M4 🥀 : DUA WANITA DARREN
Seorang wanita cantik bak batari yang tengah pelesiran ke bumi, tampak bersolek di depan lensa kamera. Dengan piawai ia berpose agar mendapatkan hasil pemotretan yang diinginkan. Tubuh body goals miliknya terbalut cut off shoulder Ball Gown berwarna maroon yang cocok untuk outfit ke pesta.
“CUT!”
Mendapati instruksi tersebut, Ev menghela nafas kasar. Cut off shoulder Ball Gown yang ia kenakan saat ini adalah dress ke-4. Belum lagi ada 3 dress model cut of shoulder lain yang belum ia kenakan. Sebenarnya ia sudah letih melakukan rutinitasnya yang satu ini.
“Good job, Ev. Masih ada three look lagi yang harus you pake.”
“Gak bisa di-skip aja, Dimi? Bukannya pesawat kita take off pukul dua?”
“No, no, no. Pemotretan ini sangat urgent, Ev.”
Wanita cantik itu mengangguk faham. Saat keduanya tengah berbincang-bincang, seorang pria bersetelan jas rapih tampak memasuki studio. Hampir separuh eksistensi di dalamnya tertarik untuk melirik ke arah pria tersebut. Aura penuh karisma dan wibawa terpancar di setiap langkah yang pria itu ambil.
“Ev, bisa kita bicara.”
Ev mendongkrak, menatap pria bermata abu-abu tersebut. Wajah rupawan bak dewa-dewa yang digambarkan dalam mitologi Yunani itu tampak serius dengan ucapannya. Untuk sejenak Ev menatap pria itu dalam diam. Siapa yang tidak mengenalnya? CEO sebuah agensi model ternama di kota ini. Pria itu juga terkenal sebagai salah satu eksekutif muda yang cukup royal dalam menyabet berbagai penghargaan dari dunia global bussines.
“Maaf, Dean. Seperti yang kamu lihat sendiri, aku sedang sibuk.”
“Beri aku waktu 15 menit, Ev.”
Ev menghela nafas sejenak, sebelum melirik Dimi. “Dimi, tolong tinggalkan kami sebentar.”
“Okay. You punya waktu 20 menit sebelum pemotretan berikutnya,” ujar lelaki yang mengenakan kemeja biru langit tersebut.
Bersamaan dengan Dimi, para kru pun ikut meninggalkan ruangan. Menyisakan Ev dan pria bernama Dean tersebut. Untuk sejenak hanya ada kesunyian yang mengisi ruangan tersebut, sebelum Ev memulai percakapan.
“Apa yang ingin kamu katakan, Dean?” tanyanya to the point.
“Dinner with me.”
“Seriously?” tanya Ev remeh. “Apa kamu yakin ingin mengajakku dinner? Sedangkan aku masih berstatus istri Darren?”
“Persetan dengan statusmu, Ev. Sudah lima tahun aku menunggu kalian bercerai!”
“Pelankan suaramu, Dean. Aku tidak mau orang lain salah paham.”
Pria rupawan itu tersenyum congkak. “Semua orang juga tahu status kita, Ev.”
Ev menatap lawan bicaranya tidak suka. “Aku tidak akan menerima penawaran apapun di luar pekerjaan, Dean. Profesionalah. Aku di sini bekerja sebagai salah satu pegawai mu,” ujar Ev seraya mengalihkan tatapannya dari Dean.
Sudah bukan rahasia umum lagi jika Dean mengejar-ngejar Ev. Hal itu bahkan sudah terjadi bertahun-tahun lamanya. Ev yang pada dasarnya hanya menganggap Dean sebagai saudara, tentu membuat Dean tak puas. Pria rupawan bermarga Wijaya itu bahkan sudah berkelakar akan menunggu Ev menjanda sejak lama. Tetapi, begitulah Dean Wijaya bersikap.
Jika apa yang dia inginkan belum didapatkan, maka ia akan terus bertindak. Kendati perasaanya sudah ditolak mentah-mentah oleh Ev yang notabene ia tunggu-tunggu sejak masih dalam kandungan. Mengingat orang tua mereka bersahabat cukup dekat. Sebelum Ev dijodohkan dengan Darren, Dean awalnya berencana melamar Ev. Namun, rencananya urung terlaksana karena Darren telah mencuri start.
