Siang itu kantin tampak penuh, bahkan aku dan Tri harus rela makan semeja dengan 6 orang. Sesak euy.
"Ssst, Nis. Andre Andre," bisik Tri.
Aku segera menoleh ke belakang dan memang mendapati Andre tengah berjalan ke arahku. Entah kenapa wajahku mulai menghangat padahal dia belum tentu juga akan menemuiku. Aku berlagak tak peduli dan kembali melanjutkan makan bakso.
"Nis, bisa minta waktu sebentar?"
Uhuk! Sial! Karena kaget aku sampai tersedak bakso yang sedang kumakan. Andre dengan sigap memberiku minum dan tanpa rasa anggun sama sekali aku menghabiskannya dalam sekali teguk.
"Syukurin." Tri malah tertawa terbahak melihatku. Dasar oneng!
"Kamu gak apa-apa?"
"Ehem ehem. Gak apa-apa kok, Ndre. Duh, maaf ya karena kaget aku jadi kesedak. Hehe." Sumpah, rasanya malu banget. Dia ilfeel gak ya lihat aku brutal kayak gitu?
Andre tersenyum lembut, duh lembutnya selembut selimut bulu. "Gak apa-apa kok. Oh ya, bisa minta waktu sebentar gak? Aku mau bicara beberapa hal sama kamu."
"Oh iya, boleh kok," teriakku antusias.
Dukk
"Aduh!" Sialan, Trilala Trilili, dia sengaja menendang kakiku. Kulihat dia melotot sambil memutar bola matanya. Ehmm ... mungkin maksudnya aku terlihat terlalu antusias, jadi harus jaga image.
"Kenapa?"
"Ehm ... gak apa-apa. Aku lupa kalau aku lupa bawa dompet, jadi makan kali ini ini ditraktir sama Tri. Tolong ya, Tri."
Langsung kutarik tangan Andre dan membawanya berlari ke luar kantin. Samar terdengar Tri berteriak memanggil namaku dengan sumpah serapahnya. Haha.
Kami berjalan menuju sebelah musholla yang lumayan sepi tanpa ada yang memulai pembicaraan. Aku terlalu bahagia bisa berjalan bersisian dengannya hingga tak sanggup mengucap sepatah katapun. Sedangkan Andre, entahlah apa yang dipikirkannya.
Sampai musholla, kami berhenti dan berteduh di bawah pohon beringin.
"Jadi kamu ingin bicara apa, Ndre?"
"Ehmm, anu sebelumnya, ehmm, maaf ya, tapi bisa gak kamu lepasin tanganku dulu?"
Aku kaget dan melihat tanganku ternyata memang masih memegang tangannya. Sontak langsung kulepaskan. Duh, ya ampun. Sangking senangnya aku sampai tidak sadar kalau sejak tadi bergandengan tangan dengannya. Pantas saja dia diam saja dari tadi, pasti dia malu karena dilihat anak-anak di jalan tadi. Ya ampun, wajahku terasa panas. Aku yakin warnanya semerah tomat.
"Ma- maaf, Ndre. Aku gak sengaja," ucapku sambil memalingkan wajah. Malu.
"Oh ya, gak apa-apa kok. Aku malah senang, ehh ... bukan, maksudku aku gak apa-apa kok dipegang terus. Ehh .. maksudnya .... " Kini kulihat Andre malah gugup sendiri. Bolehkah kuartikan itu tanda bahwa dia grogi? Kalau grogi berarti ada rasa, kan?
Senyum sumringah kuberikan padanya, "Oh ya, jadi ada apa?"
Andre berdehem sebentar. "Begini, tadi aku diberitahu pak Yusuf bahwa jadwal lomba teater akan diadakan satu bulan ke depan. Maka dari itu, kita diusahakan latihan setiap hari. Bagaimana? Kamu bisa, kan?"
Pak Yusuf adalah pembina ekskul teater, Sedangkan Andre adalah ketuanya. Dalam drama kali ini, kebetulan aku dan Andre dipasangkan sebagai suami istri. Aihh, senangnya. Coba kalau terjadi di dunia nyata.
"Bisa kok. Ehm ... tapi kalau bisa mulai besok saja ya. Hari ini aku minta izin dulu sama bapak ibu."
"Sipp. Lagipula latihan tiap harinya dimulai minggu depan kok."
Aku mengangguk sambil tersenyum, "Makasih infonya. Ada lagi?"
"Gak kok. Kamu boleh kembali."
Aku membalikkan badan dan berkomat-kamit. 'Ayo, pangil aku dong. Panggil aku.'
"Nisa!"
'Yes!' Aku berbalik, "Ya?"
Andre berjalan mendekat, "Ehmm ... anu ehmm." Cukup lama Andre ber-amem amem hingga akhirnya dia terdiam sebentar. "Maaf, gak jadi. Ya udah, aku balik dulu ya."
What the!! Aku hanya bisa memandang punggung Andre yang mulai menjauh dengan kesal. 'Kukira tadi mau nembak ternyata cuma
mau ngetes suara. Ihh, sebel!!'
