Setelah semua pelajar memasuki kelasnya masing-masing, aku melihat MD keluar dari ruang guru dengan langkah terburu-buru. Dan ia tidak sedikit pun menoleh ke arah kami. Sepertinya ia bahkan lupa bahwa di sini ada dua pelajar yang sedang melaksanakan upacara bendera.
Aku menelan ludah dengan susah payah dan menatap nanar punggung pria itu dengan perasaan terluka.
Ada apa sebenarnya dengan diriku?
Seketika aku merasa sebuah benda tajam yang tak nampak menghujam telak di ulu hatiku. Membuatku tak bisa bernapas. Sebuah ledakan cahaya berwarna-warni berpendar menutupi penglihatanku. Aku bisa merasakan ketika tubuhku tiba-tiba terhuyung dan sebuah tangan kuat menangkap pinggangku dan menahannya. Tapi kegelapan kemudian menyergapku.
Entah berapa lama kegelapan itu menguasaiku, tapi ketika aku membuka mata, aku melihat wajah bulat seseorang menjadi dua. Aku memekik dan menarik bangkit tubuhku seraya menghela napas seperti orang sedang tenggelam.
Dua wajah bulat di sisi brankar itu ikut memekik tertahan seraya menatapku dengan mata membulat.
Aku mengedikkan kepalaku dan menelan ludah, kemudian menyadari wajah di depanku ternyata bukan terbagi dua. Tapi mereka memang berdua.
Hanya sepintas saja mereka terlihat mirip karena wajahnya sama-sama bulat dan keduanya mengenakan kerudung. Tinggi badan mereka juga seragam---seragam dengan Vera Julia. Tapi setelah kuperhatikan baik-baik ternyata wajah keduanya berbeda satu sama lain.
"Gua di mana?" Aku bertanya setengah tergagap. "Gua siapa?" Aku menambahkan, menirukan dialog khas manga untuk menggambarkan kebingungan tokoh kartunnya.
"Selamat datang di neraka jahanam!" Salah satu dari gadis berwajah bulat itu menyahut sekenanya.
Tanpa basa-basi aku segera menurunkan kedua kakiku dari atas brankar dan memelototi salah satu gadis yang segera mencelat menyembunyikan dirinya di balik punggung gadis yang lainnya. Aku mengedar pandang ke seluruh ruangan seraya bertanya, "Sapa yang bawa gua kemari?"
Kedua gadis itu bertukar pandang.
Gadis yang menyembunyikan dirinya di belakang gadis lainnya mengigiti kukunya dengan sikap gugup. "Mmmh..." Ia bergumam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "MD yang bopong lu ke sini tadi," katanya sedikit terbata-bata.
Seketika perasaan hangat merebak merayapi dadaku. Kemudian mulai menjalar ke tenggorokan, membuatku kembali menelan ludah dan menatap ragu ke arah gadis itu dengan mata terpicing.
Benarkah MD yang membawaku ke ruangan ini?
Aku hampir saja menanyakan hal itu. Tapi segera kuurungkan mengingat wajahku saat ini mungkin sudah terlihat sewarna kepiting rebus. "Terus di mana Jimmy?" Aku bertanya sekali lagi, untuk sekedar mengalihkan perasaan gugup.
Tapi maksudku di mana Jimmy ketika aku jatuh pingsan sampai orang lain yang membopongku padahal aku pingsan di depan matanya?
Di mana perasaannya?
"Jimmy..." gadis yang berdiri di depan menjawab ragu-ragu dan menggantung kalimatnya beberapa saat, menunggu sampai aku mengembalikan perhatianku ke arahnya. "Dia gak diijinin ninggalin hukuman," jawabnya.
Aku melirik arloji di pergelangan tanganku. Rangkaian angka digital yang berwarna biru menyala itu menunjukkan pukul 12:20. Masih tersisa sepuluh menit sampai waktu pulang. Hukuman itu memang lebih cocok ditanggungnya sendirian.
Aku tidak bersalah!
"Tunggu dulu!" Gadis di depanku tiba-tiba mengangkat sebelah tangannya ke arahku. "Lu jangan ke mana-mana dulu!" Ia memperingatkan. "MD nyuruh kita jagain lu sampe dia kembali ke sini, katanya!"
Apa...?
Apa gua udah boleh nari balet?
Aku mengamati kedua gadis itu beberapa saat dan memicingkan mata. Sekarang aku ingat kedua gadis itu yang menghadangku di kantin ketika hari pertama aku masuk sekolah.
Tulisan yang tertera pada bet namanya: Dian Anggara dan Deja Khadijah.
Wajah kedua gadis itu seketika memucat menyadari aku sedang memelototi mereka.
"Lu berdua… yang waktu itu nyegat gua di kantin kan?" tanyaku tanpa basa-basi.
Kedua gadis itu serentak tergagap.
"Kita cuma pengen ngajak kenalan aja kok!" Dian Anggara---gadis yang berdiri di depan gadis yang lainnya berkilah.