“Keluarlah Dean, waktumu sudah habis.” Ev menunjuk pintu keluar dengan jemari lentiknya yang dihiasi nial art.
“Ev, bisakah kita seperti dulu?”
“Tidak, Dean,” jawab Ev cepat, singkat dan padat. “Semua sudah berubah sejak aku menjadi wanita Darren, dan kamu menganggap ku sebagai seorang wanita. Bukan sebagai sahabat.”
Dean mengepalkan tangannya kuat. Setiap kali kata ‘wanita Darren’ meluncur dari bibir wanita yang dia cintai, Dean rasanya marah sekali. Ia masih tidak terima jika Ev harus menjadi wanita Darren. Pria yang selalu berhasil maju satu langkah dalam bidang apapun darinya.
🥀🥀
Seulas senyum tampak tertarik di labium seorang gadis yang tengah menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah dengan kantuk dan raut lelah yang tergambar di sana berhasil membuatnya mengingat memori menyenangkan bersama pria yang ia cintai. Siapa lagi jika bukan pria yang sekarang tengah terlelap di atas ranjang?
Pria rupawan dengan tubuh tegap nan sempurna. Dalam setiap tindakannya mampu membuat hatinya berdesir hangat. Kendati ini bukan sehari-dua hari ia mengenal pria tersebut. Tetapi, setiap kali terbangun dalam dekapan dada bindangnya yang kokoh, plus dengan sajian wajah tampan yang tampak lelap dalam tidurnya, dia selalu dibuat berdebar-debar.
Ella kembali menyunggingkan senyum mengingat setiap momen yang tercipta di antara mereka. Terbayar sudah rasa rindu yang membelenggu. Sekarang setiap inci tubuhnya bisa merasakan aura positif pasca rindu itu terbayarkan. Selesai dengan urusannya di kamar mandi, Ella beranjak keluar. Rambut hitam legamnya masih tampak lembab saat ia keluar menuju meja rias. Dari pantulan cermin, ia bisa melihat prianya yang masih terlelap dalam damai. Tak mau menganggu, Ella meminimalisir bunyi yang dapat timbul saat ini bersiap-siap sebelum turun ke lantai bawah.
Tiba di dapur yang terletak di lantai dasar, seorang wanita paruh baya sudah tampak sibuk berkutat dengan peralatan memasak.
“Aduh, si Eneng senyumnya meuni lebar pisan.”
Ella tersenyum malu mendengarnya. “Ehm, Bibi lagi mau masak apa? Kenapa enggak nungguin Ella turun?”
“Aduh, Neng. Apan ada si Aa baru pulang, jadi Bibi teh paham atuh kalau perioritas Eneng sekarang siapa.”
“Tapi, Ella juga biasanya masak kalau Mas Darren pulang. Kecuali kalau telat bangun kayak sekarang. Bibi juga kenapa gak bangunin Ella?”
“Bibi mana berani atuh. Takutnya menganggu.”
Ella menggelengkan kepala. Wajah ayu tanpa pulasan make up itu tampak mampu membuat bi Mimin berpikir yang iya-iya.
“Sayuran di lemari pendingin udah mulai habis, Bi?” tanya Ella, mengalihkan perhatian.
“Sebagian, Neng. Ini Bibi juga mau beli ke pasar.”
“Biar Ella aja yang pergi, sekalian mau ambil bibit bunga di Pipit.”
“Eh, jangan atuh Neng. Nanti kalau si Aa bangun, terus nyariin gimana?”
“Bilangin aja lagi ke pasar, Bi. Lagian Mas Darren juga bangunnya pasti nanti.”
“Kecapean ya, Neng?” goda bi Mimin.
“A-paan sih, Bi. Namanya juga baru pulang kerja, pasti cape,” jawab Ella kikuk.
Bi Mimin tersenyum makluk. Kemudian membiarkan nyonya mudanya untuk berbelanja sendiri ke pasar tradisonal yang letaknya juga tidak terlalu jauh. Sembari menggoes sepeda dengan laju standar, Ella melewati jalanan kampung yang kanan dan kirinya ditumbuhi pemandangan hijau. Sesekali ia juga membunyikan lonceng sepedanya saat berpapasan dengan beberapa penduduk yang hendak pergi ke ladang.
