Pementasan dan kejadian setelahnya (1)

"Kalian siap?" tanya Pak Yusuf memandang kami satu-persatu.

"Siap Pak!!"

"Baiklah, ayo!" Pak Yusuf meletakkan tangannya di tengah dan kami semuapun mengikutinya.

"TEATER NUSA BANGSA!"

"SEMANGAT!!"

Pementasan pun dimulai. Pertama lampu lighting dimatikan agar penonton tak dapat melihat kru yang berseliweran menaruh perlengkapan yang digunakan untuk tampil. Bagaimana dengan mereka? Tentu saha mereka sangat terlatih jadi dapat melihat dengan keremangan tanpa tertabrak satu sama lain.

Depp!

Lampu menyala dan menyorot ke panggung di mana terdapat sebuah kursi sang kerajaan yang berjajar rapi. Lalu para pemain mulai masuk satu persatu melakonkan adegannya.

Adegan pertama menunjukkan betapa damainya kerajaan yang dipimpin oleh Raja Jayakarta. Kamipun berhasil menjiwai setiap lakon yang kami mainkan. Andre misalnya, entah kenapa aku merasa aneh dipandangnya dengan tatapan yang lain. Seperti ada cinta dimatanya. Haish! Tentu saja itu mungkin hanya halusinasiku mengingat keadaan ruangan yang tak terlalu terang.

Adegan selanjutnya mulai memanas ketika mata-mata dari kerajaan seberang berhasil menyamar menjadi tabib kerajaan dan mengadu domba kedua pangeran kerajaan itu, Indra dan Kudra. Mereka mulai berebut tahta dan kekuasaan, hingga membuat raja dan permaisuri turun tangan menghadapinya. Namun, bukannya damai perselisihan justru semakin berkobar hingga kedua pangeran tersebut menyatakan perang dengan membawa orang kepercayaannya masing-masing sekaligus pasukannya.

"Kanda, bagaimana ini? Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita nanti? Sedangkan para sesepuh pun mulai memilih pemimpinnya masing-masing. Aku takut jika keadaan seperti ini akan terus berlanjut. Bagaimana masa depan kerajaan kita nanti?" Permaisuri berkata dengan raut khawatir.

"Kau tenang saja, Dinda. Sebenarnya para sesepuh itu aku tugaskan untuk membujuk kedua pangeran agar mengehentikan perselisihan."

"Benarkah itu, Kanda?"

"Benar, Dinda. Karena itu, jangan terlalu khawatir. Kita fokus saja dengan keamanan kerajaan ini," ujar Raja Jayakarta sambil memegang tangan permaisurinya lembut.

Di luar konteks, mukaku menghangat melihat tangan Andre yang hangat dan besar memegang tanganku. Fix, pulang dari sini aku tidak akan cuci tangan sampai seminggu kemudian. Aku berusaha berkonsentrasi lagi dengan naskah yang sudah kuhapal di luar kepala. "Syukurlah kalau begitu. Sebenarnya Kanda, Dinda hanya takut kerajaan lain mengetahui ini dan memanfaatkan perselisihan di sini untuk menyerang kita."

"Ketakutanmu memang beralasan karena aku juga sependapat denganmu. Sebab itu, aku memperketat penjagaan di batas wilayah kerajaan ini."

"Kanda memang hebat, mampu berpikir cepat di situasi darurat seperti ini," puji permaisuri.

Tiba-tiba salah seorang prajurit datang tergopoh-gopoh lalu langsung berlutut di hadapan raja. "Lapor Paduka. Saat ini Pangeran Indra dan Pangeran Kudra sedang berperang tak jauh dari sini.

Raja dan permaisuri langsung bangkit dari singgasananya. "Persiapkan kudaku! Aku akan mendatangi mereka berdua," titah sang raja.

"Laksanakan Paduka." Prajurit itupun langsung undur diri.

Permaisuri langsung menangis demi mendengar kabar buruk itu, "Bagaimana ini, Kanda? Anak-anakku. Hiks hiks."

"Dinda tenanglah. Biar Kanda yang akan membujuk kedua pangeran. Dinda tetaplah di sini."

Akhirnya Raja Jayakarta pun pergi ke tempat peperangan kedua pangeran dengan dikawal para prajurit terbaiknya. Sesampainya di sana, ia melihat begitu banyak prajurit yang tumbang akibat peperangan yang tak berguna ini. Saat itu, iapun melihat pangeran Indra dan pangeran Kudra saling menghunuskan pedangnya.

"Hentikan!!" teriak Raja Jayakarta.

Mendadak peperangan terhenti. Seluruh perhatian orang-orang tertuju pada sang raja yang sedang menaiki kuda dengan raut wajah marah. Kali ini tatapannya tertuju pada kedua pangeran.

"Indra! Kudra! Ayah ingin bicara dengan kalian!"

Pangeran Indra dan Kudra pun hanya bisa mematuhi titah ayahandanya. Kini nyali mereka menciut karena mereka takut jika melihat kemarahan ayahandanya. Mereka duduk di tenda yang telah dipersiapkan para prajurit. Raja Jayakarta memandang kedua putranya yang tertunduk.

"Kenapa kalian tak mengindahkan nasehatku agar berdamai?" tanya sang raja langsung ke intinya.

"Maafkan kami Ayahanda, sebenarnya saya sudah sepakat akan berdamai dengan Kakanda Indra, tapi saya mendengar bahwa dia telah membunuh beberapa prajurit saya dan meracuni kuda kesayanganku," jelas pangeran Kudra.

