"Ane gak siap, ane gak bisa berbuat adil, ane gak mau mendzolimi salah satu diantara mereka" ujar Ammar lirih
"Jika ane menyarankan ceraikan saja Ning Ita apa nte akan mempertimbangkannya?" tanya Yuda hati-hati
Ammar menggeleng "Ane gak bisa, ane sudah berjanji sama bapaknya, jika ane menceraikan dia bagaimana perasaan pak Mino sebagai seorang ayah" ujar Ammar lirih
"Ane hanya gak mau menikah lagi, itu aja" lanjutnya
"Tapi beberapa ahli fiqih yang merujuk pada Al-Qur'an menetapkan hukum poligami mubah atau khilaful aula" ujar Bima
"Nte benar lebih baik tidak melakukan poligini karena kita tidak bisa berbuat adil meski kita sangat menginginkan berbuat adil, siapa kita hanya makhluk yang penuh dosa dan serakah, kita bukan Rasul yang dapat berbuat adil atau sahabat Rasul yang kuat imannya, salah satu cara nte harus membelenggu perasaan nte, dan tak cenderung pada salah satu istri nte, ingat nafkah harus adil lahir maupun batin" terang Bima sok bijak
"Jadi nte setuju Ammar melakukan poligini?" tanya Yuda
Bima mengangguk "Mau gimana lagi, cerai hukumnya halal tapi dibenci Allah, poligini boleh-boleh aja tapi syaratnya berat harus bisa berbuat adil seadil-adilnya, diantara dua pilihan itu kira-kira mana yang harus kita pilih" ujarnya sembari menggidikkan bahunya
"Berat wes berat" Yuda menggelengkan kepalanya
"Eh tapi ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud tidak bisa adil dalam Al-Qur'an adalah soal perasaan, namanya perasaan kan gak bisa dikendalikan, maka dari itu nte harus bisa adil dalam nafkah, tapi ingat nte juga harus membelenggu perasaan nte agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kan biasanya orang akan cenderung pada orang yang dicintainya, jika nte cenderung ke Ita maka yang terdzolimi calon istri kedua nte, atau sebaliknya, ehhh tapi btw siapa calon nte?" tanya Yuda setelah berbicara panjang lebar
"Gak ada" jawab Ammar datar
"Kalian dari tadi ngomong panjang lebar gini emang siapa sih yang mau melakukan poligini" ujar Ammar datar, niatnya sudah bulat ia tak ingin melakukan poligami
"Hah"
"Hah"
Yuda dan Bima saling berpandangan
"Jadi kita sia-sia mengeluarkan pendapat?" tanya Bima
"Gak sia-sia, kalian bisa gunain itu waktu kalian debat atau jika ada santri yang bertanya" ujar Ammar santai, hatinya menyakinkan bahwa ia tak ingin mengabulkan permintaan Ita
"Ane pamit dulu wassalamu'alaikum" ujar Ammar yang pergi begitu saja
***
"Ita" panggil Ammar, ia mendekati wanita itu yang kini tengah duduk bersandar di sandaran ranjang dengan mata yang sembam
"Bang.... apa abang tidak tersiksa dengan pernikahan kita seperti ini?" tanya Ita dengan tatapan kosongnya
"Gak, kamu jangan berpikir macam-macam, kita jalani saja seperti ini, dan selalu berdoa yang terbaik untuk bang Candra"
"Bagaimana kalau mas Candra masih hidup?" tanya Ita sendu, air matanya keluar lagi untuk yang kesekian kalinya
"Maka saya akan melepasmu" ujar Ammar tulus
"Lantas bagaimana kalau dia sudah tidak ada?"
