Malam hari yang cerah dan udara terasa segar, Roter tengah bersantai diruang keluarga bersama kakeknya sambil menikmati sebuah acara di televisi. Disela-sela itu, handphone miliknya berbunyi secara tiba-tiba.
"Halo?" ucapnya.
"Halo, kakak" kata adik perempuannya.
"Siapa, yah?"
"Ini aku, kak, ini aku. Monika, adikmu. Aku baru saja mengganti nomorku"
"Itu siapa" tanya si kakek.
"Monika, kek" jawab Roter.
"Ahh, ku kira kau orang lain, Monika. Ngomong-ngomong kenapa kamu mengganti nomor?" tambahnya.
"Banyak stalker dan banyak orang asing yang menghubungiku juga mendatangi rumah kita, aku merasa seperti diteror. Makanya aku mengganti nomor handphone. Aku mau ajukan pindah rumah tapi ibu tak mau, dia bilang tak ada apa-apa disini."
"Ahh ternyata begitu" kata Roter.
"Bagaimana kabarmu dan ibu disana?" tambahnya.
"Aku baik-baik saja dan ibu juga dalam keadaan yang sama. Sekarang dia sedang memasak makanan untuk makan malam"
"Ohh begitu"
"Oh yah, kak. Kapan kamu datang kesini?" tanya Monika.
"Emm... Mungkin besok atau lusa"
"Kenapa tak sekarang saja?"
"Aku lelah, aku butuh istirahat dulu. Jika dipaksakan, tulang dan pikiranku akan bermasalah"
"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Cologne? kamu sudah dapat izin dengan atasanmu?"
"Aku bukan militer lagi sekarang, aku adalah warga sipil"
"Eh? kamu berhenti?"
"Yah, aku berhenti?"
"Kenapa? bukannya gagah menjadi militer?"
"Masalah pribadi, juga aku harus mengurus peninggalan ayah"
"Halah... Mengurus perusahaan itu gampang, kamu hanya tinggal duduk di meja dan memeriksa sejumlah laporan, ehe..." Monika meremehkannya.
"Hey! dengar ini" Roter beranjak dari tempat sofa dan menuju tangga.
"Peninggalan ayah tak hanya sebatas satu perusahaan, dia punya banyak perusahaan dan dua yayasan yang dikelola dalam suatu organisasi rahasia yang ia bangun. Aku tak mau menyebutkan namanya. Intinya aku harus blusukan tiap hari untuk memeriksa kinerja buruh, tani, karyawan, dan tenaga kerja lainnya" tambahnya, mengecilkan suaranya agar tak didengar oleh si kakek.
"Tapi organisasi itu pasti bisa membantu meringankan pekerjaanmu"
"Yeah! itu benar sekali! tapi tidak bisa semuanya. Belum lagi, aku adalah pemimpinnya disana. Sebab itu aku selalu sibuk dan jarang mengangkat panggilan telepon dari ibu ataupun kamu" jawab Roter.
"Dan itu mengapa ayah memilih pensiun meski harus meninggalkan pangkatnya sebagai jenderal lapangan yang sudah lama mengabdi kepada negara" tambahnya.
"Oh jadi kamu berkhianat, yah?" tanya Monika.
"Berkhianat maksudnya gimana?"
"Kamu memihak pada peninggalan ayah padahal kamu adalah anggota militer, jelas-jelas itu sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh kakak"
"Mungkin bisa dikatakan seperti itu. Tapi sekarang aku murni warga sipil kembali, aku bebas berpihak pada siapa saja"
"Terserah kakak saja... Ngomong-ngomong kapan kamu akan datang kesini?"
"Emmm... Lusa. Lusa aku akan terbang ke Jepang jika Tuhan mengizinkan"
"Dan kapan kembali?"
"Aku tak akan kembali ke Jerman nantinya, kecuali perayaan Natal dan Oktoberfest"
"Tunggu apa? kakak serius tak pulang ke Jerman?" Monika merasa terkejut.
"Yeah, aku sangat serius"
"Lalu siapa yang akan menjaga oma dan opa?"
"Hmm... Mereka tak meminta untuk dijaga, mereka ingin hidup seperti biasa layaknya sepasang kekasih"
"Dan peninggalan ayah juga organisasinya?"
"Aku sudah serahkan wewenangnya kepada temanku, jadi untuk beberapa bulan aku tak memimpin. Rencananya aku ingin berhenti mengurusnya dan memberikan semua itu pada teman-temanku. Hanya saja aku ragu mengatakan hal itu pada mereka. Pasti akan ada perpecahan disana nantinya"
"Licik sekali" kata Monika.
"Jika kakak berhenti memimpin dan mengelola, kakak akan kerja apa nanti? lowongan pekerjaan sekarang semakin menipis" tambahnya.
"Soal itu aku tak tahu, mungkin aku akan menjadi pelayan kafe kembali untuk awal-awal. Aku ingin punya penghasilan sendiri tapi jumlahnya tidak banyak juga tidak sedikit"
"Ngomong-ngomong, visa dan paspor milikmu masih aktif?"
"Yah, masih aktif untuk lima tahun kedepan"
"Baiklah, kakak mau dijemput atau jalan sendiri menuju rumah?" tanya Monika.
"Aku jalan sendiri saja, lagipula ibu akan bekerja dan kau juga akan pergi sekolah"
"Kakak masih ingat dimana alamatnya berada?"
"Aku ingat. Di Osaka dekat dengan sebuah klinik di jalan nomor 12, kan?" tanya balik Roter.
"Bukan, aku dan ibu sudah pindah"
"Dimana? kota apa? kapan pindahnya?"
"Gotcha! (Dapat!)" Monika mengerjai Roter.
"Scheiße! (Sial!)"
"Aku dan ibu menunggumu datang kemari"
"Oke, aku akan segera kesana"
"Baiklah, jika aku sekolah dan ibu masih bekerja, kunci rumah aku taruh dipot bunga dekat pintu"
"Aku mengerti"
"Oke, nanti kita bicara dilain waktu, aku harus makan malam dan mengerjakan tugas sekolah"
"Iya, sampaikan salamku pada ibu"
"Oke, dadah...." Monika lalu mematikan panggilan tersebut.
"Siapa yang menghubungimu, Roter?" tanya si nenek turun dari tangga.
"Eh, nenek. Tadi itu Monika" Roter menjawabnya dengan tersenyum.
"Monika dan Arabell gimana kabarnya?"
"Mereka berdua kabarnya baik-baik saja disana"
"Kapan kamu akan berangkat kesana, Roter?"
"Lusa, lusa aku akan berangkat"
"Eh... Cepat sekali, tak terasa waktumu disini akan habis"
"Hahaha.... Begitulah" Roter menjadi canggung.
"Roter, kau sudah beli tiketnya?" tanya si kakek.
"Belum, rencananya aku mau beli besok dan sekalian mempersiapkan barang-barang"
"Jaga diri baik-baik disana, yah" kata si nenek.
"Iya, nek...."
.
.
.
Keesokan harinya....
.
.
.
Pagi hari yang cerah, sinar mentari menerangi seisi kota dan membangunkan orang-orang untuk mulai beraktivitas kembali. Di halaman depan rumah, Roter seperti biasa berolahraga santai untuk meregangkan otot-otot tubuhnya sehabis bangun tidur agar tak merasa pegal.
"Pagi yang cerah dan udara terasa sangat segar. Ahh.... Indahnya dunia ini" ucapnya, menghirup udara segar.
"Yeah... Aku masih ingat masa-masa itu sewaktu kecil ada disini" ia tersenyum menatap keatas.
"Roter, selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan" Kakek Henry menyapanya dengan tersenyum ramah.
"Pagi juga..."
"Marshall! selamat pagi!" Kakek Henry menyapa kakeknya Roter yang tengah berdiri didepan pintu.
"Pagi juga, Henry!"
"Duluan, yah..."
"Iya, hati-hati dijalan" jawab kakeknya Roter.
"Roter, tangkap ini!" tambahnya, melemparkan sesuatu padanya.
Roter berhasil menangkapnya, ia terheran-heran dengan benda berupa pistol.
"Untuk apa revolver ini?" tanyanya pada kakek.
"Mainan punyamu dulu, kakek baru saja dapat digudang"
"Mainan? aku tak ingat kalau aku punya ini?
"Sebenarnya itu sudah cukup lama, ambil ini" si kakek melemparkan kantung berisikan peluru.
"Apakah ini aman?"
"80 persen aman, hanya mengeluarkan bunyi yang cukup keras"
"Aku akan mencobanya" Roter mulai mengisi peluru itu pada pistolnya.
Disela-sela tersebut, muncul Stefanie dan Daniel untuk pergi bekerja menuju kafe. Stefanie tampak memegang lengannya Daniel sambil tersenyum dan mendekatkan kepalanya pada bahu Daniel. Kakeknya Roter bersiul romantis pada mereka menggunakan tangannya hingga membuat mereka berdua terkejut lalu menjaga jarak.
"Yo.... Apa-apaan itu?" tanya Roter.
"Eee.... Tak ada apa-apa, hahaha...." Stefanie menjadi canggung.
"Kalian pacaran? sejak kapan kalian berdua mulai pacaran?"
"Sudah lama, sih...." jawab Daniel.
"Kapan?" tanya Roter.
"Kira-kira 2 tahun yang lalu, hanya saja kami berdua tak ingin terlalu mencolok dan terlalu malu jika ada orang yang melihat kami" jawab Stefanie.
"Yeah, itu benar" tambah Daniel.
"Kira-kira hubungan kalian sudah sampai mana?" Roter tersenyum sinis.
"Ada kali sampai hubungan in–"
Stefanie langsung menutup mulutnya Daniel dikarenakan ia memiliki rahasia yang besar. Roter yang melihatnya menjadi mengerti maksud dari Daniel walau perkataannya sempat dipotong.
"Yea, yea, yea... Aku paham" ucapnya.
Stefanie merasa kesal dan menyenggol lengannya Daniel.
"Tak ada salahnya memberitahu, itu sudah jadi rahasia umum" kata Daniel dengan suara kecil.
"Matamu!" umpat Stefanie.
"Roter! kakek masuk kedalam dulu, yah"
"Iya, kek"
"Apa yang kau pegang itu, Roter?" tanya Daniel, mengalihkan suasana.
"Oh ini pistol revolver"
"Apakah itu asli?"
"Oh jelas! 100 persen asli" Roter berbohong berniat mengerjai mereka berdua.
"Mau lihat seberapa keras suara dan hentakannya?" tambahnya.
"Perlihatkan" jawab Daniel.
Roter kemudian keluar dari halaman rumahnya dan menjaga jarak dari Stefanie juga Daniel. Setelah itu, ia langsung menodongkan pistolnya pada mereka berdua dengan tersenyum lebar hingga membuat keduanya panik ketakutan.
"Roter! Roter! jangan bidik aku! jangan bidik aku!" Daniel mundur sambil menundukkan dirinya.
"Roter! ini tak lucu! hentikan itu! hentikan sekarang juga!" Stefanie berlindung dibalik pohon.
"Tembak Stefanie saja, Roter! jangan aku! aku teman dekatmu!" kata Daniel.
"Dia saja, Roter! tembak saja dia!" kata Stefanie.
DOORR!!! DOORR!!! DOORR!!! DOORR!!! DOORR!!!
Roter melepaskan beberapa tembakan, suara yang dihasilkan cukup keras dan asap bekas tembakan juga keluar. Mereka berdua langsung ketar-ketir hingga Daniel sampai harus bertiarap di trotoar jalan.