********************
Aku ingat hari itu, senin tanggal 28 oktober, dalam memperingati bulan bahasa maka salah satu kampus di kotaku mengadakan perlombaan teater yang diikuti peserta dari berbagai daerah. Setiap peserta diberikan satu ruangan khusus yang bisa digunakan untuk tidur dan menaruh barang-barang untuk keperluan tampil. Memang kebanyakan dari peserta menginap di sana agar tidak terburu-buru menyiapkan diri keesokan harinya, karena lomba memang dimulai pagi hari.
Pagi ini jam 6, kelompok kami melakukan latihan sedikit agar dapat mengingat adegan serta dialog yang akan ditampilkan nanti. Lagi serius-seriusnya latihan, kusempatkan melirik Andre yang sedang membaca naskah dengan serius. Uhh, ademnya. Kalau lagi serius seperti itu, kegantengannya bertambah berkali-kali lipat.
"Matamu lihat kemana sih, Nis. Aku itu lawan mainmu kenapa jadi lihat ke arah lain sih?" ucap Hida kesal. Dia adalah teman sekelasku tapi di sini dia berperan sebagai anakku.
"Hehe, maaf ya. Tadi malam aku kurang tidur jadinya gak konsen," kilahku.
"Yang serius dong. Kita kan mau tampil tadi jam 9. Kalau kamu sampai gak konsen gini, bisa berabe nanti."
"Iya iya maaf."
Jam 7 latihan dihentikan dan kami harus bersiap-siap. Setelah mandi dan sarapan, kami pun mulai mempersiapkan diri untuk tampil. Seksi perlengkapan mulai mendandani para aktor dan sebagian lagi mengangkut barang yang dibutuhkan saat pementasan ke gedung perlombaan.
Pada pementasan kali ini menceritakan tentang kisah kerajaan di zaman dulu. Pada awalnya kerajaan itu begitu damai, namun malapetaka datang ketika seorang musuh dari kerajaan lain mulai menyusup ke dalam kerajaan. Dia membuat kekacauan dengan mengadu domba para anak permaisuri. Siasatnya berhasil karena mereka mulai bertengkar karena berebut kekuasaan dan tahta.
"Nah, sudah siap. Ya ampun, Nis. Kamu cantik banget. Cocok jadi permaisuri beneran," seloroh kak Linda, murid kelas XII.
Otomatis perhatian seluruh ruangan tertuju padaku, dan beberapa di antara mereka memuji kecantikanku.
"Iya benar banget Nis, kamu manglingi. Jadi tambah cuantikk. Kalau kayak gini mah aku jadi mau jadi pacarmu," celetuk Diki, murid kelas sebelah XI D.
Huuuuu. Terdengar sorakan dan selorohan teman-teman pada Diki. Sedangkan dia hanya tertawa menanggapi.
"Jangan mau, Nis. Itu sih enak di Diki gak enak di kamu."
"Diki ganjen amat. Sok-sokan mau pacaran, kerjaannya aja ngutang terus di warungnya Mpok Leha. Mau dikasih apa pacarmu nanti."
Suasana makin bertambah ramai seiring Diki yang berkilah. Tanpa sadar pandanganku memerangkap mata Andre. Saat itulah, dunia seakan terhisap sehingga keramaian di sekitar menjadi hilang. Senyap. Dia terlihat tampan dengan pakaian raja yang melekat pas pada tubuhnya.
"Nis." kak Linda menepuk pundakku sehingga membuatku berjengit kaget.
"Eh iya?"
"Kok malah ngelihatin Andre? Suka ya?" bisik kak Linda di telingaku.
Aku hanya tertunduk malu tak berusaha menjawab. Wajahku mulai memanas saat pandangan kami bertemu lagi. Ya ampun, kenapa dia terus melihatku sih? Aku kan jadi GR nanti.
"Hayoooooo. Lihat-lihat lagi. Ciyeeeee," goda Linda.
"Hush, apaan sih? Jangan keras-keras dong. Nanti yang lain dengar."
"Jadi kamu ngaku nih, kalau suka sama Andre? Ihiirrr."
"Duh, Kak Linda." Wajahku bertambah hangat. Malu.
Kak Linda tambah mendekatiku, "Jangan khawatir, kalau aku lihat-lihat sepertinya dia juga suka padamu."
Aku membulatkan mata dan menatap kak Linda, "Serius Kak? Darimana Kakak tahu?"
"Lihat saja pandangan matanya tak pernah lepas darimu sejak tadi. Sejak kamu mulai dirias. Aku berulang kali memastikan apakah kamu yang dilihat olehnya dan ternyata benar. Kamu berhasil menangkap ikan yang bagus,Nis." Kak Linda mengacungkan jempolnya.
Dadaku berdebar keras. Berbagai pertanyaan muncul dibenakku. Benarkah yang dikatakan kak Linda bahwa Andre suka padaku? Benarkah dia terus memperhatikanku sejak tadi?
Kedatangan pak Yusuf menghentikan aktivitas gurauan kami. Beliau berkata bahwa kami harus segera pergi ke tempat perlombaan, karena sebentar lagi giliran kami yang tampil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments