"Tu-tuan mau apa?" tanya Vada mendadak gagu saat melihat sorot mata tajam suaminya.
"Kau mau tidur mengenakan gaun berat itu?" ucap Elvan.
Vada menunduk, menatap gaun yang ia kenakan. Bagaimana mau melepasnya, sementara para perias yang seharusnya membantu melepaskannya saja entah dimana rimbanya.
"Tidak apa-apa tuan, saya nyaman tidur memakai gaun ini," ucap Vada sekenanya. Sebenarnya ia sangat tidak nyaman memakai gaun itu, tubuhnya terlalu lelah menopang berat gaun yang mencapai dua puluh lima kilogram tersebut. Tapi, Vada tidak membawa satupun pakaian. Ia tidak mungkin telan jang di depan suaminya.
Elvan mengerutkan Keningnya, "Terserah!" ucapnya tak peduli. Ia memutar badan lalu berjalan menuju ke sofa yang ada di kamar tersebut. Kembali sibuk dengan ponselnya. Mengabaikan Vada yang duduk di atas tempat tidur.
"Tuan..." panggil Vada lirih hampir tak terdengar.
Elvan menatapnya tanpa ekspresi, "Kenapa?" tanyanya.
"Emmm... Sebenarnya sekarang kita ada di mana? Bukankah kita masih di Jakarta?" Vada memberanikan diri untuk bertanya.
"Kenapa? Apa kau ingin kabur dari sini? Coba saja kalau bisa," kata Elvan remeh.
"Tidak, bukan begitu... Aku..."
"Lihat bendera itu, dan kau bisa menebaknya dimana," ucap Elvan dingin.
Vada melihat ke arah dinding yang di maksud oleh Elvan.
"Jika kau cukup cerdas tentunya," sambung Elvan sebelum Vada sempat berpikir bendera negara mana yang di maksud.
Vada langsung mendelik, ia terbilang memiliki otak yang cerdas, hingga langsung tahu berada dimana, "Ya ampun, Vada... Berapa lama kamu pingsan, sampai tidak sadar sudah terbang sejauh ini, ke Swiss?" ucap Vada dalam hati. Vada langsung merinding di sekujur tubuhnya saat melihat Elvan yang tampak acuh. Kenapa semua terasa mudah bagi suaminya tersebut. Lagi-lagi Vada tak bisa berkata-kata.
"Apa begini caramu menyambut suami di malam pertama pernikahan?" suara Elvan terdengar sangat mengintimidasi, meskipun ia mengatakannya dengan acuh.
Glek!
Vada langsung menelan salivanya kasar, suaminya ingin dia menyambutnya seperti apa? Apa harus seperti pasangan pengantin baru normal lainnya? Tapi kan... Pernikahan mereka jauh dari kata normal, meskipun sah secara hukum dan agama.
"Maksud Tuan?" Vada langsung kembali menyilangkan tangannya di dada.
Elvan yang memiringkan matanya demi melihat ekspresi sang istri semakin menunjukkan wajah dinginnya.
Elvan menjentikkan jari manisnya, meminta Vada untuk mendekat, namun Vada bergeming.
" Mau ke sini sendiri, atau aku yang kesana?" ucap Elvan datar.
"Simalakama," gumam Vada tanpa sadar.
"Aku paling tidak suka di bantah!" bentak Elvan.
Vada pun langsung turun dari tempat tidur yang bunga diatasnya sudah berantakan tak berbentuk hati lagi karena tanpa sengaja tertimpa tubuhnya yang ketiduran tadi. Dengan susah payah karena gaun yang ia kenakan, Vada berjalan mendekati Elvan.
"Maaf tuan, tapi jujur kalau malam ini saya belum siap melakukannya," kata Vada to the poin.
"Kau pikir, aku tertarik untuk menyentuh tubuh jelekmu itu? Jangan GR kamu, satu-satunya yang menarik darimu hanya matamu, itupun karena ada kornea Zoya di sana," ucap Elvan kesal.
Vada mencebik, "Kalau begitu kenapa tidak kau nikahi saja mataku, kenapa harus seluruh tubuhku kau jadikan istri," umpatnya dalam hati.
