid-murid SMA Bina Marta," sambungnya menatap kedua orang tua Steven.
Kepala sekolah menarik nafasnya panjang ,"Itu alasan pihak sekolah tidak bisa mengeluarkan Alvaro dari sekolah."
Bram mengetuk-ngetuk tangannya diatas meja. "Tapi saya harap kepala sekolah bisa membujuk Alvaro untuk minta maaf kepada anak saya," kata Bram. Dia ingin melihat sampai mana Alvaro bertahan dengan prinsip yang dia buat sendiri. Bram sepertinya tertarik dengan pembawaan dari Alvaro.
"Baik, saya akan berusaha untuk membujuk Alvaro," kata kepala sekolah. Meski dia tidak yakin bisa membujuk Alvaro.
Fara ingin memprotes perkataan kepala sekolah, namun suami-nya langsung menarik tangan Fara.
"Kalau begitu saya pamit," kata Bram menjabat tangan kepala sekolah.
Kepala sekolah langsung menyandarkan kepalanya di kursi, dia harus melakukan apa untuk menyuruh Alvaro untuk minta maaf. Dia tidak yakin bisa membujuk anak modelan seperti Alvaro.
"Apa Mentari bisa membantu saya?" menolog kepala sekolah kepada dirinya sendiri. "Baiklah, besok aku akan meminta bantuan kepada, Mentari."
Sementara Alvaro langsung masuk kedalam mobil Pak Farhat, yang mengaku sebagai orang tuanya. Alvaro menyandarkan kepalanya di kursi mobil.
Pak Farhat langsung mengemudikan mobilnya untuk segera pulang kerumah. Sementara Alvaro duduk di kursi belakang.
Tidak butuh waktu lama, pak Farhat telah sampai ditempat tujuannya.
Dua orang berbadan kekar membuka pintu gerbang yang menjulang tinggi, mobil hitam yang dibawah oleh pak Farhat memasuki mansion yang sangat luas dan juga mewah. Dari luar saja rumah itu tampak mewah dan elegan, dengan arsitektur yang sangat mewah.
Seseorang berbadan kekar yang menggunakan baju baju hitam membuka pintu mobil untuk Alvaro. Alvaro langsung turun dengan wajah dinginya.
Dia sebenarnya tidak suka diperlakukan seperti ini, namun bibirnya malas untuk menegur.
Pintu utama langsung dibuka oleh dua pelayan mansion. Dia membuka pintu utama sembari menundukkan kepalanya.
"Tuan, Al."
Langkah kaki Alvaro langsung terhenti saat mendengar suara kepala pelayan di mansion Ini.
"Tuan besar menunggu anda di ruangannya," kata kepala pelayan mansion sembari menundukkan kepalanya. Kepala pelayan itu seorang laki-laki yang umurnya sekitar 45 tahun.
Alvaro langsung memasuki lift dan menekan angka tiga untuk segera naik ke atas lantai tiga, yang dimana di lantai tiga tempat ruangan seseorang.
Ting
Alvaro keluar dari lift, dia melangkah kakinya menuju ruangan seseorang.
Alvaro sudah sampai didepan pintu ruangan seseorang, tanpa mengetuk pintu dia langsung masuk.
"Baiklah, saya akan menghubungimu sebentar lagi," lepas mengucapakan itu diseberang telfon, orang itu langsung mematikan handponenya saat melihat Alvaro masuk kedalam ruangannya.
Seorang pria yang umurnya sekitaran 45 tahun itu itu menatap Alvaro yang sudah duduk dihadapannya, dengan wajah dinginya.
Tak dipungkiri jika anak itu hampir mengikuti seluruh apa yang dia miliki, mulai dari tatapan mata, wajah dingin nan tampan, keras kepala, dan itu semua adalah sifatnya dan menurun kepada anaknya.
"Kemana sopan santun mu?" kata seseorang dihadapan Alvaro, dengan dingin nan tegas.
"Anda sudah menunggu saya disini, jadi saya tidak perlu mengetuk pintu ruangan anda. Karna anda lebih dulu menyuruh saya kesini," balas Alvaro tak kalah dinginya dengan perkataan papahnya sendiri.
Yah, orang dihadapan Alvaro adalah papahnya.
