"Ayo, masuk!"
Nisa hanya melengos kemudian sibuk dengan hpnya. Dia masih mencari driver yang bisa menjemputnya, sial sekali karena ini hari terakhir kerja sepertinya semua ojol sedang sibuk.
Andre yang merasa diacuhkan turun dari mobilnya dan seketika merampas hp milik Nisa.
"Hey, apa yang kamu lakukan?" protes Nisa sambil berusaha mengambil kembali hpnya. Sayangnya Andre bergerak cepat dan menaruh hp itu di saku belakangnya.
"Aku akan mengantarmu pulang. Ayo, masuk!" perintah Andre lagi.
"Aku tidak mau pulang denganmu. Cepat berikan hpku."
"Hpnya akan kukembalikan setelah kita sampai di rumahmu. Cepatlah masuk. Semakin lama kita berdebat, semakin banyak orang melihat. Kamu tidak ingin ada karyawan menyebarkan gosip tentang kita, kan?"
Nisa mendengus kecil tanpa bisa membantah perkataan Andre. Dengan terpaksa ia membuka pintu dan masuk mobil. Andre yang melihatnya pun hanya tersenyum kecil, kemudian dia menyusul masuk ke mobilnya.
"Rumahmu masih sama, kan?"
"Hmmm...."
Sepanjang jalan hanya keheningan yang mengisi mobil itu. Andre sibuk curi-curi pandang ke arah Nisa yang terus melihat ke arah luar. Sebenarnya dia tahu Andre berulang kali melihatnya tapi rasa malu atas kejadian tadi pagi masih membekas dalam ingatannya. Membuat dia enggan bersuara apalagi menatap pencuri ciumannya itu.
"Emm... Nis, aku minta maaf dengan kejadian tadi pagi." Akhirnya Andre tidak kuat menahan kebisuannya.
"Iya gak apa-apa," sahut Nisa singkat.
"Kamu marah?"
"Untuk apa aku marah? Marah pun gak ada gunanya, udah kejadian juga."
"Aku benar-benar minta maaf, aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri tadi. Aku cemburu melihatmu sedekat itu dengan Radit, melihatmu tertawa lepas di depan laki-laki lain."
Kali ini Nisa menoleh ke arah Andre, "Kenapa kamu harus merasa cemburu? Kita bahkan tidak ada hubungan apa-apa, Ndre. Kita hanya mantan." Nisa menekankan kata terakhirnya.
Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan rumah Nisa. Nisa yang sadar sampai berniat melepas seatbelt namun Andre menahan tangannya.
"Apa aku tidak berhak merasa cemburu saat rasa cintaku masih sama seperti dulu, bahkan mungkin melebihi?"
Nisa terpaku, ia merasa tersihir ketika menatap langsung kedua mata laki-laki di depannya ini. Mata yang bersinar dengan penuh kejujuran dan keteguhan. Apa benar yang dikatakannya tadi, bahwa ia masih mencintai Nisa? Apakah ia bisa mempercayainya?
Tatapan keduanya terputus, ketika kaca jendela Andre diketuk dari luar. Dengan segera mereka saling menjauhkan diri dengan wajah merona. Andre menurunkan kaca jendelanya dan melihat sosok yang dikenalnya.
"Hanafi?"
"Kak Andre! Ternyata benar dugaanku. Ayo Kak, turun," ajak Hanafi antusias.
Pandangan kami bertemu sekilas, " Aku gak apa-apa nih mampir?"
"Masuk aja. Udah ketahuan juga." Nisa keluar dari mobil diikuti Andre.
"Wah, Kakak makin ganteng aja. Tambah berkharisma. Tadinya aku kayak ngenalin mobil ini pas masuk gang, dan waktu berhenti di depan rumah aku jadi keinget kalau mobil ini sama kayak yang dikendarai Kak Andre tempo hari."
"Oh ya? Kapan kamu lihat aku pake mobil ini?"
"Waktu Kakak makan siang sama Kak Nisa di restoran Italia itu lho. Dan aku tanya sama Kak Nisa, katanya Kakak udah sebulanan ini ya ada di Indonesia. Kok gak pernah ke sini sih, Kak?" Hanafi terus bicara dengan raut wajah senang. Dia terlihat seperti bertemu dengan artis saja.
"Emm... iya maaf. Aku agak sibuk setelah kembali ke Indonesia."
"Ayo masuk, Kak. Bapak dan ibu juga pasti senang ketemu Kak Andre. Mereka udah kangen banget sama Kakak."
Nisa hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya itu. Seumur hidup tidak pernah dirinya disambut seantusias itu ketika pulang. Bolehkah ia merasa iri sekarang?
