Anak STM yang berhasil kami bekuk, tiba-tiba memekik dari sebuah bangku kayu di sudut ruangan. Kedua tangannya terikat ke belakang, sementara mulutnya dibungkam selotip.
"Dia mungkin bakal bocorin rahasia ini ke temen-temennya," sela Iis memperingatkan.
Anak itu menggeleng.
Aku mengisyaratkan seseorang untuk melepaskan selotip dari mulutnya.
"Gua mau gabung sama kalian," sembur anak STM itu begitu salah satu anggota melepaskan selotip dari mulutnya. "Gua rela ngelakuin apa aja buat nebusin kesalahan gua. Apa aja, digebukin, bayar ganti rugi, terserah!"
Aku mengedar pandang ke seluruh ruangan, menatap wajah semua orang satu per satu.
Semua mata kemudian tertuju pada satu orang---Rama Kharisma, anggota geng singa dari sekolah lain yang dikeroyok anak STM. Sebagian wajahnya masih terlihat memar. Tapi secara keseluruhan dia baik-baik saja.
"Lepasin talinya," perintahku pada anak laki-laki yang berdiri di samping anak STM itu. "Bawa orangnya ke tengah!"
Anak laki-laki itu pun melepaskannya, kemudian mendorongnya ke tengah ruangan.
"Rama!" Aku mengedikkan kepalaku, mengisyaratkan Rama untuk bertindak.
Rama menghela napas kemudian mengembuskannya perlahan. Ia bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati anak STM itu.
Seisi ruangan serentak bangkit dari kursinya masing-masing, kemudian berkerumun di seputar Rama dan anak STM itu, bersiap menonton aksi mereka.
Tapi Rama hanya membeku, menatap anak STM itu dengan tatapan ragu.
"Apa yang lu tunggu?" Aku menghardiknya.
Rama menoleh ke arahku dan mengerang. "Bukan dia pelakunya!"
Seisi ruangan memekik tertahan.
Aku mendelik dan mendesah.
"Gak pa-pa," anak STM itu menyela. "Pelakunya memang bukan gua. Tapi gua salah satu dari mereka."
Rama menggeleng, dan mengangkat kedua tangannya.
Seisi ruangan sekarang menatapku menuntut keputusan.
"Siapa nama lu?" Aku bertanya pada anak STM tadi.
"Sigit, Kak! Sigit Atmaja," jawabnya.
"Rawat lukanya!" Aku memerintahkan.
Vera Julia membeliak sebal mendengar keputusanku.
"Suruh dia bawa anak-anak yang ngeroyok Rama sebagai tes. Kalo dia bawa anak-anak itu ke hadapan kita, dia resmi jadi anggota!" Aku memutuskan.
Tak seorang pun berani membantah sekarang.
Mereka semua kembali ke bangkunya masing-masing dan melanjutkan pembicaraan.
"Berapa dana pendaftaran buat jadi anggota?" Salah satu anggota klub motor bertanya.
Semua orang serentak menoleh pada pria itu.
Aku menatap Komeng selaku ketuanya untuk melihat responnya.
Komeng hanya mengedikkan bahu.
"Item!" Aku menginstruksikan Mat Item untuk menjelaskannya.
"Pendaftaran awal lima ratus ribu," jelas Mat Item. "Uang kas seratus ribu per bulan. Uang pendaftaran itu buat biaya seragam sama kartu anggota. Selebihnya buat obat-obatan sama perawatan basecamp, termasuk uang kas bulanan. Kemungkinan dipungut biaya patungan tidak terduga sewaktu-waktu!"
"Kita semua mau daftar!" pungkas Komeng mewakili semua.
Semua anggota klub motor itu mengacungkan ibu jarinya secara serempak.
Mat Item menyeringai lagi ke arahku.
Aku hanya mengangkat bahu. "Silahkan mendaftar pada Mat Item dan Vera Julia!" Aku memberitahu. "Untuk para jawara, mohon ikut saya ke ruang ketua!"
Para jawara itu kembali merunduk.
"Jimmy, urus sisanya!" perintahku pada Jimmy tanpa menatapnya.
"Siap, Komandan!" Jimmy menaikkan sebelah tangannya membentuk hormat.
Waktu berlalu…
Geng singa berkembang pesat.
Anggota kami bertambah banyak setiap saat.
Dan geng singa, telah berubah menjadi organisasi besar para petarung.
Tapi sesuatu terjadi!
Sebuah insiden kemudian mengubah hidupku secara drastis.
REMAJA SEMAKIN LIAR---TINDAKAN KEKERASAN TERJADI DI MANA-MANA!
Demikian judul besar berita yang menjadi trending topik di media sosial.
Foto aksiku saat tawuran, terpampang di semua timeline.
"Ni bocah kek si Kaka, ya?" Benjamin bergumam dari ruang tamu ketika aku baru saja sampai di teras rumahku.
"Bukan kayak, tapi emang si Kaka!" Rogens mengerang di ruang yang sama.
Gawat, pikirku. Keluargaku tenyata sedang berkumpul di ruang tamu ketika aku melangkah masuk.
Semua mata dalam ruangan menatapku dengan raut wajah mencela.
Ayahku beranjak dari tempatnya kemudian menghampiriku dengan langkah-langkah lebar. Sebelah tangannya menenteng sebuah ransel yang kelihatan tak asing di mataku---ranselku.
Pria paruh baya itu menjejalkan ransel itu ke dalam dekapanku seraya menatap tajam.
Aku diusir! Aku menyadari.
"Dad?!" Jonathan berusaha memprotes.