Pangeran Indra bangkit dari tempat duduknya dan memandang adiknya marah, "Fitnah keji apa yang kau berikan padaku? Aku tak pernah menyuruh siapapun membunuh prajuritmu ataupun meracuni kudamu. Malah yang kudengar, kau mencoba merayu istriku dan akan membunuhnya jika tak menuruti nafsu bejatmu!" teriak pangeran Indra.

Pangeran Kudrapun kaget, ia ikut berdiri berhadapan dengan pangeran Indra, "Justru kau yang sedang melempar fitnah. Aku tak pernah merayu Putri Salma, aku bahkan tak pernah bertemu dengannya sebulan ini."

"Cih!" Pangeran Indra meludah, "Siapa yang akan percaya omong kosongmu? Kau bahkan tak bisa membuktikan ucapanmu."

"Cukup!" Raja Jayakarta menggebrak meja, "Duduk! Pangeran Indra, apakah Putri Salma yang menceritakan hal itu padamu?"

"Bukan, Ayahanda. Tabib Loka yang mengatakannya padaku setelah ia memergoki mereka berdua." Pangeran Kudra menoleh kaget lalu tampak berpikir.

"Apakah kau sudah menanyakan hal ini langsung pada Putri Salma?" masing-masing beserta pasukannya.

"Kanda, bagaimana ini? Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita nanti? Sedangkan para sesepuh pun mulai memilih pemimpinnya masing-masing. Aku takut jika keadaan seperti ini akan terus berlanjut. Bagaimana masa depan kerajaan kita nanti?" Permaisuri berkata dengan raut khawatir.

"Kau tenang saja, Dinda. Sebenarnya para sesepuh itu aku tugaskan untuk menenangkan anak-anak kita."

"Benarkah itu, Kanda?"

"Benar, Dinda. Karena itu, jangan terlalu khawatir. Kita fokus saja dengan keamanan kerajaan ini," ujar Raja Jayakarta sambil memegang tangan permaisurinya lembut.

Di luar konteks, mukaku menghangat melihat tangan Andre yang hangat dan besar memegang tanganku. Fix, pulang dari sini aku tidak akan cuci tangan sampai seminggu kemudian. Aku berusaha berkonsentrasi lagi dengan naskah yang sudah kuhapal di luar kepala. "Syukurlah kalau begitu. Sebenarnya Kanda, Dinda hanya takut kerajaan lain mengetahui ini dan memanfaatkan perselisihan di sini untuk menyerang kita."

"Ketakutanmu memang beralasan karena aku juga sependapat denganmu. Sebab itu, aku memperketat penjagaan di batas wilayah kerajaan ini."

"Kanda memang hebat, mampu berpikir cepat di situasi darurat seperti ini," puji permaisuri.

Tiba-tiba salah seorang prajurit datang tergopoh-gopoh lalu langsung berlutut di hadapan raja. "Lapor Paduka. Saat ini Pangeran Indra dan Pangeran Kudra sedang berperang tak jauh dari sini.

Raja dan permaisuri langsung bangkit dari singgasananya. "Persiapkan kudaku! Aku akan mendatangi mereka berdua," titah sang raja.

"Laksanakan Paduka." Prajurit itupun langsung undur diri.

Permaisuri langsung menangis demi mendengar kabar buruk itu, "Bagaimana ini, Kanda? Anak-anakku. Hiks hiks."

"Dinda tenanglah. Biar Kanda yang akan membujuk kedua pangeran. Dinda tetaplah di sini."

Akhirnya Raja Jayakarta pun pergi ke tempat peperangan kedua pangeran dengan dikawal para prajurit terbaiknya. Sesampainya di sana, ia melihat begitu banyak prajurit yang tumbang akibat peperangan yang tak berguna ini. Saat itu, iapun melihat pangeran Indra dan pangeran Kudra saling menghunuskan pedangnya.

"Hentikan!!" teriak Raja Jayakarta.

Mendadak peperangan terhenti. Seluruh perhatian orang-orang tertuju pada sang raja yang sedang menaiki kuda dengan raut wajah marah. Kali ini tatapannya tertuju pada kedua pangeran.

"Indra! Kudra! Ayah ingin bicara dengan kalian!"

Pangeran Indra dan Kudra pun hanya bisa mematuhi titah ayahandanya. Kini nyali mereka menciut karena mereka takut jika melihat kemarahan ayahandanya. Mereka duduk di tenda yang telah dipersiapkan para prajurit. Raja Jayakarta memandang kedua putranya yang tertunduk.

"Kenapa kalian tak mengindahkan nasehatku agar berdamai?" tanya sang raja langsung ke intinya.

"Maafkan kami Ayahanda, sebenarnya saya sudah sepakat akan berdamai dengan Kakanda Indra, tapi saya mendengar bahwa dia telah membunuh beberapa prajurit saya dan meracuni kuda kesayanganku," jelas pangeran Kudra.

Pangeran Indra bangkit dari tempat duduknya dan memandang adiknya marah, "Fitnah keji apa yang kau berikan padaku? Aku tak pernah menyuruh siapapun membunuh prajuritmu ataupun meracuni kudamu. Malah yang kudengar, kau mencoba merayu istriku dan akan membunuhnya jika tak menuruti nafsu bejatmu!" teriak pangeran Indra.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!