"Aku hidup? aku masih hidup?" Daniel memegang-megang tubuhnya untuk memastikan tak ada luka tembak.
"HAHAHAHAHAHA!!!" Roter tertawa terbahak-bahak melihat mereka berdua.
"Itu tak lucu, Roter! aku hampir pindah alam!" kata Daniel.
"OH TUHAN, PERUTKU SAKIT! HAHAHAHAHA!!! HAHAHAHAHA!!!" Roter semakin terbahak-bahak.
"Roter...... Hentikan itu......" si kakek menegurnya sambil berdiri di pintu.
"Marahin aja, kek! dia sudah kelewatan!" kata Stefanie.
"Kayaknya kalian harus ekstra sabar berteman sama dia" kata kakek sambil tersenyum.
"Mungkin. Itu adalah orang yang kehilangan masa kecilnya, kek" jawab Daniel.
"Ahh... Ohh... Aku minta maaf" Roter tampak tersenyum menahan tawa dan menghapus air matanya.
"Dasar manusia bodoh" ucap Daniel, membersihkan dirinya.
"Siapa yang kau bilang bodoh, hah?" Roter mendekati Daniel dengan tatapan yang sangat tajam.
Merasa ilmunya lebih rendah, Daniel langsung ciut dan menjadi canggung seketika berhadapan dengan Roter yang memiliki ilmu lebih tinggi daripada dirinya.
"Eee.... A-aku hanya bercanda"
"Yea, yea, yea... Skor kita adalah satu sama, tapi aku lebih pintar darimu dan menjadi kebanggaan sekolah waktu dulu" Roter tersenyum sinis.
"Cih, dasar sombong!" gumam Daniel dengan kesal.
"Lihat, ada apa diatasmu?" tanya Roter.
Daniel mendongakkan kepalanya keatas. Roter langsung menyentil lehernya.
"Arrg..." Daniel merintih kesakitan.
"Hey, Stefanie, uang dibawahmu" kata Roter.
Stefanie langsung melihat bawahnya dan mencari uang yang disebutkan.
"Mana? mana uangnya?"
"Mata duitan" jawab Roter.
"Scheiße! (Sial!) aku kena lagi!"
"Haha... Aku menang" kata Roter.
"Aku akan membalaskan aksimu dan akan menjadi nomor satu"
"Perkataan yang bagus, kawan.... Sekarang pergi bekerja"
"Sial!"
"Haha... Dapat lagi!"
"Roter, kami pamit dulu" kata Stefanie.
"Iya..."
"Kakek Marshall! kami pamit dulu, yah!"
"Iya, hati-hati dijalan"
Daniel dan Stefanie akhirnya lanjut jalan menuju tempat kerja meninggalkan Roter juga kakeknya disana.
.
.
.
Siang hari....
.
.
.
Waktu pun berganti menjadi tengah hari. Di ruang keluarga setelah makan siang, Roter sedang mencari dan melihat-lihat tiket pesawat di internet menggunakan ponsel miliknya untuk berangkat ke Jepang pada hati esok.
"Tiket di internet malah mahal semuanya, tak ada yang murah?" ucapnya.
"Kamu lagi apa, Roter?" tanya si kakek.
"Lagi mencari tiket pesawat buat berangkat ke Jepang. Tapi harganya sangat mahal dibandingkan 5 tahun yang lalu"
"Uangmu kan banyak"
"Aku hanya ingin berhemat"
"Disitu ada promo?" tanya si kakek.
"Yeah, diskon 20 persen, destinasinya hanya mencakup wilayah Italia, Korea Selatan, Perancis, dan Swiss saja"
"Coba kamu pergi ke kota, siapa tahu kamu bisa dapat tiket yang sesuai"
"Di kota? apakah ada? tiket pesawat sekarang kebanyakan dibeli lewat internet"
"Ada... Coba kamu cek setiap agen tiket disana, siapa tahu dapat tiket yang sesuai"
"Baiklah... Kalau begitu aku pergi dulu"
"Iya, hati-hati dijalan"
Roter pun mengambil paspor dikamarnya, setelah itu ia pergi mengambil kunci mobil dan pergi keluar dari rumah. Setelah itu, ia tancap gas menuju kota. Berada di kota, ia kebingungan mencari tempat agen tiket pesawat.
"Yang mana satu agen tiket pesawat disini? tampak tak ada? kakek sesat! mending yang mahal aja tadi" ucapnya, melihat sekelilingnya.
"Roter" Herold memanggilnya.
"Herold? sedang apa kau disini?"
"Aku sedang menuju supermarket untuk membeli aksesoris Natal"
"Natal? bukannya masih lama?"
"Pohon dan aksesoris dirumahku banyak yang rusak. Mumpung aku masih banyak uang, ku beli sekarang saja"
"Tapi ini masih terlalu sangat awal"
"Kau benar. Aku tak tahu apakah uangku nanti akan cukup dibulan depan atau seterusnya, sebab itu aku membelinya diawal-awal"
"Begitu rupanya... Aku punya pertanyaan untukmu, Herold"
"Apa?"
"Apa kamu berbohong? Daniel bilang kalau kamu sedang tak ada pelanggan yang membayar jasamu"
"Ya, Umm... Itu... Uhh..." Herold tampak kesulitan menjawabnya.
"Aku minta kau berkata jujur" kata Roter, mendesaknya.
"Ya, aku berbohong, tapi yang ini tidak. Sudah dua minggu aku tak mendapatkan pelanggan"
"Kenapa kamu tak mendaftarkan diri di perusahaan ataupun studio? mereka pasti membutuhkan jasamu, apalagi nilai hasil kuliahmu sangat tinggi dibandingkan yang lain dan kamu pernah menjadi yang pertama dalam lomba editing video di kampusmu dulu""
"Aku takut jika harus diinterview, aku tak tahu harus menjawab apa nantinya. Aku takut jika ditolak dan aku takut jika akan menjadi pengangguran" jawab Herold.
"Kau tahu, Roter? a-aku ini introvert dan pemalu, aku kesulitan untuk berkomunikasi ataupun bersosialisasi, ini saja aku memberanikan diriku untuk keluar dari rumah" tambahnya.
"Dengar ini, jika kau terus-terusan begitu, hidupmu akan suram. Kau mungkin akan sendiri terus selamanya bahkan tak memiliki pasangan ataupun anak yang dapat membantumu"
"Yeah, tapi kau ku lihat tak memiliki pasangan, ehe..." Herold tersenyum sambil meledek Roter.
"Yo, aku sibuk dan aku harus mengurus peninggalan ayahku. Berhari-hari aku hanya tidur 3 jam dan harus pergi ke sana-sini hanya untuk memeriksa kinerja setiap perusahaan dan yayasan. Pasangan itu akan datang sendiri, intinya kau harus fokus pada tujuan hidupmu"
Herold terdiam dan mengerti dengan keadaan dirinya yang begitu suram.
"Herold, ingat perkataanku ini, kau harus yakin pada dirimu, buang rasa takut itu jauh-jauh. Jangan takut untuk mencoba dan jangan takut untuk gagal, kau masih punya banyak kesempatan. Lakukanlah sebisa mungkin dan mintalah pertolongan pada Tuhan, sesungguhnya manusia akan lumpuh jika tak punya pegangan hidup dan kehidupan spiritual" ucap Roter.
"Jangan sampai kau jadi seorang yang hikikomori" tambahnya.
"Apa itu?"
"Penyakit sosial yang membuat seseorang lebih suka mengurung dirinya dikamar terus-menerus. Aku tak mau kau jadi seperti mereka, yang aku mau kau adalah seorang yang tangguh dan berani. Buang rasa malu dan ubah kepribadian introvert mu"
"Aku mengerti, aku paham sekarang. Aku akan mencobanya dan mengingatkan perkataanmu dalam pikiranku"
"Bagus, itu baru namanya temanku! ngomong-ngomong dimana agen tiket terdekat disini?"
