Bertemu Lagi

"Bener itu Andre, Nis?" tanya bapak.

"Duh, mati aku. Harus jawab apa nih?" teriak Nisa dalam hati.

"Kak, kok diem sih? Bener kan itu kak Andre?"

"Emm... iya bener. Itu emang Andre." Akhirnya Nisa menjawab pelan.

"Lho, kapan Andre pulang? Kok kamu gak kasih tahu kalau Andre udah balik kesini?" tanya ibu.

Nisa menggaruk tengkuknya. "Emm.. sebenarnya aku kurang tahu juga kapan tepatnya dia pulang. Tapi yang aku tahu dia udah di sini sebulan yang lalu."

"Walah, berita besar ini Nduk. Kamu ajak ke sini dong Andre, ibu kangen banget sama pacar kamu itu." Ibu terlihat antusias sekali, sebenarnya semua orang tampak antusias mendengar kabar ini. Bagaimanapun juga yang mereka tahu, Andre masih menjadi pacar Nisa.

Kali ini Nisa benar-benar dilema. Inikah saat yang tepat memberi tahu semua keluarganya bahwa mereka berdua sudah putus sejak lama? Rasanya dia tidak sanggup membohongi mereka lebih jauh lagi.

"Emm.. Pak, Bu sebenarnya... Nisa dan Andre itu... sudah lama pu-"

Tep!!

Tiba-tiba lampu mati, membuat ucapan Nisa terpotong. Sontak semua orang menjadi kalang kabut.

"Lho alah. Lha kok mati lampu. Aduh bapak, gimana ini nasibnya Ratna?" teriak ibu histeris.

"Ratna siapa sih, Bu?"

"Itu lho Pak, di senitron 'ku menangis' tadi. Aduh, padahal lagi seru-serunya."

Terdengar suara bapak yang seperti menepuk jidat. "Kok malah mikirin sinetron. Udah sana, cari lilin. Gelap ini lho. Bapak mau ke depan dulu, mau lihat yang mati rumah ini saja apa semua rumah."

"Aku ikut, Pak." Hanafi ikut berdiri sambil menyalakan senter di hpnya.

"Nduk, ayo anterin ibu ke dapur ambil lilin. Gak kelihatan soalnya. Salah-salah bukan lilin yang keambil malah simpenannya ibu."

"Lho? Ibu punya simpanan?" tanya Nisa kaget. "Siapa Bu? Kurang apa bapak sama Ibu kok tega-teganya ibu punya simpanan? Di rumah ini pula?" Suara Nisa tampak tak percaya dan marah.

"Hush! Kalau ngomong mbok ya disaring. Maksud ibu ya simpanan duit, masak mau simpanan laki," jelas ibu sewot. "Lagian meskipun bapakmu itu kurang ganteng, tapi ibu itu tresno lahir batin."

"Oalah Bu, syukur deh." Nisa mengelus dadanya lega.

"Ya sudah, ayo anterin ke dapur."

Dan akhirnya semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan melupakan pembicaraan tentang Andre. Lagi, Nisa pun gagal memberi tahu kandasnya hubungan antara dirinya dan Andre.

.

.

.

...----------------...

.

.

Pagi ini, Nisa harus merelakan diri jalan ke ujung gang untuk menunggu ojek online yang sudah dipesannya. Suasana hatinya sedang buruk. Sudah berulang kali ia menghubungi Tri, tapi sama sekali tidak diangkat. Nisa memang sudah terbiasa nebeng Tri dari SMA. Beruntungnya ia selalu satu tujuan dengan Tri.

Begitupun saat membangunkan Hanafi agar diantarkan ke kantor, adiknya yang tidur lagi setelah shalat shubuh itu malah semakin mengeratkan selimutnya.

"Ngantuk ah, Kak. Tadi malam gak bisa tidur gara-gara mati lampu, banyak nyamuk," katanya saat Nisa memaksa mengantarkan ke kantor.

