Monna sedang menikmati makan malam romantis bersama dengan Leon. Ia tidak bosan menatap pria muda tampan di hadapannya. Hezkiel yang tampan, baginya masih saja kurang.
"Bagaimana bisa ada pria setamapan ini. Hezkiel tidak ada apa-apanya dibandingkan Leon. Umur mereka juga selisih jauh, kan. Apa kekuatan mereka juga berbeda, ya?" batin Monna.
Leon menatap Monna, "Hei, apa yang kau lamunkan?" tanya Leon mengejutkan Monna.
"Tidak, tidak. Aku hanya melihat wajahmu saja. Kau bergitu perawat penampilanmu, ya." jawab Monna.
"Tentu saja, Monna. Aku 'kan model. Wajah dan bentuk tubuh harua terjaga. Kau sendiri juga melakukan hal sama, bukan?" tanya balik Leon.
Monna tertawa, "Hahaha ... maafkan aku. Sejenak aku, Leon. Sejenak aku lupa, jika kita satu profesi. Wajahmu sangat mengganggu mataku." kata Monna.
"Oh, benarkah? bagaimana aku di matamu, Monna? apa aku tampan, cukup tampan, atau tampan maksimal?" tanya Leon sombong.
"Hm ... " gumam Monna berpikir. "Apa aku akan dapat hadiah jika menjawabnya?" tanya Monna, menatap dalam mata Leon.
"Ya, itu pasti. Kau ... kau bisa meminta apa saja dariku sebagai hadiah." kata Leon dengan yakinnya.
Monna tersenyum licik, "Sungguh? awas saja kau sampai berbohong, aku akan meblokirku dari daftar nama orang yang kukenal." kata Monna.
"Sampai seperti itu? kejam sekali kau ini." gumam Leon. Leon memegang tangan Monna yang ada di atas meja dan bertanya, "Ayo, jawab pertanyaanku. Menurutmu, aku orang yang seperti apa?" tanya Leon.
"Kalau boleh jujur, kau sangat tampan. Sampai aku tidak Bisa memalingkan pandanganku darimu." jawab Monna.
Mendengar ucapan Monna. Leon tersipu malu. Ia tidak menyangka akan mendapatkan pujian dari wanita yang didambakannya.
"Sungguh? wah, aku terharu. Terima kasih, Monna." ucap Leon.
Leon sebenarnya gelisah. Ponsel di saku jaketnya terus bergetar sejak ia datang ke restorant. Ia tahu pasti, siapa orang yang mebghubunginya. Namun, dengan sengaja Leon tidak mau menerima panggilan tersebut.
Pembicaraan santai sembari menikmati makan malam, dilakukan oleh Monna dan Leon. Keduanya tampak mengakrabkan diri, satu sama lain.
***
Melihat sahabatnya yang mabuk. Joe lantas memapah Hezkiel pergi dari bar. Joe tahu lokasi rumah pribadi Hezkiel, berniat mengantarkan sahabatnya itu. Sejenak, ia melupakan apa yang baru saja sahabatnya itu ceritakan. Ia lebih memikirkan segera membawa sahabtnya pulang dengan aman dan selamat.
"Hei, Kiel. Sadarlah ... " kata Joe.
"Umh ... " gumam Hezkiel tidak sadarkan diri.
"Kau ini kan tidak bisa banyak minum. Kenapa harus memaksakan diri seperti ini? merepotkan saja," keluh Joe.
Perlahan-lahan, Joe membawa Hezkiel masuk dalam mobilnya. Hezkiel dan Joe menggunakan satu mobil yang sama. Hezkiel meninggalkan mobilnya di kantor.
Joe membuka pintu mobil dan mendudukan Hezkiel di bangku samping kemudi. Sekalian ia juga memasangkan sabuk pengaman untuk sahabatny itu. Setelahnya, Joe berjalan cepat menuju sisi mobil lain untuk segera masuk dalam mobil.
"Ahh ... " hela napas Joe panjang. Sesaat setelah masuk ke dalam mobil. "Bisa-bisanya dia seperti ini," gumam Joe. Menatap ke arah Hezkiel yang terlelap tidur.
Tanpa banyak mengulur waktu. Dengan segera, Joe mengemudi mobilnya meninggalkan parkiran bar. Joe terlihat tenang tanpa beban. Ia juga hanya minum sedikit saat di bar, sehingga ia masih bisa fokus mengemudikan mobilnya dengan baik.
***
Celine*
Sudah hampir tengah malam. Karena aku haus, akupun keluar kamar untuk mengambil air minum. Gelasku yang kosong kubawa bersamaku keluar. Aku berjalan perlahan menuju meja makan. Baru saja kuletakan gelasku, aku mendengar bel rumah berbunyi.
Kulihat sekeliling. Pelayan rumah pasti sudah tertidur. Siapa yangdatang, ya? jika itu Monna atau Hezkiel, kenapa harus menekan bel? pikiranku menaruh rasa curiga juga penasaran.