Aku terkekeh tipis dengan tampang masam.
Gadis itu terlihat menelan ludah dengan susah payah. "Ki---kita orang suka sama style seragam lu," gadis di belakangnya menimpali.
Oh, pikirku. Jadi bukan soal Iis?
Aku baru saja membuka mulut untuk melanjutkan interogasi, tapi kemudian pintu ruang kesehatan itu berderak membuka.
Aku dan kedua gadis itu serentak menoleh ke arah pintu.
Seraut wajah tampan muncul dan membekukan seisi ruangan---MD.
Kedua gadis tadi terdengar menghela napas lega, kemudian tersenyum ke arah MD dengan raut wajah penuh rasa syukur.
Barangkali mereka merasa bahwa guru tampan itu baru saja menyelamatkan mereka dari situasi, dan sekarang mereka memandangnya sebagai malaikat.
Aku benci mengakui ini, tapi MD memang seperti malaikat.
Malaikat kematian!
"Kalian boleh pergi," kata MD pada mereka.
Kedua gadis itu serentak menghambur keluar ruangan setengah berjingkrak.
Jangan senang dulu, Ladies, kataku dalam hati. Urusan kita belum selesai!
MD mengawasi kedua gadis itu sampai mereka menutup pintu, kemudian mengalihkan perhatiannya ke arahku seraya bersedekap. Sepasang matanya yang tajam sekaligus teduh itu sekarang mengawasiku.
Seketika jantungku serasa meledak dan wajahku seperti terbakar. Aku memalingkan wajahku ke sembarang arah dan tertunduk. Berusaha untuk mengendalikan perasaanku yang berkecamuk.
Sepertinya aku memang menaruh hati pada pria ini, pikirku getir.
Usianya memang tergolong muda untuk ukuran guru SMU. Tapi dia tetap seorang guru. Tidak mungkin memandangku sebagai seorang wanita.
Aku tahu persis di matanya aku hanya seorang siswi. Tidak lebih!
Tapi aku tak bisa menyangkalnya. Aku memang jatuh cinta pada pria ini.
Ini memang pengalaman pertamaku.
Aku belum pernah jatuh cinta sebelum ini. Tapi aku tahu aku sedang jatuh cinta.
Aku belum pernah berdebar-debar seperti ini menghadapi pria mana pun. Bahkan ketika aku ketakutan menghadapi Jimmy.
Kalau boleh memilih, aku lebih berharap bukan pria ini yang menjadi cinta pertamaku.
Kenapa aku tidak jatuh cinta pada Jimmy saja?
Atau Iis mungkin!
Kenapa harus Pak Guru?!
Betul-betul gila!
Pria itu tiba-tiba berdeham. Tidak terlalu keras, tapi berhasil membuatku terperanjat. "Srikandi," katanya memulai pembicaraan.
Ini adalah pertama kalinya aku merasa senang mendengar nama asliku disebut.
Aku tahu pembicaraan ini takkan sesuai harapan.
Tapi entah kenapa hatiku berbunga-bunga mendengar MD menyebut namaku, membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak bersikap sok cantik.
Aku menyelipkan sejumput rambut yang mencuat di pelipisku ke belakang telinga. Padahal jelas-jelas potongan rambutku tidak lebih panjang dari potongan rambut anak laki-laki.
Ini adalah pertama kalinya aku merasa tak nyaman dengan penampilanku. Tiba-tiba saja aku menyesal telah memangkas habis rambutku. Entah kenapa sekarang aku merasa potongan rambutku tidak sesuai dengan namaku.
Dan yang paling buruk, aku mendadak lupa bahwa seorang guru wanita baru saja merayunya beberapa jam yang lalu.
Perasaan marah dan kecewaku mendadak sirna.
Aku melupakan patah hatiku begitu saja!
Sementara MD mulai berbicara, aku mulai kehilangan fokusku pada pembicaraannya.
Aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana cara mengatur mimik dan menentukan sikap selama berhadapan dengannya.
"Kamu mengerti?" tanya MD tahu-tahu menutup pembicaraan.
"Mengerti, Pak!" jawabku sekenanya. Sebetulnya aku bahkan tak ingat apa saja yang dibicarakannya tadi.
"Mau saya antar ke kelasmu?" MD menawarkan.
Dengan senang hati, Pak! kataku dalam hati.
Tapi tentu saja aku tetap berpura-pura bahwa aku tidak ingin merepotkannya. Lalu aku pura-pura terhuyung ketika melangkah turun dari brankar dan pada akhirnya, mau tidak mau pria itu mengantarku juga, membuat semua siswi terperangah menatapku dengan raut wajah iri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Stradline Estevania
Pelanggaran membawa berkat 😂
2022-02-06
1
Hendra Dwi M
brrti intinya kita kudu berciuman di sekolah biar di antar guru idaman ke sekolah?
2022-01-09
0
Opunk KPJ
orang kate gak penting perbedaan yang penting nyaman 😌
2021-12-17
0