Ketika Nisa masuk rumah, suasana sedang heboh. Dia bahkan melihat ibunya berulang kali memeluk Andre. Bapak yang terlihat tenang di kursinya tapi dengan wajah gembira dengan senyum lebar menghias wajahnya. Hanafi terlihat membawa sebuah baki berisi minuman dari dapur. Wanita itu memutar bola matanya jengah. Sumpah demi apapun, rumahnya seperti terlihat kelihatan anggota menteri.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam," sahut semua orang.
"Nis, kok kamu ndak bilang sama ibu kalau Andre mau datang? Tau gitu kan tadi ibu masak yang banyak."
"Aku gak tahu Bu kalau dia mau ke rumah," ujar Nisa membela diri lalu menyalami tangan kedua orangtuanya. "Nisa mau ke kamar dulu, mau mandi."
"Cie yang diapelin pacar langsung mau mandi aja, biasanya juga rebahan dulu sampai ibu ngomel-ngomel," sindir Hanafi.
"Lemes banget sih tuh mulut."
Nisa masuk ke kamarnya tanpa peduli dengan keramaian di ruang tamu. Seperti kata Hanafi, dirinya memang tidak langsung mandi tapi sedang rebahan dulu. Kebiasaannya ketika pulang kerja.
Pikirannya menerawang kemana-mana, tentang seorang laki-laki yang saat ini berada di rumahnya. Sayup-sayup terdengar suara tawa ibunya dan Hanafi, ah mereka gembira sekali. Dengan perlahan dipejamkan matanya dan alam mimpi mulai menyambutnya.
.
.
"Duh, anak itu kemana ya? Mandi kok lama amat. Afi, coba kamu lihat kakakmu!" perintah ibu setelah mereka menunggu Nisa yang tak kunjung keluar dari kamar.
"Ibu kayak gak ngerti cewek aja, ya pasti Kak Nisa lagi dandan makanya lama." Hanafi pun segera beranjak meskipun enggan. Tapi begitu ia melongok ke dalam kamar, betapa terkejutnya ia melihat Nisa sedang tidur cantik .
"Bu, Kak Nisa tidur. Kayaknya dia juga belum sempat mandi, orang bajunya aja sama kayak tadi."
"Astaghfirullah anak itu. Amit amit jabang bayi." Ibu mengetuk-ngetuk kepala dan lututnya bergantian. "Nak Andre, kamu yang sabar ya sama Nisa. Dia emang paling malas kalau disuruh mandi. Afi, kamu bangunkan kakakmu, bentar lagi makan malam."
"Udah Bu, biarkan sebentar. Mungkin Nisa lagi capek banget. Nanti saja kalau sudah mau makan dibangunkan." Andre memberi saran sbil tersenyum manis. Hati camer mana yang tidak luntur melihat senyumannya.
"Gitu ya? Ya udah kalau menurut Nak Andre begitu. Nanti makan malam di sini ya, bareng-bareng. Ibu tadi udah masak banyak."
"Emm... gak usah, Bu. Saya mau pulang aja." Andre merasa sungkan. Sudah lama sekali ia tak berkunjung ke rumah ini, masak sekalinya berkunjung dia ikut makan bersama.
"Gak apa-apa, Nak Andre. Kapan lagi kita bisa kumpul lagi kayak gini. Anggap aja ini syukuran menyambut kepulangan kamu dari luar negeri." Kali ini bapak yang bicara. Fix, kalau ini tidak bisa dibantah.
"Ya udah, kamu ngobrol lagi ya sama Bapak. Ibu mau ke dapur dulu."
"Iya Bu, makasih sebelumnya."
"Halah, kayak sama siapa aja kamu ini."
Setengah jam kemudian, hanya tinggal Andre dan bapak di ruang tamu sedang bermain catur. Hanafi tadi pamit mau ke rumah temannya, mau mengambil tugas katanya.
"Nak Andre, ibu minta tolong ya kamu bangunkan si Nisa. Makan malamnya sudah siap soalnya," pinta ibu yang membuat Andre terkejut.
"Saya, Bu?"
"Iya. Itu kamarnya yang nomor 2 dari sini. Pintunya jangan ditutup ya, supaya tidak jadi fitnah." Ibu tersenyum geli.
"Ibu ini lucu, kalau gak mau anaknya kena fitnah kenapa tidak Ibu sendiri yang membangunkan?" tanya bapak. Andre pun sepemikiran dengan laki-laki sepuh di depannya ini
"Kalau ibu yang bangunkan, yang ada Nisa malah balik badan aja, Pak. Udah kamu langsung masuk aja, ya." Andre hanya mengangguk sebagai jawabannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments