"Rumah kamu dimana?" tanya Abian.
Anika yang sejak tadi diam menikmati pemandangan dari dalam jendela mobil akhirnya menoleh.
"Jalan cempaka blok B no 03." jelasnya.
Tak ada lagi pembicaraan yang terjadi antara mereka berdua, Anika yang setia dengan pemandangan didepan matanya dan Abian yang fokus menyetir mobil.
Gadis cantik itu menyandarkan kepalanya, otaknya masih berfikir keras menyusun setiap langkah yang akan ia ambil, hidup sebatang kara sudah terbiasa ia jalani tapi kecewa dengan seseorang yang sudah ia percaya tak bisa diterima oleh hati terlebih logikanya.
Apalagi ini menyangkut kehidupan, organ tubuh yang dirampas paksa dan hampir meregang nyawa bukanlah masalah yang dianggap kecil.
Puk.
Ia tersentak, kepalanya menoleh menatap pria disampingnya dengan wajah bingung "Kenapa kak Bian?"
"Udah nyampe, tuh."
"Ah...iya, makasih udah anterin Anika."
"It's okey, kalau ada apa-apa hubungin kakak aja, gak usah sungkan." ucap Abian dengan senyum lembut, tangannya mengacak rambut Anika pelan.
"Oh jelas, siap-siap aja direpotin sama Anika." Jawabnya sambil menepuk dada angkuh.
Pemuda itu hanya terkekeh pelan, matanya masih menatap gadis disampingnya hingga tubuh remaja itu sudah berada diluar mobil, kepalanya menggeleng menghadapi tingkah Anika yang tak ada jaim-jaimnya.
Benar-benar gadis yang langkah.
"BAY...BAY...." teriak Anika cempreng, tangannya melambai dengan tatapan masih mengikuti arah mobil berwarna silver itu hingga benar-benar menghilang dari penglihatan matanya.
"Ah...saatnya menjalani kehidupan penuh drama."
...***...
Ting.
Seorang pemuda dengan puntung rokok ditangannya menolehkan penglihatannya pada ponsel miliknya yang tampak berkedip, menandakan adanya pesan masuk.
6285*********
Cara kerja lo emang gak diragukan, tapi sayang cewek itu masih bisa hidup sampai sekarang, gue harap lo masih mau bantu gue kedepannya.
Netranya menatap deretan kata yang kini tampil pada layar ponselnya, bibirnya tersenyum miring kemudian mengalihkan kembali pandangannya pada langit malam.
Hawa dingin yang menerpa wajahnya tak membuat ia bangkit dari balkon kamarnya, terlalu damai hingga harus disia-siakan, tak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan keheningan yang membuatnya tenang.
"Padahal gue lakuin itu karena kemauan gue sendiri, dasar idiot." rokok yang ada ditangannya ia hisap pelan, matanya tertutup menikmati aktivitas yang ia lakukan berulang-ulang.
"Tapi gak apa-apa, ketololannya juga menghasilkan uang buat gue, ah...lumayan buat gue senang-senang dengan uang 10 juta itu."
Ia bangkit dari duduknya, puntung rokok yang tinggal setengah ia buang asal "Gue gak sabar lihat siapa yang masih bertahan sampai akhir, orang idiot emang pantas dimanfaatin dan orang lemah harus segera disingkirkan, kasian semesta nampung orang gak berguna."
...***...
Malam yang panjang seperti malam-malam sebelumnya, Anika menatap pantulan dirinya didepan cermin kantung mata yang jelas terlihat pada kedua matanya benar-benar mengganggu penampilannya.
Insomnia akut sudah menjadi teman hidupnya sejak dulu, padahal ia sudah mencoba segala cara untuk menghilangkannya, tapi tetap saja tak berhasil.
"Huft...."
Ia bangkit dari duduknya, sudah saatnya ia bersiap-siap berangkat ke sekolah. Setelah dirasa penampilannya sudah rapi, buru-buru ia keluar dari kamarnya.
"Lama lo." sarkas Rey tiba-tiba
"Diam lo, gak usah menggonggong."
"Udah-udah, ini juga masih pagi gak baik berantem." nasehat Emma mencoba menengahi, tangannya menyeret lengan kedua sahabatnya pelan, jika ia tak bertindak maka mereka tak akan berangkat ke sekolah.
Dua orang itu hanya bisa pasrah dengan langkah lebar menuju mobil berwarna hitam yang kini terparkir dipinggiran jalan, setidaknya pemuda itu masih berguna karena bisa menjemput dan mengantarnya pulang sekolah.