Ayahku tidak menggubrisnya. "Pergi!" hardiknya menggelegar.
Aku tertunduk dan membeku sesaat. Tapi kemudian memutar tubuhku dan melangkah keluar.
"Kaka!" Ibuku memekik seraya menghambur ke arah pintu. Tapi ayahku menahannya. "Dia sendiri yang bilang, dia gede di jalan. Kita udah berusaha gedein dia di rumah. Tapi dia tetep gedein namanya di jalan. Biarin dia balik ke jalan! Kita liat sebesar apa kerajaan jalanan yang sanggup dibangunnya nanti!"
Aku menelan ludah dengan susah payah, kemudian tercekat di tenggorokan. Perkataan ayahku itu, menusuk telak di relung hatiku.
Tidak ada air mata menggelinding keluar dari pelupuk mataku. Tidak ada kesedihan!
Hanya kekosongan yang menyergapku, seperti sebuah lubang gelap tanpa dasar. Sebuah tempat asing yang membingungkan, membuatku hanya tergagap, tak siap membuat keputusan.
Aku berjalan lemas ke arah garasi, kemudian melangkah naik ke atas sepeda motorku, menyalakan mesin dan membeku---tak yakin mau ke mana.
Aku menggelindingkan sepeda motorku keluar dari garasi, memarkirnya sebentar untuk menutup kembali pintu garasi.
Tak satu pun dari keluargaku melangkah keluar untuk mencegahku.
Mungkin sebaiknya aku ke markas singa, pikirku akhirnya. Lalu memacu sepeda motorku meninggalkan rumah.
Aku mengeluarkan ponselku dari dalam saku dan mencoba menghubungi Mat Item, sementara sepeda motorku melaju kencang menembus kegelapan malam. Ketika aku sedang berusaha mencari namanya di daftar kontakku, seseorang tiba-tiba melintas menyeberangi jalan sembari tertunduk. Aku memekik terkejut dan berusaha mengerem sepeda motorku sekaligus menghindar---membanting setang, tapi terlambat.
Sepeda motorku tetap meluncur meski posisinya sudah miring dan berputar balik, memutar seperti gangsing dan melindas orang yang tadi menyeberang.
BRUAKK!
"KYAAAAAAAAA…!"
Aku mendengar jeritan melengking seorang gadis, sementara tubuhku sendiri terlempar ke arah yang berlawanan dengan sepeda motorku.
"GLORIA!" Teriakkan seseorang dari seberang jalan membuatku memekik.
Apa katanya?
Gloria?
Aku menarik bangkit tubuhku dan menghelanya berdiri, kemudian menghambur ke arah tubuh yang tergolek di bahu jalan, tertindih sepeda motorku.
Seorang pria mengenakan long coat menghambur ke arah gadis itu dan menyingkirkan sepeda motorku dari tubuhnya. Pria itu meraup tubuh si gadis kemudian melolong meratapinya, "Gloria!"
Aku memekik tertahan seraya membekap mulutku dengan kedua tangan.
Pemandangan itu membuatku betul-betul terguncang!
Bukan saja karena gadis yang telah kutabrak adalah Gloria Case, tapi karena pria yang memeluknya adalah MD.
Dua orang yang menghilang dari sekolah selama sekian bulan!
"MD!" Aku menghambur ke arah mereka dan menyentuh bahunya yang mulai gemetar.
Tapi MD sama sekali tidak bereaksi. Sementara Gloria terkulai lemas dengan wajah pucat, dan sekujur tubuhnya bersimbah darah.
"Gloria!" Aku tergagap dan berusaha merenggut tubuhnya dari dekapan MD, tapi lagi-lagi MD tidak bereaksi.
Tak lama kemudian beberapa orang pria menghambur ke arah kami dan mengerumuni. Tapi tak seorang pun memperhatikanku.
"Di mana pengendara motornya?" Seseorang berteriak di dekat sepeda motorku seraya mencari-cari ke sana kemari.
Aku menelan ludah dan tergagap, kemudian menghampirinya. "He-helo!" Aku berusaha menyapanya dan melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.
Tapi pria itu terus mencari ke sana kemari, tidak menoleh padaku sedikit pun.
"Di sini!" Seorang pria berteriak dari semak-semak di tepi trotoar.
Semua orang serentak menoleh ke arahnya, kemudian menghambur mengerumuninya dan melewatiku.
Apa?
Apa yang terjadi sebenarnya?
Mereka semua tidak melihatku!
Dan…
Sekarang mereka malah membopong seseorang dari semak-semak.
"Dia juga luka parah!" Seorang pria memberitahu.
"Bawa semuanya ke rumah sakit!" Seorang pria setengah baya menginstruksikan.
"Panggil ambulans!" Teriak pria yang lainnya.
Aku menoleh pada MD dan meneriakinya sekali lagi, "PAAAAAAK!"
MD tetap tak bereaksi!
Aku menghambur ke arah kerumunan yang membopong tubuh seseorang itu untuk melihat siapa yang mereka temukan dari semak-semak tadi. Kemudian menjerit begitu menyadari bahwa itu adalah tubuhku. "TIDAAAAAAKKK!"
Apa aku sudah mati?
Apakah Gloria juga mati?
Betapa beruntungnya dia bisa meninggal dalam pelukan MD!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Hendra Dwi M
aku lulusan STM, nggak terima kalah 😤
2022-01-12
2
Galang KPJ
Anak STM gak selemah itu
2021-12-23
0
Ferry Yaci
Anak STM gak terima nih 🙄
2021-11-28
0