"Oranye, apa sih oranye?" Aku menggumam seraya menggaruk-garuk sisi kepalaku yang tidak terasa gatal.
"Jingga, goblok!" Vera Julia mendongak dan memelototiku.
Aku balas mendongak dan menatapnya dengan tampang tak berdosa.
Membuat makhluk di atas kepalaku membeliak sebal menanggapinya.
Insiden makan kapur pada hari itu, merupakan berkat sekaligus kutukan bagiku dan Vera Julia.
Setelah hari itu, jam istirahat menjadi momok paling mengerikan. Kantin telah berubah menjadi semacam neraka jahanam bagi kami berdua. Dan sisi baiknya, situasi yang sama juga memaksaku berdamai dengan Vera Julia. Kami tidak pernah lagi berebut Iis untuk makan siang bersama di kantin.
Kami tidak pernah lagi memasuki kantin!
Terakhir kali kami memasuki kantin. Semua cowok dari kelas kami mencemooh, "Jus kapur dua gelas!" teriak mereka pada pemilik kantin. Dan seisi kantin mentertawakan kami.
Dan...
Di sinilah kami sekarang!
Menghabiskan waktu istirahat, di bawah pohon akasia, di pekarangan belakang sekolah. Berbaring bersama di atas hamparan rumput dengan puncak kepala saling beradu, sementara masing-masing tubuh terjulur ke arah yang berlawanan. Menunggu seseorang datang membawakan kami makanan---Mohammad Ismail.
Tak lama kemudian suara berkeresak mengusik kami.
Sepasang kaki mendekat ke arah kami dan secara otomatis membuat kami segera beranjak dan duduk.
Iis menghentikan langkahnya tak jauh dari tempat kami bersimpuh, kedua tangannya terselip di kiri-kanannya dalam saku celananya. Membuat kami serempak mengerutkan dahi.
"Lu gak bawa makanan?" Vera bertanya seraya mendongak.
"Lu berdua lagi nungguin gua bawa makanan?" Iis balas bertanya.
Aku dan Vera bertukar pandang.
Dia lagi becanda apa gimana, sih? Kira-kira begitulah yang coba ditanyakan Vera melalui bahasa tubuhnya.
Aku menelan ludah dan mendongak menatap Iis. Mencoba menerka-nerka apa yang sedang dipikirkannya. Tapi perkataan Iis berikutnya membuatku terguncang.
"Mau sampe kapan kalian kek anak anjing yang selalu ngarep minta dilindungi? Cuma dicengin kagak bikin 'pala bocor kan? Gosah pada manja, deh! Gua bukan jongos lu!"
Setelah beberapa pekan berada di sekolah, aku akhirnya tahu Iis memang terkenal sebagai cowok paling arogan. Tapi aku tidak mengira dia juga raja tega.
Aku tertunduk dan menelan ludah.
Vera melirikku dengan wajah prihatin.
Dia mungkin tidak tersinggung oleh perkataan Iis.
Aku juga tidak!
Aku tahu Iis sedang berusaha memotivasi kami.
Tapi kalimat anak anjing yang dilontarkannya mengusik perasaanku. Kenangan buruk masa kecilku seketika berkelebat dalam benakku. Bayangan-bayangan buruk saat aku dipukuli seperti anak anjing masih sering membuatku kehilangan kendali---kehilangan diriku!
Kepalaku mulai berdentum sekarang.
Itu adalah gejala di mana aku akan berdisosiasi---bertukar kepribadian.
Aku berusaha menekannya. Mencoba menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Lalu mengulanginya lagi. Tapi rasa sakit di kepalaku tak kunjung mereda.
Tak lama kemudian, sengatan rasa panas menyergap punggungku, menghisapku seperti setrum. Melemparku ke suatu tempat asing, di mana aku mendapati diriku terdampar hanya sendirian dan tak seorang pun menemukanku.
Lalu tiba-tiba semuanya menjadi terasa ringan.
Terasa jauh!
"Srikandi?" Aku mendengar Vera memanggilku. Mengguncang bahuku. Tapi suaranya terdengar sangat jauh.
Vera mendongak menatap Iis.
Cowok itu tertunduk menatapku dengan alis bertautan. Sebersit rasa bersalah terpancar dari matanya.
Tapi dia terlambat.
Aku sudah tidak takut lagi sekarang.
Aku bukan lagi gadis kecil penurut yang gemar merajut!
Bukan anak anjing yang selalu butuh dilindungi.
Aku adalah singa betina. Singa muda yang menjunjung tinggi harga diri.
Jika aku dilempar ke tengah kawanan serigala, aku akan kembali sebagai pemimpin mereka.
Jika aku dilempar ke dalam neraka, aku akan bangkit sebagai ratunya!
Aku menarik bangkit tubuhku dan berjalan melewatinya.
Iis tersentak dan tercengang.
"Srikandi?!" Vera berteriak ke arahku.
