"Casey…"
Sebuah ledakan cahaya putih tiba-tiba menyilaukanku.
"Cepatlah sedikit, Casey!"
Sebuah suara melenting dari delapan penjuru angin.
Siapa Casey?
"Waktu kita tak banyak lagi, cepatlah sedikit!"
Suara itu kembali melenting seperti lonceng yang mendengking di kejauhan. Suara seorang pria yang tak kukenali.
Sebuah tangan merenggut pergelangan tanganku dan menyeretnya entah ke mana. Tiba-tiba saja aku tak bisa menentukan arah. Cahaya itu menyelubungiku, menyilaukanku dan membutakanku.
"Perjalanan kita masih sangat panjang," kata suara itu lagi. Terdengar dekat sekaligus jauh, seperti hembusan angin.
Tak lama kemudian, tubuhku seperti tersengat aliran listrik dari punggung hingga kepala. Lalu tiba-tiba tubuhku seperti terlempar ke suatu tempat hampa udara kemudian terdampar di tengah kesunyian, di mana aku menemukan diriku hanya sendirian. Aku menelan ludah dan mengedar pandang.
Seraut wajah merunduk di atas kepalaku dengan alis tertaut. "Menyebalkan sekali," gerutunya. "Kenapa setiap orang mati selalu menunjukkan reaksi yang sama?"
Aku mengamati sosok itu dengan mata terpicing.
Seorang pria dengan rambut lurus berwarna hitam mengkilat yang terurai hingga ke permukaan lantai, berpakaian ketat serba hitam mengkilat, menatapku dengan sepasang mata sewarna---hitam mengkilat, dibingkai alis tebal berwarna sama. Selembar kain yang tersampir pada bahunya juga berwarna sama.
"Tampan amat!" Komentarku dengan tatapan takjub.
Pria di depanku langsung mengernyit mendengar perkataanku.
"Sayang kostumnya kayak penari balet," dengusku mencemooh.
Pria itu langsung menggeram, "Lancang kau, arwah rendahan!"
Aku mengerutkan dahi.
Jadi benar aku sudah mati? Aku berkata dalam hati.
"Ya, kau sudah mati!" Pria itu menjawab setengah menghardik. "Sudah mati saja masih banyak gaya!"
Aku terkesiap mengetahui pria itu bisa mendengar suara hatiku. "Sakti lu!" pekikku takjub.
"Aku malaikat maut!" hardiknya jengkel.
"Siapa?" Aku tergagap seraya membelalakkan mataku memelototinya.
"Abaddon!" katanya. "Apollyon! Kau tahu artinya?"
"Maksudnya siapa yang nanya," sergahku seraya mencibir.
"Arwah Keparat!" Pria itu meledak. Kemudian mengayunkan sebelah tangannya, bersiap melontarkan lidah-lidah api yang mendadak muncul di telapak tangannya.
"Gak nyangka gua bisa mati secepet ini," ungkapku seraya menarik duduk tubuhku dan mengerutkan dahi sekali lagi.
Pria itu menyeringai dan mengepalkan tangannya. Lidah-lidah api di telapak tangannya seketika menghilang. Ia menurunkan tangannya, tak jadi melontarkan serangan. "Akhirnya kau bisa menyesal," katanya.
"Tau mau mati, gua gak mau lunasin cicilan motor!" sesalku sembari menggaruk-garuk bagian kepalaku yang tidak terasa gatal.
"Keparat ini---" pria itu menggeram sekali lagi. Kemudian mengangkat tangannya lagi. Lidah-lidah api di telapak tangannya kembali berkobar.
Aku mengamatinya dengan tergagap.
Pria itu melontarkan lidah-lidah api ke arahku dan tercengang. "Aneh sekali!" pekiknya terkejut.
Lidah-lidah api itu bereaksi aneh pada tubuhku.
Tubuhku menghangat dan menggelenyar tapi sama sekali tidak terbakar.
"Arwah Keparat ini malaikat bumi!" Pria itu menggumam tercekat.
Aku menatapnya tak mengerti.
Pria itu tiba-tiba memutar tubuhnya membelakangiku, kemudian berlutut memohon ampun entah kepada siapa. Mungkin sedang berbicara pada Tuhan. "Aku akan mengembalikannya," katanya seraya membungkuk mencium lantai yang kelihatan seperti hamparan asap.
Apa katanya?
Dia akan mengembalikanku?
Yes!
Aku mendekati pria itu dan mencolek bahunya. "Heh, Tampan! Gua gak tau lu lagi ngomong ama sapa, tapi bisa nggak lanjutin nanti aja. Anterin gua dulu! Gua laper tau!" pintaku seolah dia Mat Item.
Pria itu menarik wajahnya dari lantai kemudian mendongak ke arahku. "Sulit dipercaya arwah rendahan ini malaikat bumi," rutuknya tak puas.