“Aduh, si Eneng semakin cantik aja,” puji si ibu penjual sayuran di tempat biasa Ella belanja.
Ella tersenyum ramah mendapati pujian tersebut. “Bi, Ella mau beli brokoli, bayam, sama pisangnya satu sikat.”
“Siap atuh, Neng cantik. Bentar, Bibi ambilin.”
Ella mengangguk serya melihat-lihat sayuran yang lain. Netranya tertarik pada kerancang bambu berisi mangga yang tampak menggugah selera.
“Kalau ini mangganya sekilo berapa, Bi?”
“Dua puluh ribu, Neng. Tapi, itu teh masih mengkel. Belum mateng. Kalau mau yang mateng ada di ranjang satunya lagi,” tunjuk si ibu pada keranjang mangga yang ada di dekat keranjang buah semangka.
Ella menggeleng. “Ella mau yang ini aja, Bi. Buat dibikin rujak.”
Si ibu penjual sayur mengangguk sembari tersenyum paham. Setelah menjumlahkan semua total belanjaan Ella, gadis cantik itu memberikan selembar uang pecahan seratus ribu untuk membayar belanjaannya.
“Ini, Neng. Ibu bonusin mangganya.”
Netra Ella berbinar senang saat si ibu penjual menambahkan dua mangga berkuran cukup besar ke kantong belanjaannya. “Terima kasih.”
“Sama-sama, Neng. Biar kelaksana mau dedek bayinya.”
Ella speechlesh mendengarnya. Seperkian detik berikutnya ia tersenyum tipis sembari mengangguk, lanta pamit untuk membeli kebutuhan yang lain. Si ibu pasti berpikir jika Ella sedang hamil, padahal kenyataanya…. Ella juga tidak terlalu yakin akan hal itu. Kali ini langkah Ella menuju ke kios daging sapi. Di mana seorang lelaki berpeji menjaga kios teresbut.
“Aduh, aduh, dewi Nawang wulan tos turun ka bumi.” Sapaan dari sara cempreng itu berhasil membuat Ella menyunggingkan senyum.
“Mau beli daging atuh, Neng Dewi? Mau daging bagian apa? Paha, perut, buntut juga ada.”
“Ella, kang Rahmat.” Ralat si empunya nama.
“Oh, iya.” Lelaki bernama Rahmat itu tersenyum lebar. “Habisnya, aura si Eneng ini kayak dewi-dewi kayangan. Kuat sekali, sampai membuat saya lupa diri.”
“Aduh, si Rahmat ada pembeli teh malah dirayu terus,” sahut seorang wanita paruh baya yang datang dari arah berlawanan.
“Kesempatan atuh, Ema. Jarang-jarang ada wanita cantik datang ke pasar, selain Juminten si biduan desa.”
“Naon atuh bawa-bawa nama Nyai?” sahut seorang perempuan bergincu merah yang berjaga di kios jamu.
“Asal denger kamu, mah, Jum. Orang saya lagi ngobrol sama Neng Ella yang senyumnya membuat orang ter-Ella-Ella.”
Suasana pasar kian mengheboh karena perdebatan Rahmat si penjual daging dengan Juminten si penjual jamu. Sedangkan Ella yang menjadi awal mula pelecut kehebohan hanya bisa berdiri sembari tersenyum kikuk.
“Udah atuh, Mat. Itu si Eneng mau beli daging.”
Rahmat tersadar akan tujuan Ella mendatangi kiosnya. Buru-buru lelaki berpeci itu menepuk jidat. “Astagfirullah haladzim. Meuni lupa.”
Ella tersenyum maklum melihatnya. “Ella mau dagingnya satu kilo ya, Kang Rahmat. Sama bagian iga setengah kilo.”
“Ok, siap Kang Rahmat sediakan, Neng.”
Ella mengangguk. Sembari menunggu, ia bercakap-cakap sejenak dengan wanita paruh baya yang tadi melerai Rahmat. Gadis itu memang cukup terkenal di kalangan masyarakat kampung, karena pembawaanya yang ramah terhadap semua orang.
Dulu, orang tua Ella juga sangat disegani di kampung tersebut. Ayah Ella menjabat sebagai kepala Desa, sedangkan ibunya bekerja sebagai bidan desa. Keduanya terkenal sebagai orang dermawan yang tak sungka memantu orang lain. Oleh karena itu, hingga keduanya meninggal dunia sekalipun, kebaikannya selama hidup di dunia tetap terkenang.
“Eh, Neng Ella. Sendirian aja?”
Ella menatap was-was seorang lelaki yang menghadang jalannya. Ia baru saja pulang dari rumah Pipit selepas meminta bibit bunga. Siapa sangka jika ia akan bertemu Komarudin, atau orang kampung biasa memanggilnya Komar. Putra sematawayang seorang juragan terkemuka yang memilki tanah perkebunan berhektar-hektar.
“Mau pulang, ya, Neng? Sini, biar Komar anterin.”
“Enggak usah, Ella bisa sendiri.” Ella menolak sembari menunduk. Takut melihat leaki yang sebagian besar tubuhnya dihiasi tinta permanen tersebut.
“Kenapa nunduk, Neng? Komar di sini, loh.”
Tanpa Ella duga, Komar lancang menyentuh dagu Ella. Agar membuat gadis ayu yang mengenakan terusan berwarna coklat susu itu mendongkrak.
“Lepain Ella!” ronta Ella. Tidak suka diperlakukan demikian.
Bukannya menuruti, Komar malah tertawa sumbar. Jalanan yang saat ini Ella lalui memang cukup sepi, mengingat jalan tersebut hanya dilewati orang-orang saat pulang atau pergi ke ladang. Ella sengaja lewat jalan itu karena jalan itu jalur tercepat untuk pulang ke rumah. Walaupu jalanannya sepi.
“Lepasin Ella, Ella mau pulang,” ujar Ella, masih bertahan dengan tekadnya agar bisa melewati Komar.
Namun, Komar malah menendang sepeda Ella yang sengaja dituntun, sehingga membuat kendaraan beroda dua yang digunakan untuk mengangkut sayuran yang dibeli Ella dipasar itu tersungkur ke tanah. Membuat belanjaan Ella berhamburan kemana-mana. Sebagian malah kotor dan lecet karena berbenturan dengan tanah.
“Mangga Ella,” ujar Ella sedih, saat mangga-mangga yang ia beli terlempar jauh hingga jatuh tercebur ke selokan yang airnya cukup deras.
Sembari berjongkok, Ella menatap sedih ke arah aliran selokan yang telah menghanyutkan mangga-mangga miliknya.
“Kenapa diam, Neng? Gak mau ngelawan Komar lagi?”
Ella masih diam membisu. Hati gadis itu sedih karena mangga-mangga yang ia beli dengan suka cita lenyap begitu saja. Padahal ia sudah berencana akan membuat rujak dengan mangga-mangga itu.
“Komar jahat!” hardiknya sedih.
“Komar baik kok, Neng. Udah, jangan nangis lagi. Nanti Komar beliin manga lagi. Tapi, sebelum itu Neng Ella harus mau—“ belum sempat lelaki itu menyelesaikan ucapannya, sebuah pukulan telak sudah terlebih dahulu mampir. Membuat tubuhnya terpelanting, kemudian jatuh menghantam tanah saking kerasnya pukulan tersebut.
“Berani sekali kamu menganggu wanita saya!”
Mendengar suara itu, Ella sontak mendongkrak. Membawa pandangannya pada sumber suara.
“M-as Darren.”
Di hadapannya, berdiri sang suami dengan raut wajah yang membuat Ella ketakutan. Pria itu tampak sangat marah. Namun, Ella tak memungkiri jika ia senang pria itu datang. Kehadiran pria rupawan itu membuat hatinya didera kelegaan.
...🥀🥀...
...TBC...
...Sudahkah menentukan Tim? Tim Ev atau Tim Ella? yang satu setiaaa.... yang satu pun sama👍...
...Yuk.... ramaikan komentarrrr...
...Sukabumi 17/11/2020...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Ibelmizzel
pendukung ev,ev setia
2024-04-19
1
Asri Handaya
saya tetap team ev... bagaimanapun pernikahan itu suci.. kalo mau nikah lgi y cerai dulu.. atau minta izin istri pertama
2023-07-09
1
Erni Fitriana
wahhhh 1 kota denganku nihhhhh
2022-09-11
1