Seperti biasa, Anika duduk dibelakang sedangkan Emma dan Rey didepan, ia tak terlalu ambil pusing karena ia sendiri yang memintanya, tentu itu juga demi menghindari perdebatan antara dirinya dan Rey, sudah menjadi hal yang lumrah adu bacot terjadi antara mereka berdua walaupun hanya permasalahan kecil.
"Seatbel lo pake." titah Rey, matanya menatap kaca mobilnya yang memantulkan wajah Anika.
"Iya-iya ribet lo."
"Ini demi keselamatan, emang lo mau mati cepat?" sewot Rey tiba-tiba.
"Tolong ya, mati cuma untuk hewan lebih tepatnya meninggal." jawabnya bijak.
"Alah, sama aja nanti juga dikubur dibawah tanah juga."
Emma menepuk dahinya pelan, sepertinya memang mustahil membuat dua orang itu damai walau hanya beberapa menit.
"Udah-udah, kita mau berangkat ke sekolah loh bukan mau berantem."
"Denger tuh."
Rey mendengus, kakinya menginjak pedal gas kemudian membawa mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Anika, tak ada lagi pembicaraan yang terjadi antara mereka atau lebih tepatnya tak ada lagi perdebatan yang tercipta, setidaknya untuk saat ini.
"Didepan sana berhenti dulu Rey."
"Ngapain?"
"Aku mau beli buku, buku aku udah penuh."
Rey mengangguk pelan, mobilnya ia tepikan sesuai perintah gadis disampingnya "jangan lama-lama."
"Iya Rey."
Pemuda itu nampak tak tega melihat gadis disampingnya yang masih pucat, padahal ia sudah memintanya beristirahat untuk memulihkan kondisinya, tapi tetap saja Emma kekeh ingin berangkat ke sekolah.
Tangannya mencekal pergelangan tangan Emma sebelum gadis itu keluar dari pintu mobil.
"Ada apa?" tanya Emma dengan raut bingung.
Rey tak menjawab, kepalanya menoleh menatap Anika yang tampak tenang bermain ponsel "lo bisa gak beliin Emma buku?"
Anika mengangkat kepalanya, matanya menatap Emma yang kini menatapnya kikuk "Lo masih sakit?"
"Eh...enggak kok."
"Gak ada yang perlu dikhawatirin." ucapnya dengan pandangan menatap pemuda itu santai, kegiatan bermain ponsel ia lanjutkan setelah sempat terjadi jeda beberapa saat.
"Kasian, dia masih pucat." pinta Rey lagi.
"Eh...aku gak papa kok Rey." sela Emma cepat, tak enak merepotkan Anika karena kondisinya.
Anika menghela nafas pelan, matanya menatap pemuda didepannya datar "lo tau gak Rey, kita memang makhluk sosial yang masih butuh bantuan seseorang, tapi kita juga harus tau diri dan tau batasan, kalau kaki masih bisa dipakai berjalan! kenapa harus mengandalkan kaki orang?"
Hening....
"Lo juga tau Emma kan, dia cewek pintar kalau dia bilang gak apa-apa artinya gak apa-apa, jalan masuk ke tokoh buku gak akan buat dia pingsan, dia juga gak seidiot itu ngelakuin hal konyol buat dirinya kalau memang masih sakit."
Emma menundukkan kepalanya, tangannya diremas karena tak enak membuat sahabatnya merasa terbebani. Rey yang melihat tingkah gadis disampingnya juga merasa iba.
"Tapi kalau lo mau beliin Emma buku ya... Alhamdulillah, tubuh gue udah nempel soalnya, gak bisa lagi diangkat, sekalian aja beliin gue Taro di tokoh sebelah oh iya minumnya juga, yaudah sana hus...hus...." usir Anika seenak jidatnya, tak lupa cengiran polos ia berikan pada pemuda didepannya.
"Ingat ya! gue dan Emma cewek, cewek itu spesial dan lo sebagai cowok harus baik-baik sama kita, lo tau juga kan kalau kita berdua ini majikan lo, iya gak Emma?" tanyanya dengan senyum puas.
Emma menggaruk kepalanya yang tak gatal, ingin tertawa melihat wajah Rey yang kesal tapi tak tega, ia juga sedikit tenang mendengar ucapan Anika yang masih seperti biasa, sebelumnya ia sempat berfikir kehadirannya membuat gadis itu terganggu, tapi sepertinya semuanya baik-baik saja.
"Akhlak lo ditaruh dimana sih? heran gue, punya sahabat kok kek setan." dumel Rey misu-misu.
.
.
.
.
Bersambung.
Jangan lupa like dan komen banyak-banyak ya guys~see youuuu.
^^^19-NOVEMBER-2021^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
senja
ah sengaja nyuruh halus mmg
apa suka Rey? enggak deh keknya iri
2021-12-17
0