"Maka saya akan menjagamu, menggantikan dia untuk menjagamu"
"Apa abang tidak merasa di rugikan?" tanya Ita dengan penuh rasa bersalah
Ammar menggeleng "Tak apa, kita ikuti saja skenario Allah, percayalah skenario Allah jauh lebih indah daripada skenario hamba-Nya" perlahan ia mengelus puncak kepala Ita
"Tapi abang menyiksaku, abang menyiksa perasaanku" ujar Ita dengan suara parau, tiba-tiba saja tangisannya pecah kembali
"Apa maksudmu? Apa saya menyiksamu? bagian mana saya menyiksamu?" tanya Ammar terkejut
"Perlakuan abang hiks hiks, semua perlakuan abang itu menyiksaku hiks" Ita mengusap air matanya meski pada kenyataannya air mata itu tak henti-hentinya mengalir
"Di sini aku yang terlalu egois hiks hiks, harusnya abang bahagia dengan wanita lain tapi malah terjerat olehku dan masa lalu ku hiks hiks, itu sungguh menyiksaku"
"Semua perhatian abang, semua perkataan abang itu sungguh menyiksa, bahkan abang tak pernah marah walau aku selalu menyebut namanya hiks hiks"
"Anggap itu sebuah kewajiban saya sebagai suami kamu, dan jangan berfikir yang aneh-aneh agar kamu tidak tersiksa" ujar Ammar
"Tapi rasanya sama saja, aku tetap tersiksa hiks hiks hiks, bahkan aku selalu memimpikan mas Candra, aku yakin dia selamat, dia masih hidup hiks hiks huaaaa hiks hiks"
Ammar memejamkan matanya sebentar kemudian ia menatap ke arah istrinya dengan sendu "Apa yang harus saya lakukan agar kamu tidak merasa tersiksa lagi?" tanya Ammar
Ita mengusap air matanya "Nikahi dia, nikahi gadis itu, mungkin dengan begitu aku bisa merasa lega"
"Kenapa harus gadis itu?" tanya Ammar, sungguh ia tak ingin menyeret gadis yang tidak bersalah tersebut dalam pernikahannya
"Karena itu lebih mudah bagimu, apalagi kalian habis kena sekadal, dan...... tidak ada rasa cinta di antara kalian, jadi itu lebih memudahkan kamu dalam berbuat adil, dan dia tak akan merasa tersakiti"
Ammar mencerna perkataan Ita "Apa tidak ada cara lain?" tawar Ammar
"Ceraikan aku"
Ammar terdiam mendengar perkataan Ita, hingga akhirnya ia menjawab
"Jika bapak kamu meridhoi itu maka saya rela berpisah dengan kamu, asalkan kamu bahagia dengan pilihanmu" ujar Ammar, ia berjalan keluar kamar, meninggalkan Ita yang masih saja keras kepala, pikirannya kacau ia harus menjernihkan pikirannya
"Huaaaaa hiks hiks hiks"
Haruskah ia kehilangan suaminya lagi setelah setahun lebih menikah dengan Ammar
***
Esok paginya
"Assalamualaikum" ujar Ammar yang memberikan salam pada mertuanya, tak lupa ia juga mencium punggung mertuanya
Pak Mino tersenyum hangat menyambut kedatangan menantunya, ia mempersilakan Ammar untuk masuk
"Ehh nak Ammar mari nak silahkan duduk ibu buatkan minum dulu" ujar ibu Ita ramah
Tak menunggu beberapa lama akhirnya ibu Ita kembali dengan nampak di tangannya
"Mari nak silahkan di minum dulu"
Ammar mengangguk "Terimakasih bu"
"Ada apa nak kemari, kok gak sekalian bareng Ita?" tanya ibu mertuanya
"Sebelumnya saya minta maaf pak bu......." ujar Ammar yang merasa bersalah terhadap kedua orang tua Ita, bagaimana tidak kedua mertuanya menitipkan putrinya untuk di jaga dan bukan untuk di sakiti
Dengan berat hati akhirnya ia menceritakan permasalahan yang menimpa dirinya dan istrinya, ia hendak mencari ridho serta solusi pada mertuanya apapun keputusan mertuanya ia akan mencoba menerimanya, tapi ia tetep berharap agar mertuanya mau membujuk anaknya agar tak menyuruh Ammar menikah lagi
"Maafkan anak kami nak Ammar" ujar ibu Ita lirih
"Ita gak salah bu, mungkin ini memang jalan saya, dia juga pasti tertekan" ujar Ammar
"Mmmm mungkin lebih baik kamu turuti kemauannya Ita nak Ammar" ujar ibu Ita yang membuat Ammar terkejut
"Tapi kenapa bu pak?" tanya Ammar
"Bener kata Ita, kamu berhak bahagia, kamu mau menerima Ita aja kami sudah sangat bersyukur, keluarga kalian terlalu baik buat kami"
Pak Mino tersenyum mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan keputusan istrinya
"Bagaimana bisa kamu sesabar ini nak Ammar, maafkan Ita, maafkan keluarga kami" ujar ibu Ita lagi
Jujur ibu Ita malu dengan Ammar yang sudah mau menerima anaknya dengan status janda anak satu, ditambah dengan kondisi Ita yang masih saja memikirkan suaminya dan terbelenggu oleh masa lalu, keluarga Ammar adalah majikan keluarga Ita, namun semenjak Ammar menikahi Ita keluarganya melarang pak Mino bekerja agar tidak terlalu capek meski pada nyatanya pak Mino terkadang masih saja mengantar keluarga Ammar jika hendak keluar kota atau perjalanan jauh sebagai sopir, katanya biar dia memiliki pekerjaan dan tak hanya diam di rumah
***
Eeeh ketemu lagi para readers jangan lupa like comment and vote ngeh, see you pada bab selanjutnya, Ilal iqo' 👋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Khadijah
hayoo nanti nyesel aja si Ita 😤
2021-11-21
0
Hello February
Hooh ceraiin aja 😤 terus nikah deh sama Zofa dan hidup bahagia 😅 kejam amat dah ya
2021-11-16
1
Yellow
fix bakal nyesel lo
2021-11-16
0