Aku menyeringai di atas kepalanya seraya menyilangkan kedua tanganku di depan dada. "Hihi, dari awal sebenernya gua udah feeling umur gua gak sependek ini!"
Pria itu menarik bangkit tubuhnya, kemudian berdiri menghadapiku seraya bersedekap.
"Buru, ih! Gua laper tau!" desakku tak sabar.
"Kau malaikat bumi, seharusnya kau tahu apa yang harus kaulakukan!" Laki-laki itu menghardikku.
"Ok, fix! Gua keluar dari band ini!" tandasku seraya berbalik memunggunginya dan bergegas ke sembarang arah.
"Hey!" Pria itu memekik. "Bukan ke sana!"
Aku mengacungkan jari tengahku tanpa menoleh.
"Terserah kau saja," erangnya frustrasi. "Hidupku benar-benar kacau sejak bertemu denganmu!"
Malaikat maut cerewet!
"Tunggu!" Pria itu kembali memekik dan seketika semburat cahaya putih kembali meledak menyilaukanku.
"Gak tau, ah!" Suara pria itu kembali melenting. "Terseraaaaaah…"
Tubuhku kembali tersengat aliran listrik, kemudian terlempar.
"KALI INI BUKAN SALAHKU!"
Aku mengernyit memegangi kepalaku yang berdenyut-denyut. Suara pria itu masih mendengking di dalam kepalaku. Tapi terdengar begitu jauh dan seperti datang dari berbagai arah. Tumpang tindih seperti putaran angin.
Ledakan cahaya putih itu mulai memudar, berganti ledakan cahaya berwarna-warni, kemudian abu-abu dan akhirnya gelap total. Lalu kembali abu-abu.
Aku membuka mataku dan mengerjap. Ledakan cahaya putih kembali berkeredap. Tapi tak sampai membutakan mataku.
Perlahan bayang-bayang berwarna-warni terbentuk di pelupuk mataku.
Gorden hijau, layar televisi…
Aku mengerjapkan mataku sekali lagi dan mengedar pandang.
Sebuah ruangan bersih beraroma khas rumah sakit.
Benar sekali, kataku dalam hati. Aku pasti sedang berada di rumah sakit.
Seraut wajah merunduk di atas kepalaku. Seorang wanita berpakaian serba putih, memekik membekap mulutnya dengan mata terbelalak. Tak lama kemudian perempuan itu berbalik dan berlari menjauh. "Dokter!" Wanita itu berteriak.
Apa kubilang?
Aku memang di rumah sakit!
"Dokter! Pasien 303 sadarkan diri!" Teriakan suster tadi menggema di seluruh koridor.
Aku menghela napas pendek dan mengembuskannya perlahan.
Beberapa menit kemudian, suster itu kembali bersama seorang dokter dan seorang wanita paruh baya.
Siapa dia?
"Nona sudah koma selama sebulan, apakah dia akan baik-baik saja?" Wanita paruh baya itu bertanya setelah dokter tadi memeriksa keadaanku.
"Kami akan memastikannya terlebih dahulu. Kami akan melakukan beberapa tes, baru bisa memutuskan apakah Nona sudah boleh pulang!" Dokter itu menjelaskan.
Wanita itu mendekat, kemudian memandangiku dengan raut wajah masam. Dari pandangan matanya aku bisa memastikan bahwa ia tidak terlalu senang dengan apa yang dilihatnya.
"Nanti saya kirim driver untuk menjemput kamu," katanya acuh tak acuh. "Kita ketemu di rumah," tandasnya datar, kemudian berpaling dan menjauh.
Aku memperhatikan punggung wanita itu sebelum ia menghilang di balik pintu.
Siapa sih dia?
Aku menarik bangkit tubuhku dan menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Memeriksa kaki dan tanganku, kemudian melangkah turun dari brankar.
Aku berdiri terhuyung seraya berpegangan pada tepi brankar, kemudian mengayun-ayunkan kakiku satu per satu untuk memastikan tidak ada luka atau patah tulang. Kemudian berjalan ke sudut ruangan, mencari toilet untuk bercermin.
Mudah-mudahan wajahku tidak apa-apa, harapku seraya berjalan tertatih-tatih.
Begitu sampai di toilet, aku melengak menatap bayanganku di cermin.
Tidak ada luka!
Tidak ada memar!
Tidak lecet sedikit pun!
Tidak ada wajahku di sana!
Seraut wajah mungil bermata bulat menatapku dari dalam cermin.
Bukan aku!
Itu bukan wajahku!
Aku memegangi wajahku dengan kedua tangan, bayangan di dalam cermin mengikutinya.
Itu memang bayanganku!
Tapi wajahnya…
Bukan wajahku!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Vlink Bataragunadi 👑
laaah kakaaaa lu salah masuk >_<
2023-10-08
0
Vlink Bataragunadi 👑
lucu banget malaikat mautnya hihihi
2023-10-08
0
Hendra Dwi M
wehh salah masuk tubuh?
2022-01-12
3