Bukannya Nisa tidak mau naik ojek online, hanya saja dia tak terbiasa. Entah kenapa dari dulu, dia selalu takut dengan orang asing.

"Bapak antar ya Nduk, kalau kamu takut naik ojol," tawar bapak.

"Gak usah, Pak. Bapak di rumah saja, makan ubi rebusnya." Nisa tersenyum. Mana tega ia membiarkan bapaknya yang sudah sepuh bermain dengan asap, polusi, dan kemacetan di jalan. Biarlah, ia akan memberanikan dirinya saat ini. Toh, tidak selamanya dia akan menyusahkan orang lain terus. Tri dan Hanafi contohnya.

Dan di sinilah dia sekarang. Menunggu drivernya yang sudah dekat dengan gelisah. Berulang kali dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Tiba-tiba hpnya berdering dan nama Tri terpampang dilayarnya.

"Halo. Kamu kemana aja, sih?"

"Eh, Nis. Maaf ya, aku lupa gak ngasih kabar. Tadi pagi mama maksa diantarkan ke pasar, katanya nanti mau ada tamu. Hpnya tadi aku silent jadi gak dengar kamu telpon. Terus, sekarang kamu dimana?"

"Masih di depan gang, nunggu ojol. Kamu udah di kantor?"

"Iya ini lagi di parkiran kantor. Duh, aku benar-benar minta maaf ya Beb. Kenapa gak diantar Hanafi?"

"Tidur anaknya. Gak mau dibangunin."

Tin!

Sebuah motor sport hitam tiba-tiba berhenti di depan Nisa. Wanita itu menatap heran hingga dia melihat sang pengemudi melepaskan helmnya dan tampaklah sosok yang dikenalnya. Radit.

"Kak Radit?"

"Hy, Nis. Kamu lagi apa di sini?" tanya Radit dari atas motornya

"Emm.. aku lagi nunggu ojol, Kak. Kalau Kakak sendiri ngapain di sini?"

Radit tertawa, "Kamu lucu ya ,Nis. Tentu saja aku lagi lewat jalan ini dan dari jauh seperti melihat kamu. Eh, ternyata benar."

"Halo, Nis. Kamu lagi ngomong sama siapa?"

"Nanti aku ceritakan. Udah dulu ya, Tri. Bye, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Astaghfirullah, Kak Radit. Kakak ngagetin aja." Nisa mengelus dadanya saat Radit berdiri di depannya. Kapan dia turun dari motornya?

Radit hanya tersenyum tanpa dosa, "Maaf ya, kalau kamu kaget. Gimana kalau aku yang nganterin kamu? Nanti kamu telat kalau harus nunggu ojolnya?

"Tapi Kak, itu ojolnya udah datang," ujar Nisa sambil menunjuk driver yang mendekat ke arah mereka.

"Tenang, kamu tunggu di sini ya." Radit kemudian menghampiri drivernya dan tampak berbicara sebentar lalu dia memberi sejumlah uang. Nisa yang melihat drivernya pergi kemudian hendak berteriak.

"Jangan dikejar. Aku sudah membatalkan orderannya."

"Lho, kenapa Kak? Kan kasihan orangnya udah sampai sini tapi malah dicancel."

"Kalau soal itu tenang aja. Drivernya udah aku kasih uang, dan tetap jalan sesuai orderan."

"Terus, aku naik apa kalau orderannya Kakak cancel?"

"Kan ada aku," ujar Radit sambil menyerahkan helm berwarna biru muda kepada Nisa. Nisa nampak ragu hendak menerimanya. Tanpa banyak kata Radit langsung memasangkan helm ke kepala Nisa.

"Tapi, Kak. Apa gak menyusahkan? Kantor kita kan berbeda arah." Nisa masih berusaha menolak. Seketika dia ingat tentang peringatan Andre bahwa Radit bukanlah orang baik. Bagaimana jika dugaan Andre itu benar? Bagaimana kalau Radit macam-macam dengannya di jalanan sepi?