Kulangkahkan kaki mendekati pintu utama. Kubuka pintu perlahan dan kulihat Hezkiel sedang dipapah seseorang.
"Ha-hallo ... " sapa seseorang itu. Ia tampak asing bagiku.
"Ya, hallo. Oh, biarkan saya membantu." kataku yang langsung teringat, jika Hezkiel masih di rangkulan orang asing itu.
"Tidak apa-apa. Saya yang akan membawa Hezkiel ke kamar. Tolong tunjukan jalan," jawabnya.
"Oh-oh, ya. Silakan," jawabku terbata.
Dia memapah Hezkiel masuk. Aku menutup pintu dengan segera dan berjalan cepat mendahuluinya untuk menunjukkan jalan. Kuantar mereka ke kamarku. Ya, mau bagaimana lagi. Aneh rasanya jika aku tunjukan kamar tamu. Itu akan sangat mencolok dan menimbulkan kecurigaan orang lain.
"Di sini," kataku membukakan pintu.
"Ok. Permisi," jawabnya sopan.
Dia membawa Hezkiel masuk. Dia juga membantu membaringkan Hezkiel di tempat tidur.
"Terima kasih, Tuan. Maaf, siapa Anda? tanyaku tanpa basa basi.
"Maaf terlambat memeprkenalkan diri, Nyonya. Saya Joe Albert. Saya adalah sahabat baik Hezkiel." katanya memperkenalkan diri.
"Hallo, Tuan Albert. Saya Celine Winter." balasku memperkenalkan diri.
"Anda ... " katanya terhenti.
Sejenak ia menatapku lekat. Kulihat dia memalingkan wajah, melihat ke arah fofo pernikahanku dengan Hezkiel.
"Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak mengenali Anda." sambungnya.
Aku tersenyum tipis, "Tidak apa-apa. Anda bisa bicara santai pada saya, Tuan Albert." kataku.
"Panggil saja Joe. Jangan Tuan. Aku merasa seperti paman-paman." katanya.
"Oh, baiklah. Joe, aku ucapkan terima kasih banyak untuk bantuanmu. Jika boleh bertanya, kenapa dia seperti ini?" tanyaku penasaran.
"Kiel minum terlalu banyak. Maafkan aku, ya. Ini salahku yang membuatnya seperti ini. Oh, ya. Aku ucapkan selamat atas pernikahan kalian. Meski terlambat, aku dengan tulus mendoakan kebahagian kalian." ucapnya.
"Terima kasih banyak," jawabku.
"Kalau begitu, aku pamit dulu. Ini sudah hampir dini hari." pamit Joe.
"Ya, Joe. Hati-hati di jalan." jawabku.
Akupun mengantar kepergian Joe sampai depan pintu kamar. Karena tidak ingin aku lelah mondar-mandir, Joe memintaku segera mengurus Hezkiel yang masih berantakan. Aku pun mengiakan dan kembali mengingatkannya untuk berhati-hati.
Aku masuk kembali ke dalam kamar. Aku membantu Hezkiel melepaskan sepatu dan mengganti pakaiannya dengan piama. Meksi ada rasa canggung saat melakukannya, tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau aku membantunya.
Cukup memakan waktu membantu Hezkiel berganti. Aku menaikan selimut menutupi tubuhnya. Namun, tiba-tiba saja Hezkiel menarik tanganku, membuatku jatuh menimpanya.
Hezkiel terlihat membuka mata. Aku kaget, jantungku berdegup kencang.
"Apa yang sudah pria ini lakukan, apa dia baik-baik saja?" pikirku tidak mengerti.
Hezkiel hanya diam, ia tiba-tiba saja mencium bibirku. Posisi kamipun berubah, kini ia yang menindihku. Tangannya dengan lembut mengusap kepalaku, turun ke wajah, leher sampai bahuku. Semakin turun dan turun. Tangannya mulai menjelajahi setiap inci tubuhku.
Jujur, aku merindukan sentuhan ini. Sudah sejak lama, semenjak kami menikah. Terlebih, sekarang ia sering tidur di kamar Monna. Meski hati ini sakit, tetapi aku tidak bisa mencegah. Aku harus menjalankan perjanjian kami dengan benar.
Dalam waktu singat, kami berdua sudah menyatu. Ini seperi mimpi, ia begitu lembut memperlakukanku. Baru saja senyumku mengembang, pria di hadapanku ini sedang hilang akal, sampai menyebut nama kekasihnya.
"Monna ... " gumam Hezkiel, "Ahh ... Monna ... " lanjutnya terus bergumam.
Aku langsug kaget. Bagaimana bisa dia seperti ini padaku. Di saat ia sedang menindihku, ia justru menyebut nama wanita lain. Hatiku sakit, air mataku tidak tertahankan lagi. Namun, aku tidak bisa menolak keinginanya begitu saja.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Endang Supriati
bodoh banget sih! kok mau dlm keadaan mabokkk
2024-07-20
1