Peristiwa Naas

Sejak kejadian dengan Tante Lia waktu itu, hidupku masih berjalan seperti biasanya. Tak ada yang tahu tentang hal itu, karena memang aku tidak ingin siapapun khawatir. Toh sepertinya ancamannya hanyalah gertak sambal.

Ujian Nasional akan diadakan seminggu lagi dan saat ini adalah masa tenang sebelum ujian, karena itu semua siswa diliburkan.

Saat ini aku sedang belajar bersama dengan Tri dan juga Andre di rumahku. Sebuah keuntungan mempunyai pacar yang jenius karena aku tidak perlu keluar uang untuk biaya les. Haha. Tapi pikiranku saat ini tidak fokus pada buku matematika di depanku melainkan pada Andre. Entah kenapa akhir - akhir ini kulihat wajahnya tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Kamu kenapa?" tanyaku akhirnya saat kami hanya berdua karena Tri pamit ke toilet.

Andre menatapku heran. "Kenapa apanya?"

"Entahlah, kurasa kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Akhir-akhir ini kulihat wajahmu seperti ini." Aku menyontohkan dahi yang sedang berkerut.

Andre tertawa. " Kamu gemesin banget sih. Jadi tambah sayang," ujarnya sambil mencubit pipiku.

Aku salah tingkah dan tanpa sadar tersenyum malu. "Apaan sih?"

"Kalo lagi malu gini, jadi pengen nyium."

Refleks aku langsung menutup bibirku sambil melotot. Andre hanya tertawa melihat tingkahku. Belum sempat aku menjawab, dari arah belakang tiba - tiba Tri menjewer telinga Andre.

"Apaan cium - cium. Enak aja, anak orang mau disosor aja. Dasar bebek!"

"Aduh duh duh sakit Tri. Lepasin!"

Tri akhirnya melepas jewerannya dan kembali duduk di sebelahku. "Inget ya Ndre, belum ada label halalnya jadi jangan main sosor."

Andre hanya menggerutu sebal sambil mengusap telinganya yang terlihat merah. Aku hanya tertawa dari tadi melihat tingkah mereka yang seperti ibu memarahi anaknya.

Akhirnya kami melanjutkan belajar lagi. Aku baru ingat jika tadi Andre belum menjawab pertanyaanku. Apa tadi dia sengaja menggodaku untuk menghindari pertanyaan?

Aku melihat Andre yang sedang serius mengerjakan kisi - kisi ujian. Apa yang sedang kamu pikirkan? Apakah mungkin ada hubungannya dengan mamanya? Atau tentang rencana kuliahnya ke luar negeri?

Merasa diperhatikan, Andre mengangkat kepalanya dan tersenyum padaku.

"Kenapa? Aku ganteng banget ya, sampai kamu ngeliatinnya kayak gitu?"

"A- apa sih?" ujarku gugup dan langsung menunduk malu karena ketahuan.

"Sok kepedean banget lo," sindir Tri

"Biarin. Emang kenyataannya aku ganteng."

"Dih!"

.

.

...............

.

.

Ujian Nasional akhirnya selesai juga. Gegap gempita mewarnai seluruh sekolah. Banyak anak berkerumun saling mencocokkan jawaban ujian. Begitupun aku yang heboh dengan teman sekelas. Selain sebagai ajang pencocokan jawaban kegiatan ini setidaknya sebagai obat kangen karena beberapa minggu ke depan kami akan diliburkan sampai hari kelulusan.

Saat tengah asyik membahas soal ujian, tiba - tiba hapeku bergetar. Kulihat nama Hanafi di layar.

"Halo, Kak. Cepetan ke rumah sakit Medika sekarang. Bapak lagi dirawat." Suara Hanafi nampak panik di seberang.

"Apa? Iya iya aku ke sana sekarang." Klik.

"Kenapa, Nis?"

"Tri anterin aku ke rumah sakit Medika sekarang. Bapakku lagi dirawat di sana."

"Hah? Bapak sakit apa?"

"Aku juga gak tahu, ayo cepetan buruan."

"Ya udah ayok. Duluan ya gaes." Tri langsung menyambar tasnya setelah berpamitan.

Tak sampai setengah jam, kami pun sampai di parkiran rumah sakit. Dalam perjalanan hatiku benar - benar gelisah mengingat bapak tak pernah ada riwayat sakit sebelumnya.

Aku dan Tri langsung menuju kamar rawat inap yang sebelumnya sudah kutanyakan ada Hanafi. Saat membuka pintu, mataku seketika tertumbuk pada sosok lemah di atas ranjang.

"Bapakkkkk .... " Aku berlari memeluknya. "Pak, Bapak kenapa? Apa yang sakit? Kenapa sampai harus dirawat, Pak? Nisa pijitin ya Pak yang sakit biar cepet sembuh."

"Kamu tuh lho Nduk, datang - datang langsung masuk kayak truk yang gak ada remnya. Mbok ya kasih salam dulu," sahut ibu yang ternyata sedang duduk di kursi dekat jendela. Tri juga langsung menyalami ibu. "Lagian kamu nanya itu mbok ya satu - satu. Kasihan bapakmu lagi sakit, nanti sakitnya kambuh lagi diberondong pertanyaan kamu."

"Ibu! Aku tuh khawatir sama Bapak," sahutku manyun. Perhatianku kembali pada bapak. Kugenggam erat tangannya,"Bapak kenapa?"

Bapak tersenyum lalu mengusap rambutku dengan tangan satunya, "Bapak gak apa-apa, Nduk. Cuma keserempet dikit."

Aku melihat tangan dan kaki Bapak memang banyak luka. "Ini jatuh, Pak?"

"Iya tadi ada mobil dari arah berlawanan yang mau nabrak bapak. Beruntung bapak bisa banting stir ke bahu jalan, tapi ya akhirnya bapak jatuh juga."