Aku tetap berjalan menyeberangi pekarangan itu dengan langkah-langkah ringan. Tidak menoleh sama sekali.
"Ka-ka!" Vera meralat panggilannya dengan suara tercekat. Mungkin belum terbiasa menautkan panggilan itu. Tapi dia tetap harus belajar untuk membiasakan diri.
Jadi aku membiarkannya tetap terjebak dalam kekalutannya.
Seseorang akan berubah setelah jiwanya dikacau-balaukan.
"Ka!" Aku mendengar Iis berbalik dan mengejarku, di susul suara Vera di belakangnya.
Sekarang aku bisa mendengar sepatu keduanya berdebuk di belakangku---membuntutiku.
Lalu sebuah tangan mencengkeram bahuku. Menarikku ke arah kantin.
Tidak, pikirku. Jangan ke kantin!
Aku tidak butuh apa pun dari kantin!
Aku takkan mati meski aku tidak makan. Aku bisa mencari sendiri makananku!
"Kau tak bisa terus-terusan lari seumur hidupmu, Srikandi!" Suara itu mengejutkanku---kupikir Iis tadi yang menarikku.
Aku menoleh tersentak dan tercekat.
Pria ini lagi, pikirku terkejut.
Pria berambut cokelat sebahu bergamis putih dengan jubah dan turban sewarna---Maulanna Ibrahim.
Kenapa dia bisa ada di sini?
Aku membuka mulutku, bersiap menyemburkan pertanyaan itu. Tapi kemudian segera menyadari pria itu tidak nyata. Dia adalah alterku. Kepribadian lain yang mengubah anak anjing menjadi singa.
"Ingatlah kata-katamu sendiri, Srikandi!" katanya berusaha menyadarkanku.
Tapi sebelum aku menyadari apa yang terjadi, pria itu tahu-tahu sudah melemparku ke dalam kantin---neraka jahanam yang paling ingin kuhindari.
Tapi...
Apa yang kukatakan tadi pada diri sendiri?
Jika aku dilempar ke dalam neraka, aku akan bangkit sebagai ratunya!
BRAK!
Aku tersungkur ke tengah-tengah ruangan dan mendarat telak dengan posisi kedua tangan bertumpu pada meja kecil yang ditempati sepasang pelajar yang sedang duduk berhadap-hadapan. Dian Anggara dan… Muhammad Jimmy Ibrahim.
Aku menelan ludah dan terbelak menatap keduanya secara bergantian.
Dian terperangah menatapku dengan raut wajah gusar.
Jimmy mengerjap dan melengak. Ia membuka mulutnya berusaha mengatakan sesuatu, kemudian menyentuh punggung tanganku. Seperti seorang kekasih yang kedapatan sedang berselingkuh dan bersiap untuk menjelaskan situasinya.
Aku menyentakkan tanganku menjauhi meja dan menepiskan sentuhan tangannya.
Beberapa anak cowok dari kelasku mulai berteriak usil menyadari keberadaanku. "Jus kapur, Pak Dek!"
Jimmy menyentakkan kepalanya dan memelototi anak-anak cowok yang melontarkan lelucon itu.
Aku juga memeloti mereka seraya mengetatkan rahangku.
"Pak Dek! Juice kapur orange!" Cowok lainnya menimpali. "Srikandi aus!"
"Otaknya aus," timpal yang lainnya lagi sambil terkekeh.
Lalu kelima cowok itu terbahak-bahak, diikuti seisi ruangan.
Jimmy mengedar pandang dengan rahang mengetat kemudian mengalihkan perhatiannya ke arahku, lalu kembali menoleh ke arah cowok-cowok itu. Seketika ia beranjak dari bangkunya, kemudian menerjang ke arah mereka.
Tapi Dian Anggara menangkap pergelangan tangan Jimmy dan menahannya.
Lalu tiba-tiba seorang cowok lain beranjak dari salah satu bangku di sudut ruangan. "Gua udah gak tahan lagi," teriaknya menggelegar.
Serentak semua mata dalam ruangan berpaling pada cowok itu.
Begitu juga dengan aku.
Ternyata Dandy Pratama!
Dia juga makan kapur bersamaku hari itu. Dia sudah jelas berada di pihakku.
Pria berjubah putih tadi menyeringai seraya menyandarkan sebelah bahunya pada bingkai pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. "Aku telah bersumpah akan menjagamu, Srikandi!" Pria itu menggaungkan kata-katanya seperti ketika pertama kali aku berdisosiasi.
Aku menoleh ke arah pria itu dan menelan ludah.
Dua pasang mata terbelalak di belakangnya---Mohammad Ismail dan Vera Julia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Hendra Dwi M
mulai bisa ulti
2022-01-10
0
Galang KPJ
Mulai bertanduk nih
2021-12-20
0
Opunk KPJ
astaga masih dibahas 🤦
oranye apa sih oranye 😂
2021-12-20
1