Manager Baru

Dunia memang tak selebar kolor mantan, ups daun kelor maksudnya. Sepertinya quote itu menggambarkan keadaanku saat ini. Bayangkan saja, berapa sih luas Jakarta kok bisa-bisanya aku gak tahu kalau aku bekerja di perusahaan milik sang mantan. Kan akhirnya jadi begini. Dan kenapa pula dia tiba-tiba muncul dihadapanku seolah punya jin lampu, gak sekalian aja tuh dia gunakan kekuatannya buat pergi ke neraka. Mantan, go to the hell.

Bicara tentang mantan, pasti kalian bingung siapa sih mantan yang bolak-balik aku sebut. Hehe. Dia adalah Andre Wijaya Kusuma, cowok yang dianugerahi kesempurnaan oleh Tuhan. Ini memang terkesan tidak adil, tapi dia seakan merebut semua elemen yang harusnya dibagi rata dengan cowok bumi lainnya. Tampan, pintar, kharismatik, tinggi, putih, dan jangan lupakan kekayaan keluarganya.

"Pokoknya Nis, kita harus resign dari tempat ini secepatnya. Jujur aja, aku udah eneg lihat muka si songong itu," ucap Tri berapi-api.

Sebenarnya sejak kejadian di kantin tadi, Tri tak henti-hentinya bicara tentang resign. Aku maklum, karena dibandingkan aku mungkin dia yang lebih sebal melihat Andre. Sahabat baik harusnya seperti itu kan, ikut merasa tersakiti melihat sahabatnya sakit. Hehe.

Untuk kesekian kalinya, aku menghela nafas panjang. "Udahlah, Say. Mungkin udah takdirnya dia jadi manager kita. Lagian kalau kita resign, belum tentu juga kita dapat pekerjaan yang lebih baik dari ini."

"Kok kamu jadi lembek gini sih?" Tri menatapku curiga, " Ohh ... jangan bilang kalau kamu masih mengharapkan dia?"

"Najis! Aku tuh cuma berpikir realistis, Tri. Sekarang itu mencari pekerjaan udah ibarat kayak nyari jodoh di Samudera Atlantis. Ribet dan sulit. Apalagi .... "

"Apalagi apa?"

"Ya, kamu kan tahu sendiri aku butuh banyak uang buat kuliahnya Hanafi." Hanafi adalah adik bungsuku. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan sarjana. Bisa dibilang aku adalah tulang punggung keluarga sejak bapak pensiun.

Tri menghela nafas. Menatapku dengan ekspresi yang entah. Pandangan kami tertuju pada kantor manager yang sudah ramai dipenuhi dengan para karyawan yang ingin bersalaman dengan bos mereka yang baru, terutama kaum hawa.

"Nah, Tri. Bukannya kamu tadi pagi paling semangat mau menyambut manager kita. Kenapa gak sekalian aja kamu ke sana dan salaman?" tanyaku berusaha mencairkan suasana.

"Gak sudi! Kalau tahu yang datang tadi si sontoloyo itu, mana mau aku bela-belain bangun pagi dan dandan kayak orang gila."

Aku hanya tertawa melihatnya melontarkan sumpah serapah. Saat itulah kulihat Andre keluar dari ruangannya, dan tatapan kami bertemu sekilas sebelum perhatiannya teralihkan dengan suara riuh di sekitarnya.

Aku menahan nafas dan memegang dadaku yang nyeri, saat itulah aku sadar mungkin rasa itu masih berdenyut untuknya.

****************

FLASHBACK ON.

Pagi ini hari senin, rasanya malas sekali bangun dan berangkat sekolah. Apalagi tadi malam, Tri terus-menerus menelponku, dapat gratisan katanya jadi mubazir kalau tidak digunakan. Yaelah Maemunah, kenapa gak sekalian telpon Perdana Menteri Malaysia supaya tayangin episode baru Upin dan Ipin?

"Nis, Annisa. Cepat bangun, Nak. Nanti shubuhnya telat lho!" teriak ibu dari luar kamar.

"Iya Bu, ini sudah bangun," balasku dengan mata dan iler yang masih menempel erat.

Merem dulu deh, lima menit lagi, batinku.

Dok Dok Dok

"Kak, ngapain aja sih di dalam? Ibu udah nyuruh sarapan tuh. Kakkk!!"

"Iya berisikkk!" Aku melemparkan bantal ke arah pintu. Hanafi sialan gara-gara gedoran pintunya jidatku sampai terbentur lantai.

Aku melihat jam dan menjerit, " Ya ampun, jam 6. Astogehh!"

Buru-buru mengambil seragam di lemari dan lari ke kamar mandi. Si ibu yang sedang menata makanan di meja makan hanya geleng-geleng kepala.

"Makanya to, Nduk. Kalau sudah bangun itu mbok ya langsung bangun, jangan tidur lagi. Akhirnya malah kesiangan to. Anak gadis kok bangunnya siang, nanti jodohnya dipatok ayam baru tahu rasa kamu." Omelan ibu terdengar samar dari dalam kamar mandi.

"Biarin aja, Bu. Biar ngenes jadi jomblowati seumur hidup." Hanafi tertawa mengejek.

"Hush. Gak boleh gitu sama kakakmu. Pamali."

Aku tak menyahut dan langsung melaksanakan mandi bebek. Hal yang sudah sering kulakukan karena bangun siang seolah jadi kebiasaanku.

Selesai mandi, ganti seragam, dan berdandan ala kadarnya, aku langsung menuju meja makan. Nampak nasi goreng yang masih mengepul dan telur dadar yang dibagi empat.

"Hmm ... enak, Bu."

Tin Tin

"Tuh, lihat. Tri udah jemput. Kamu itu kok mesti selalu telat. Kasihan kan Tri masih harus nunggu kamu." Kali ini bapak yang bersuara.

"Hiahin aha lah, Pak. Salah hendihi telhon hampai maham, " sahutku dengan mulut penuh nasi goreng.

"Kalau makan itu ditelan dulu."

Aku segera menelan nasi goreng kemudian minum dengan tergesa. Mengambil tas dan buru-buru salim ibu dan bapak.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sampai di luar aku cengengesan melihat Tri duduk di motor bebeknya dengan bibir maju lima senti.

"Kenapa tuh bibir? Habis dicium kuda nil ya?"

"Sembarangan kalau ngomong. Kamu tuh kebiasaan ya, selalu aku disuruh nunggu."

"Yaelah. Belum juga lima menit. Nih, Abunawas disuruh nunggu ayam jantan bertelur aja gak protes. Lagian ini kan gara-gara kamu juga. Siapa suruh nelpon sampai malam?"

"Halah ngeles aja, kek bajaj. Udah buruan naik, ntar tak tinggal lho."

Tak lama, kami berdua pun sampai di sekolah. Senin yang seperti biasanya, upacara bendera. Dan seperti biasanya pula, aku dan Tri buru-buru menempati tempat paling belakang di bawah rimbunan pohon.

"Eh, lihat! Itu bukannya Andre ya yang jadi ketua upacaranya?" bisik Tri takut ditegur guru yang berjaga di belakang kami.

"Mana?" Aku sampai berjinjit melihat ke depan. Begini nih, nasib orang pendek. "Iya benar. Duh, tahu gitu tadi ambil tempat di depan aja biar kelihatan," keluhku. Pantas saja aku heran melihat anak perempuan tadi berebut tempat di depan. Ternyata ini alasannya.

"Giliran Andre aja yang jadi ketuanya minta di depan."

"Hehe. Kan lumayan bisa cuci mata. Kapan lagi hayo lihat yang bening-bening."

Andre Wijaya Kusuma. Ahh, dengan apa aku harus menggambarkan dia. Menjadi cowok idola sejak pertama kali masuk sekolah karena ketampanan dan kepintarannya. Kami beda kelas tapi satu ekskul, teater. Setiap kali bertemu dengannya hatiku selalu berdebar. Nano-nano pokoknya. Apalagi kalau kami beradu akting, rasanya mau pingsan saja. Tatapan matanya, ahh...

"Annisa, ngapain kamu senyam-senyum? Ayo hormat pada sang Saka," ucap pak guru sambil menepuk pundakku.

Aku terkejut dan bersungut sebal karena guru ini berhasil membuyarkan lamunanku. Sekilas kulihat Tri tertawa kecil sambil menjulurkan lidahnya. Sial!

Terpopuler

Comments

nobita

nobita

lucu sekali

2021-01-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!