Kedua manik mata antara anak dan ayah itu saling bertatapan, seakan-akan tidak ada yang ingin kalah.
"Apa perlu Papah menyekolahkan mu di luar negeri," ancam Frans Tanujaya kepada putranya sendiri.
"Agar kamu tau sopan santun," sambungnya membuat wajah Alvaro tidak berubah sama sekali, tetap dingin.
"Dengan senang hati."
Rahang milik Frans mengeras, putranya itu benar-benar tidak takut dengan ancamannya, benar-benar sikapnya semuanya menurun kepada putranya.
"Al!" geram Frans dengan tangannya terkepal diatas meja kerjanya. Dia sangat letih telah bekerja seharian dan sekarang dia berhadapan dengan Alvaro, membuatnya semakin letih.
"Saya akan turutin permintaan Anda, sekolah diluar negeri," tantang balik Alvaro.
"Apa kamu menantang Papah?" Suara intimidasi milik Frans keluar. Kedua sosok yang mempunyai sifat yang hampir sama. Buah tidak jauh jatuh dari pohonnya.
"Apa anda mengancam saya?" Tanya balik Alvaro tanpa raut wajah takut.
"Alvaro, saya papah kamu!"
Alvaro memejamkan matanya."Anda hanya menganggap Saya seorang anak di rumah," kata Alvaro dengan tegas.
Frans mengepalkan tangannya," itu semua ada alasannya."
Alvaro tidak membalas perkataan papahnya lagi, dia hanya diam dengan raut wajahnya yang dingin sama seperti Frans saat ini.
Frans menyandarkan kepalanya di kursi," kalau kamu mau papah kenalkan sebagai anak papah dikalangan publik, kamu cuman perlu melangkahkan satu langkah lagi dengan apa yang pernah papah katakan ke kamu."
Alvaro mengepalkan tangannya, dia sudah tau apa maksud ucapan orang dihadapannya ini.
"Kalau kamu berhasil melangkah satu langkah lagi dengan bersih, papah akan memperkenalkan kamu dipublik dan semua kerabat kantor papah," sambungnya.
"Jika anda menunggu hal itu terjadi....itu akan terjadi di alam mimpi anda," kata Alvaro dengan dingin," dan sampai kapanpun Saya tidak peduli jika tidak diakui sebagai anak anda jika anda pergi bersama dengan rekan anda sendiri."
Lepas mengatakan itu, Alvaro langsung keluar dari ruangan Frans membuat Frans memijat pelipisnya. Apakah dia harus mengikuti kebiasaan yang dilakukan sang ayah kepadanya dulu? Atau tidak?
"Saya akan melakukan itu, karna semua demi kebaikan, Alvaro," gumam Frans memejamkan matanya.
***
Sementara Mentari sedang berada di kelasnya, teman-temanya di kelas sangat ribut namun gadis itu tidak menegurnya.
Gadis dengan rambut sebahu itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Yah, tentu saja dia memikirkan perihal masalah Alvaro.
Huft
Terdengar helaan nafas berat keluar dari mulut gadis itu, rasanya menjadi ketua kelas sangat melelahkan. Harus menjadi pemimpin untuk teman-temanya.
Mau mengundurkan diri sudah tidak bisa lagi. Jika Mentari mengundurkan diri maka beasiswa yang dia terima akan terhapus. Sedangkan orang tuanya hanya kerja dikedai coffe tempat anak muda nongkrong.
Uang beasiswa pula Mentari bisa menabung untuk masa kuliahnya kelak, karna dia tau dia hanya dari kalangan orang biasa, yang masuk di SMA Bina Marta berkat kecerdasannya sehingga dia memperoleh beasiswa.
Beasiswa yang diperoleh Mentari lumayan besar. Apa lagi dia menjabat sebagai ketua kelas dan itu semuanya mendapatkan hasil sebagai ketua kelas.
Bagi Mentari, uang beasiswa sangat penting untuk hidupnya. Apa lagi berencana melanjutkan pendidikannya kelak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
тια
uwahhh mantap Thor😆
Next Thor 🥳🥳🥳🥳
2021-12-20
0
Talia Uly
teruskan thor
2021-12-20
0