"Wah, bahaya banget tuh. Terus mobilnya gimana Pak, berhenti nggak?" tanya Tri sambil melihat luka di badan bapak.

"Mobilnya udah lari kencang banget. Untung aja ada mobil lain lewat, jadi bapak ditolongin. Mana sepi sekali daerah situ."

Aku mengelus tangan bapak, "Untung ya, Pak. Udah Bapak gak usah dipikirin lagi. Yang penting Bapak selamat."

"Iya, Nduk."

Saat tengah asyik berbincang, tiba-tiba hpku berdering. Andre.

"Halo?"

"Sayang, kamu dimana? Aku cari ke kelas kamu gak ada. Kamu gak lupa kan, kita mau ngerayain hari ini di cafe?"

"Astaga Sayang, maaf aku lupa gak ngabarin kamu. Bapak aku lagi di rumah sakit. Ini tadi aku ke sini sama Tri."

"Apa? Bapak kenapa?"

"Gak apa-apa, Sayang. Cuma keserempet mobil."

"Ya udah, aku ke sana sekarang. Kamu share lock ya."

"Iya." Klik.

"Duh, senangnya yang lagi mau diapelin. Orang kasmaran gitu ya, Pak. Dunia kayak punya berdua, yang lain ngontrak," celetuk Tri. Dia terlihat mengupas apel yang kemudian diberikan kepada bapak. Bapak dan ibu tertawa mendengarnya.

"Nyamber aja lu kayak bajaj. Ngomong-ngomong, Hanafi mana, Buk? Perasaan tadi dia yang nelpon kok sekarang malah gak kelihatan upilnya."

"Baru ingat kamu sama adikmu? Dia lagi ke kantin. Laper katanya."

Tak lama kemudian, Andre pun datang. Bapak dan ibu sudah biasa dengan kehadiran Andre, karena seringnya cowok itu datang ke rumah. Mereka pun sangat welcome sekali. Memanglah siapa juga yang tidak senang punya calon mantu seperti Andre. Suamiable banget.

"Gimana Pak keadaannya? Mana yang sakit?" tanyanya setelah menyalami kedua orang tuaku.

"Cuma lengan dan kaki bapak aja, Nak Andre."

"Gimana kejadiannya, Pak?"

Akhirnya bapak pun bercerita kembali tentang kejadian naas yang sempat dilaluinya tadi. Andre tampak berpikir setelah mendengar cerita bapak.

"Apa Bapak yakin mobil tadi mau sengaja mau menabrak, Pak?"

"Ya kalau masalah itu Bapak ndak tahu. Mungkin aja remnya mobil tadi sedang blong."

"Bapak tenang aja, ya. Saya bakalan mencari tahu tentang hal ini, kemudian melaporkannya ke polisi. Ini tabrak lari namanya. Untung Bapak gak apa-apa."

"Gak usah, Nak Andre. Nanti tambah ribet urusannya. Bapak selamat gini aja udah alhamdulilah."

"Tapi, Pak .... " Belum sempat Andre membalas, hpnya terdengar berdering. "Maaf, saya angkat telpon dulu."

Setelah itu Andre keluar. Kami pun berbincang di dalam. Tri yang memang ahli mencairkan suasana, nampak beberapa kali melontarkan kalimat lucu dan membuat bapak ibu tertawa terbahak-bahak. Tak lama Andre pun masuk dengan raut wajah tampak sedang menahan amarah. Tapi dia memaksakan tersenyum di depan bapak.

"Pak, maaf ya. Saya harus pulang. Ada urusan di rumah."

"Iya, makasih udah ke sini Nak Andre. Biar kamu diantar ke depan sama Nisa."

"Iya, Pak. Bapak cepat sembuh ya. Saya pamit dulu. Mari Pak, Buk. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku pun mengantar Andre sampai ke halaman rumah sakit. Sepanjang perjalanan tak ada yang keluar dari mulutnya. Wajahnya nampak serius memikirkan sesuatu."

"Ndre." Kugenggam tangannya lembut. "Kamu kenapa? Ada masalah?"

Andre tersenyum lalu mengelus kepalaku, "Gak ada apa-apa kok, Sayang. Aku cuma lagi kepikiran sesuatu."

"Apa itu? Kamu boleh cerita kok. Aku akan dengarkan."

"Nanti ya kalau ada waktu. Sekarang yang terpenting kamu pikirin bapak dulu sampai sembuh. Tapi kamu juga harus jaga kesehatan, jangan sampai sakit juga."

"Siap pak dokter. Hehehe. Eh, Ndre .... " Aku kaget karena tiba-tiba Andre memelukku.

"Sebentar saja."

"Emmm ,,, tapi di sini banyak orang."

"Aku sayang banget sama kamu, Nis. Apapun yang terjadi ke depannya nanti kamu harus tetap percaya bahwa aku sayang kamu."

Andre melepas pelukannya lalu memandangku lama. Aku bisa melihat tatapan cinta, amarah, dan ketidakberdayaan bercampur jadi satu.

"Sebenarnya kamu kenapa? Hari ini kok aneh banget."

Andre menggeleng, "Aku belum bisa cerita sekarang. Lebih baik kamu kembali ke kamar, nanti dicariin sama orang tuamu."

"Iya. Kamu hati-hati ya ."

Tanpa kuduga, Andre mencium keningku lama. Jantungku berdebar kencang karena ini adalah pertama kalinya dia menciumku meskipun di kening.

"Dah. Aku pulang dulu. Love you," pamitnya lalu melambaikan tangannya.

Aku membalas sambil berusaha menetralkan detak jantungku. Oh cinta, betapa indahnya. Aku kembali ke kamar dengan senyuman berjuta makna.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!