"Kenapa menatap ku seperti itu?" tanya Elvan mengintimidasi.
"Tidak apa-apa, Tuan. Em... Lalu saya harus berbuat apa? Kenapa Tuan meminta saya mendekat?" tanya Vada.
"Apa aku menyuruhmu bertanya? Dengar, jika aku tidak menyuruhmu bicara atau bertanya, sebaiknya kau diam!" kata Elvan.
Vada langsung mengatup kan bibirnya setengah terpaksa.
"Kenapa malah berdiri di sini?"
Vada tak menyahut, ia hanya diam berdiri di depan Elvan seperti patung.
"Kenapa Diam saja?"
Ya ampun! Vada benar-benar ingin nimpuk pria di depannya tersebut dengan batu.
"Sabar Vada, sabar..." Vada menyemangati dirinya sendiri dalam hati. Baru beberapa jam menjadi istrinya saja, rasanya Vada sudah mau kehilangan akal.
"Apa telingamu bermasalah?" tanya Elvan lagi.
Vada berdecak pelan, "Saya dengar tuan, tapi saya bingung harus bagaimana, tadi tuan menyuruh saya ke sini. Sudah kesini Tuan malah bertanya kenapa saya di sini. Lalu saya harus bagaimana?" ucap Vada.
"Jadi salah saya?" tanya Elvan dingin.
"Tidak, saya yang salah," ucap Vada sambil memutar bola matanya malas dengan bibir mencibir. Mumpung suaminya itu tidak melihat kearahnya.
"Buat aku kopi!" perintah Elvan.
"Heh?" Vada tergagap karena bibirnya masih mencibir.
Elvan diam, tak berniat mengulangi perkataannya lagi. Karena Vada masih berdiri di depannya, Elvan menatapnya tajam.
"Itu, anu Tuan... Saya tidak tahu membuat kopi ya dimana," jawab Vada.
"Gunakan mulutmu untuk bertanya!" tukas Elvan.
Lagi-lagi Vada menghela napasnya, entah manusia macam apa yang menjadi suaminya tersebut. Yang jelas, ia harus mewanti-wanti jantungnya untuk tetap bakoh (kuat). Ia khawatir tekanan darahnya akan segera naik.
"Saya harus membuat kopinya dimana Tuan?" tanya Vada.
"Keluar dan tanya pada orang di luar!" jawab Elvan.
Vada bergeming, Elvan memiringkan matanya, "Apa aku perlu mengulangi kata-kataku? Otakmu pentium berapa?" tanya Elvan.
"Eh iya, Tuan. Saya akan mencari pantrynya sekarang!" ucap Vada.
"Tiga menit!" ujar Elvan.
"Hah...?" Yang benar saja, membawa gaun yang berat itu saja membuatnya kesusahan untuk berjalan apalgi berlari. Belum lagi untuk bertanya dimana ia bisa membuat kopi. Benar-benar nggak punya jiwa sosial apalagi perikemanusiaan nih orang, Vada berdecak heran dalam hati.
"Kau sudah melewatkan satu menit untuk bengong!" ucap Elvan.
Astaga! Vada benar-benar ingin sekali mengembalikan mata itu jika tahu pada akhirnya begini.
"Ah iya iya, saya akan segera keluar..." Vada langsung mengambil langkah cepat, namun naas gaunnya yang berat itu membuatnya kehilangan keseimbangan dan ia hampir jatuh jika Elvan tidak segera menahan tubuhnya.
Merasa tubuhnya melayang dalam pelukan seseorang, Vada yang memejamkan matanya karen ia mengira akan terjatuh ke lantai langsung membuka kedua matanya.
"Astaga! Tu-tuan mau apa? Aarrrhgghhh! Tadi tuan sendiri yang bilang tidak tertarik dengan saya, tapi sekarang malah peluk-peluk saya. Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan!"
Bugh bugh bugh!
Tanpa sadar, Vada malam membabi buta memukul-mukulin dada Elvan. Membuat Elvan menggerakkan rahangnya yang kokoh.