"Buat apa kau mencari agen tiket?"
"Aku akan meninggalkan Jerman dan pindah ke Jepang"
"Eh? kapan?"
"Besok"
"Besok? alah-alah.... Aku lupa beli oleh-oleh untukmu"
"Kalau perlu bawakan yang besar nanti, yah, hahaha...."
"Oh siap... Hahaha"
"Aku bercanda, hahaha.... Kira-kira agen tiket pesawat disini dimana?"
"Lurus terus ikuti jalan ini, kira-kira sekitar 600 meter kedepan. Kalau kau lihat ada tulisan Official ticket agent disalah satu bangunan, nah kau sudah sampai"
"Lengkap kah disana?"
"Lengkap, kau mau cari tiket ke surga juga bisa, hahaha...."
"Baiklah, dapat dipahami, semoga harimu menyenangkan"
"Kau juga, Roter"
Roter kemudian memacu mobilnya menuju arahan dari Herold. Tak berselang lama, ia akhirnya sampai ditempat yang disebutkan tadi.
"Ini kah tempatnya? tampak sedikit megah, aku ragu untuk memasukinya" ucapnya.
Ia pun langsung masuk kedalam.
"Selamat datang...." sambut ramah seorang karyawan.
"Ada yang bisa saya bantu?" tambahnya.
"Apakah disini menjual tiket pesawat?" tanya Roter.
"Ada, kebetulan banyak diskon spesial sekitar 25 persen. Untuk selengkapnya mari ikuti saya"
"Baik"
Roter pun mengikuti karyawan itu menuju kedepan.
"Baik, tuan... Ini daftar tiket, silahkan dilihat-lihat dulu..." si karyawan dengan tersenyum ramah memberikan sebuah daftar tiket.
Roter melihat-lihat setiap daftar tiket dan maskapai disana. Ia sama sekali tak menemukan destinasi menuju Jepang.
"Emmm... Apakah ada destinasi menuju Jepang?" tanyanya.
"Ada, hanya saja saya lupa menambahkan daftarnya, hahaha... Kira-kira tujuannya ke kota apa? Tokyo? Akihabara?"
"Kota Osaka"
"Biar saya lihat dulu.... Ah, ada! Tiket untuk satu orang atau lebih?"
"Untuk satu orang saja"
"Bisa saya lihat paspornya dulu?"
"Ini..." Roter memberikannya.
"Saya cek dulu, yah...."
"Iya, silahkan"
Karyawan itu mulai memeriksa identitas Roter secara detail.
"Kira-kira berangkat ke Jepang kapan?"
"Sekarang tanggal berapa?"
"Tanggal 12"
"Apakah saya bisa mengatur jadwal keberangkatan pada tanggal 13, hari esok?" tanya Roter.
"Bisa, semuanya tergantung dari keputusan Anda"
"Baiklah, kalau begitu tanggal 13 saja"
"Anda memilih jam berapa untuk berangkat?" tanya si karyawan.
"Emm... Jam 9 pagi saja"
"Oke... Jadwal keberangkatan Anda adalah besok tanggal 13 November, pukul 9 pagi waktu setempat, dengan tujuan Kota Osaka, Jepang"
"Baik. Berapa total harganya?"
"Karena sekarang sedang ada promo, harganya menjadi 655,35 Euro"
"Ini uangnya" Roter memberikan uang lebih.
"Ini kembalian dan tiketnya, terima kasih telah membeli tiket disini"
"Sama-sama...."
Roter kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi keluar.
"Sekarang aku sudah dapat tiketnya, tinggal membeli beberapa oleh-oleh untuk dibawa ke Jepang" ucapnya
"Monika dan Ibu, aku datang, haha...." tambahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments