Jenaka menatap pemandangan malam dari jendela kamarnya. Rumah besar yang Ia tinggali terasa amat sepi. Hanya ada Jenaka, Mala dan Pak Sahrul yang berada di rumah.
Mala dan Pak Sahrul di rumah belakang yang terpisah dari rumah utama. Mala dan Pak Sahrul adalah suami istri yang sudah mengabdi pada Mandala sejak lama.
Kemanakah suaminya? Tak usah ditanya, Mandala sudah pasti bersama Kinara. Dimana ada Kinara, maka disitu ada Mandala. Tak terpisahkan bagai perangko dan lem.
Jenaka menunduk, menatap tatoo hena di jari tangannya. Tatoonya masih ada, menghias indah di tangannya. Bukti kalau pernikahan indahnya belum lama, namun Ia sudah kehilangan suaminya tanpa pernah memilikinya.
Udara malam semakin dingin saja, terasa menggigit kulit Jenaka yang memakai lingerie seksi hantaran pernikahannya. Jenaka menutup jendela kamar lalu merebahkan tubuhnya menatap langit-langit kamar.
Seharusnya lingerie seksi ini Ia pakai dan tunjukkan pada Mandala. Sayangnya lingerie ini Ia pakai untuk mengobati luka hatinya. Jenaka merasa ditinggal. Merasa dibuang.
Ia kangen dengan kamarnya yang kecil namun bisa membuatnya tidur dengan mimpi indah, berbeda dengan kamar ini. Yang Ia dapat bukan hanya mimpi buruk, tapi kenyataan hidup yang menyakitkan.
Cuti dua harinya masih tersisa. Ia berharap dapat segera bekerja. Ingin menghilangkan segala kepenatan. Lusa, Ia akan kembali bekerja. Berharap dengan tumpukan pekerjaan akan membuat pikirannya teralihkan.
Sayangnya, cuti terakhirnya dihabiskan dengan pemandangan yang menyakitkan hati keesokan paginya.
"Kamu sih semalam on banget, aku sampai pegal nih melayani kamu!" ujar Kinara dengan suara yang dibuat semanja mungkin. Ia duduk di pangkuan Mandala dengan tangan Mandala melingkar di pinggangnya.
"Habisnya kamu tuh selalu buat aku ketagihan terus. Maunya deket kamu terus unyel-unyel kamu!" Mandala tak peduli jika bukan hanya mereka berdua yang berada di rumah ini. Ada sepasang mata dengan mata bengkak yang belum hilang namun sudah menumpahkan lagi air matanya.
Mandala mengecup pipi Kinara dengan penuh cinta. Kinara malah menuntut lebih. Mendekatkan bibirnya dan mencium Mandala dengan ganasnya. Kedua lidah mereka pun bergulat. Saling membelit. Bahkan mereka lupa kalau mereka berada di ruang tamu, bukan di kamar pribadi mereka sendiri. Memalukan!
Jenaka menutup rambutnya dengan hodie jaket yang Ia kenakan lalu berjalan melewati dua insan yang dimabuk asmara tanpa menoleh sedikitpun.
"Loh mau kemana Jen? Ayo sarapan dulu!" panggil Mandala yang melepaskan pagutannya pada Kinara saat Jenaka lewat.
"Mau olahraga Kak. Aku sarapan nanti saja." Jenaka menahan suaranya yang bergetar dan pergi tanpa menunggu ijin dari Mandala.
"Ish! Dasar cewek kampung! Enggak tau sopan santun!" umpat Kinara.
"Sudah biarkan saja! Justru kita bisa sarapan tanpa ada yang melihatku seperti mau ngeces. Apa karena aku terlalu ganteng ya?" tanya Mandala.
"Tentu saja Sayang! Kamu ganteng, kaya dan perkasa tentunya!" puji Kinara.
"Masa sih? Habis sarapan kita coba keperkasaan aku lagi ya! Aku kan lagi cuti menikah, jadi aku akan puas-puasin menyalurkan keperkasaan aku sama kamu!" goda Mandala seraya menciumi leher jenjang Kinara.
"Iiihhh! Mauuuu!" mereka berdua pun tertawa bahagia. Tertawa diatas penderitaan Jenaka tentunya.
****
Jenaka berlari dan terus berlari. Tak peduli sudah sejauh mana Ia berlari. Ia berharap bahkan bisa berlari dari semua masalahnya.
Sampai kakinya tak mampu lagi untuk diajak berlari. Nafasnya terengah-engah. Keringatnya mengucur deras sampai membasahi kaos putih di dalam jaket hodienya.
Kini Ia sudah mendapati kesadarannya. Ia berada di dekat taman. Ia membaca tulisan di bawahnya. Lenteng Agung. Lumayan jauh juga dari rumah Mandala. Tak terasa Ia berlari sejauh ini.
Mandala, kembali bayangan kemesraan Mandala dan Kinara melintas di benaknya. Membuat matanya kembali memanas.
Jenaka masuk ke dalam taman dan mencari tempat sepi. Ia menangis sesegukan. Ya, Ia butuh menangis. Ia butuh mencurahkan isi hatinya. Tapi sama siapa? Keluarganya tak mungkin. Bisa terjadi keributan besar nanti. Ayah bisa saja kena serangan jantung kalau tau putrinya sudah dipoligami.
Lily dan Lulu, sahabat sejatinya pasti akan murka dan malah membuat semuanya makin runyam. Mereka tipikal orang yang emosian dan main hakim sendiri. Bukan menyelesaikan masalah kalau curhat masalah pernikahannya. Hanya jadi bala bencana saja.
Adiknya Juna sedang ditugaskan di luar kota. Kalaupun tau tentang permasalahannya, bisa-bisa Mandala didatangi teman satu kompinya.
Jenaka agak kaget ketika lengannya disentuh. Jenaka melirik dan sebuah botol air mineral dingin diberikan untuknya.
Jenaka melihat sebuah senyum dari seorang Ibu-ibu dengan warna baju tidak kontras. Kaos warna hijau dengan celana training warna merah.
"Minum dulu, Neng! Biar lebih tenang!" ujar Ibu-ibu tersebut dengan senyum hangat.
Jenaka menghapus air matanya dan mengambil minuman yang diberikan untuknya. Membuka tutupnya dan meminumnya seperti yang disuruh Ibu-ibu tersebut.
"Makasih, Bu." ucap Jenaka dengan tulus.
"Sama-sama Neng." Ibu itu lalu duduk di samping Jenaka. "Lagi ada masalah ya? Saya dengar tadi suara nangisnya sangat pilu. Untung yang denger saya, kalau orang lain bisa dikira kunti yang nangis Neng!" gurau Ibu tersebut.
Jenaka menarik sudut bibirnya. Perkataan menghibur yang membuat sedikit senyum di wajahnya.
"Nah gitu dong! Senyum! Setiap masalah tuh ada jalan keluarnya. Nangis boleh, tapi nangis enggak menyelesaikan masalah. Kita perempuan tuh harus jadi orang yang kuat Neng. Hadepin masalah dengan kepala dingin. Jangan kelihatan kalau perempuan itu lemah!" ujar Ibu-ibu tersebut dengan penuh semangat. "Eh saya jadi ikut campur deh urusan si Neng. Maaf ya Neng."
"Oh enggak apa-apa kok Bu. Saya senang ada teman bicara. Kenalin Bu, saya Jenaka!" Jenaka mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Sri!" Ibu tersebut menjabat tangan Jenaka. "Namanya bagus, Neng. Jenaka. Pasti orang tuanya Neng berharap Neng bahagia dan membahagiakan orang lain."
Mendengar perkataan Bu Sri, Jenaka kembali teringat permasalahan hidupnya. "Sayangnya, kehidupan saya tidak seperti nama saya Bu." Ia menunduk sambil memainkan jari jemarinya.
"Wah tangannya Jenaka ada tatoonya. Kayak pengantin aja pake tatoo." celetuk Bu Sri yang ternyata mengikuti arah mata Jenaka.
Jenaka mengangguk malas. "Justru karena saya habis menikah makanya saya menangis kayak gini Bu."
"Jenaka mau cerita sama Ibu? Siapa tau Ibu bisa bantu?"
"Panggil Jena aja Bu." Jenaka mengangkat wajahnya dan menatap Bu Sri.
"Tak ada salahnya kan curhat sama orang yang enggak dikenal? Selama bisa sedikit lega, toh enggak kenal dan belum tentu akan ketemu lagi." batin Jenaka.
Tanpa ragu Jenaka menceritakan semua permasalahannya pada Bu Sri. Siapa Bu Sri tak Ia pedulikan. Ia hanya butuh teman meluapkan segala isi hatinya.
"Iiiiihhh! Saya jadi gemes denger cerita kamu! Saya jadi emosi! Untung kamu belum cerita sama keluarga kamu Jen! Bisa perang dunia ketiga kalau kamu cerita! Saya aja emosi apalagi keluarga kamu?!" cerocos Bu Sri tanpa henti.
"Jadi Jena udah bener nih Bu, enggak cerita sama keluarga Jena?"
Bu Sri mengangguk. "Kamu harus hadepin semuanya dulu. Kalau udah nyerah baru kamu bilang sama keluarga kamu! Jangan membuat mereka sedih. Semua masih bisa diperbaiki!"
"Diperbaiki? Apanya yang diperbaiki Bu? Apa masih bisa?"
"Ya pernikahan kamu-lah Jen! Baru nikah beberapa hari masih bisa diperbaiki. Dia suami sah kamu! Pertahanin bagaimanapun caranya! Memang kamu mau melepaskan orang yang kamu cintai begitu saja tanpa berjuang sama sekali?"
"Tentu saja tidak Bu. Tapi Kak Mandala enggak pernah menganggap aku ada, Bu! Aku harus bagaimana?" Jenaka mulai merasa perkataan Bu Sri seperti membawanya ke titik terang. Tak salah rasanya Ia memutuskan untuk curhat dengan ibu-ibu ini.
"Kamu harus goda dan rayu suami kamu! Kamu udah sah jadi istrinya. Sudah halal! Kamu boleh kok merayu dan menggoda suami kamu!" bisik Bu Sri tak mau ada yang mendengar saran yang Ia kemukakan.
"Tapi Jena malu Bu. Jena enggak bisa kayaknya ngelakuin hal itu. Caranya aja Jena enggak tau!" Jenaka menolak saran dari Bu Sri.
Lalu terdengar suara teriakan yang memanggil nama Bu Sri. Jenaka dan Bu Sri menoleh ke asal suara. Seorang Ibu-ibu memakai kaos bertuliskan Fendi berteriak memanggil Bu Sri.
"Sri! Cepetan! Senamnya mau dimulai!" teriak Ibu-Ibu tersebut.
"Bentar Jo!" jawab Bu Sri sambil teriak juga.
"Saya udah dipanggil. Terserah kamu mau turutin saran saja atau tidak. Pikirkan baik-baik. Saya selalu ada di taman ini tiap rabu dan minggu. Khusus hari ini saya aerobik hari selasa karena instrukturnya besok mau pergi. Kalau kamu butuh curhat, cari aja saya disini ya." Bu Sri lalu bangun dan menepuk bahu Jenaka, memberinya sedikit semangat. "Setau saya, Jenaka itu artinya orang yang tak henti-hentinya berupaya meraih apa yang diinginkan dalam hidup. Kamu pasti bisa!"
Jenaka menatap kepergian Bu Sri dengan pikirannya yang bimbang. Saran yang bagus, tapi apa Ia bisa?
*****
Ayo siapa yang kangen sama Mamah Sri? Kalau kangen tap love dan komen yang banyak. Vote dan add favoritnya juga jangan lupa ya 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
ani surani
sohibnya bu Sri pastinya, bu Jojo. duo julid 😁😁
2024-10-20
0
ani surani
udh aku tebak, soalnya rumahnya sekitar LA 😁😁
2024-10-20
0
✨️ɛ.
ini yg gue tunggu²..
2024-09-14
0