Menyadari situasi, Vada langsung menghentikan aksinya meninju dada suaminya tersebut, mulutnya langsung mengatup dan tubuhnya kaku. Ia memejamkan matanya tak berani menatap sang suami, "Aduh Vada, bodohnya! Yang kamu tinju itu dada suamiku, si es balok. Mam pus!" ucap Vada dalam hati.
Vada merasa tubuhnya melayang diudara. Saat membuka matanya, bersamaan dengan Elvan yang melempar tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Bodoh! Kau menantangku rupanya!" Elvan langsung mencium paksa bibir Vada. Gadis itu berusaha menghindari ciuman Elvan.
"Maafkan saya tuan, saya benar-benar tidak sengaja tadi," ucap Vada.
"Dengar, meskipun aku tidak tertarik dengan tubuhmu, sekalipun kamu telan jang. Tapi, aku berhak melakukannya," Elvan kembali mencium bibir Vada dengan kasar.
Penolakan Vada terhadapnya membuat Elvan marah. Baru kali ini ada gadis yang menolak ia sentuh. Biasanya para gadis yang mendekati dan berharap bisa berakhir di ranjang dengannya. Gadis ini benar-benar menghinanya.
Ciuman yang kasar itu semakin lama semakin lembut, membuat Vada terlena dan hanyut dalam perangkap suaminya.
Malam itu juga, Elvan melakukannya. Dengan begitu, ia benar-benar mengikat kebebasan Vada yang ia pikir tak cukup hanya dengan menikahinya saja. Namun, juga hal terpenting dalam diri Vada, kini ia dapatkan. Yang akan membuat Bda tak bisa lari darinya.
Vada hanya bisa pasrah tanpa bisa menolak. Ia mencoba meyakinkan diri jika itu bukanlah sebuah aib maupun dosa. Yang mengambil mahkotanya adalah suaminya sendiri. Namun, tetap saja, hatinya terasa seperti di cabik-cabik. Apa yang selama ini ia jaga, yang ingin ia berikan hanya untuk laki-laki yang ia cintai, kini tak utuh lagi. Di ambil paksa oleh laki-laki asing yang kini menjadi suaminya.
Air mata Vada menetes begitu saja ketika kegiatan panas itu selesai. Ia merutuki dirinya sendiri sebagai wanita murahan yang diam-diam juga menikmatinya permainan panas tersebut.
"Kau menangis?" tanya Elvan yang kini sedang duduk di tepi ranjang setelah memakai kemeja dan celananya kembali.
Vada menggeleng, "Tidak, saya tidak menangis," ucap Vada menahan isak.
"Bagus, karena aku tidak suka kau menangis dengan mata Zoya," ucapnya datar sambil menautkan kancing kemejanya.
"Kau bisa memakai baju-bajubyang ada di walk in closet sebelah sana. Dan juga, aku akan menyuruh pelayan untuk memberimu kontrasepsi," ucap Elvan, ia melirik Vada yang hanya diam saja dan meringkuk di bawah selimut tebal, memunggungi dirinya. Elvan tahu sebenarnya isteinya tersebut menangis.
Tanpa bicara lagi, Elvan pergi meninggalkan Vada yang masih bergeming. Air mata Vada semakin deras, betapa miris nasibnya. Setelah mereka melakukannya, suaminya pergi begitu saja meninggalkannya.
Sungguh sangat jauh dari ekspektasinya saat menonton drama maupun membaca novel online, dimana suaminya akan menggendong tubuhnya ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Vada merasa harga dirinya benar-benar terluka. Ia di tinggalkan begitu saja setelah apa yang terjadi. Bahkan, rasa nyeri di area sensitifnya masih sangat terasa, sesakit rasa di dadanya.
🖤🖤🖤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Anisatul Azizah
sukanya mata ya dicium mata aja bro🤣
2024-03-17
0
#ayu.kurniaa_
.
2023-09-22
0
Nurhayati
SaBaR Y Vada....akan indah PD waktu na & Vada biZa BaLaz ke ELVan Ko nanTi💪💪😁😁
2023-09-22
1