"Aku tidak menerima penolakan. Ayo!"

Akhirnya Nisa membuang jauh-jauh pikiran buruknya, Tidak mungkin laki-laki baik seperti dia akan macam-macam dengannya, pikirnya. Baru kali ini ia naik motor sport. Tangannya otomatis berpengangan pada kedua sisi motor agar tak jatuh mendadak saat Radit mengerem. Itu sih anugrah buat Radit kalau sampai kena. Lumayan empuk-empuk kenyal.

"Rumah kamu di sekitar situ ya, Nis?" tanya Radit agak berteriak mengalahkan deru mesin motornya.

"Iya, masuk gang."

"Kok aku gak pernah lihat kamu ya kalau lewat situ?"

"Aku gak pernah naik ojol, Kak. Baru kali ini. Biasanya nebeng sama teman. Emang rumah Kak Radit dimana?"

"Di jalan Manggis."

"Lho? Deket ya, Kak. Aku di jalan Durian. Ternyata selama ini kita bertetangga, ya."

"Wah, apa jangan-jangan kita jodoh," goda Radit.

Nisa menepuk bahu Radit, "Apaan sih, Kak? Masa kita tetanggaan bisa jodoh gitu? Kalau iya, jodohku harusnya Pak RT dong yang cuma langkah dari rumah."

"Jodoh lima langkah dong jadinya. Haha." Mereka berdua tertawa bersama.

Sepanjang jalan, Radit selalu berhasil menemukan bahan obrolan agar suasana selalu ramai. Sepertinya dia memang tipe laki-laki yang humoris dan ceria. Ada saja celetukannya yang membuat Nisa tertawa hingga tanpa sadar mereka pun sampai di kantor Nisa.

"Aduh Kak, udah dulu ya. Perutku sampai sakit kebanyakan tertawa," ujar Nisa di sela-sela tawanya sambil berusaha turun dari motor.

"Tertawa aja gak apa-apa. Bisa bikin kamu awet muda terus."

"Haha iya. Ini Kak, helmnya. Makasih ya buat tumpangannya."

"Iya. Emm... Nis, gimana kalau nanti pulangnya aku antar pulang juga?"

"Oh, gak usah Kak makasih. Nanti pulangnya aku bareng sama temanku, cuma tadi pagi dia ada urusan makanya itu berangkat duluan."

"Gitu ya. Ya udah, aku balik dulu ya. Udah telat kayaknya. Kamu juga cepetan masuk, pasti kamu telat juga."

Nisa melihat jam tangannya dan sontak melotot. Benar, dirinya telat 10 menit. Gara-gara keasyikan tertawa, dia sampai lupa lihat jam.

"Duh, Kak. Aku telat nih, duluan ya. Makasih." Nisa pun berlari sambil melambaikan tangannya.

Radit membalas lambaiannya sambil tersenyum. Senang sekali dirinya hari ini. Untung saja ban mobilnya bocor kemarin, jadi dia bisa mendapat durian runtuh hari ini. Nisa... benar-benar wanita yang manis.

Saat hendak memakai helm, matanya bersiborok dengan sepasang mata yang menatapnya tajam. Wajahnya merah seakan menahan amarah dan tangannya terkepal erat. Radit tersenyum sinis melihat hal itu, kemudian melajukan motornya dengan kecepatan tinggi ke kantornya.

.

.

.

...----------------...

.

.

**Tadinya benar-benar berharap bisa update tiap hari. Apalah daya harus terkalahkan dengan yang namanya ngantuk dan capek 😂😂. Makanya salut banget buat author yang bisa up lebih dari 1 eps tiap harinya. Apalah aku yang cuma remahan rengginang di toples 😅.

Terima kasih yang sudah mengikuti sampai sejauh ini. Love you guys**,,,,

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!