"Lu gak mau makan dulu, Ka?" Iis bertanya ketika aku tak jadi pergi ke kantin.
Aku hanya mengangkat bahu dan mengembangkan kedua tanganku di sisi tubuhku.
Iis masih mematung di tempatnya dengan wajah ragu. Kelihatannya ia sedang berusaha menimang-nimang apakah ia akan meninggalkanku atau menemaniku ke ruang guru.
Tapi tiba-tiba saja Vera menggamit tangan Iis dan menariknya menjauh.
Iis mengernyit dengan raut wajah tak senang, kemudian menatapku dengan tatapan yang tak bisa kujabarkan.
Entah kenapa aku merasa bahwa Vera sedang berusaha memancing emosiku. Aku bisa melihat bagaimana caranya melirikku, kemudian menyeringai dengan raut wajah penuh kemenangan.
Apa Vera mengira aku menyukai Iis?
Aku hampir meledak tertawa. Lalu buru-buru membekap mulutku dengan telapak tangan.
Iis mengerang dan membeliak sebal ketika Kuntilanak mini itu menyeretnya dengan paksa menuju kantin.
"Urusan kita belum selesai, Pe'ak!" Aku berteriak pada Vera sebelum bergegas ke ruang guru.
Vera menanggapinya dengan mengacungkan jari tengah ke arahku tanpa menoleh.
Aku akan membuat perhitungan dengannya nanti, pikirku. Tidak sampai lebaran haji Muhidin!
Begitu sampai di depan pintu ruang guru, jantungku tiba-tiba berdentum ribut seperti ledakan beruntun yang meluluh-lantakkan seluruh duniaku.
Wajah guru tampan itu kembali melintas dalam kepalaku. Membuatku betul-betul gila!
Aku menghela napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Aku mengetuk pelan pintu ruang guru dengan sikap gugup. Kemudian mengintip ke dalam untuk melihat apakah aku diperbolehkan masuk, karena pintunya tidak ditutup.
Hampir semua meja kerja guru tak berpenghuni.
Hanya ada seorang guru wanita tengah merunduk memunggungiku di depan meja seorang guru pria yang tampaknya memiliki hubungan khusus dengan guru wanita itu, karena cara guru wanita itu berbicara padanya terkesan seperti sedang merayu.
Aku menelan ludah dengan susah payah dan tertunduk karena risih.
Guru wanita itu memutar kepalanya dan menatapku. "Ada perlu apa?" Ia bertanya setengah mengerang.
Aku kembali mengangkat wajahku. "Saya mencari MD," jawabku datar. Berusaha berpura-pura bahwa aku tidak melihatnya sedang merayu seorang guru pria.
Guru wanita itu beringsut sedikit dan guru pria di balik meja kemudian memperlihatkan wajahnya.
GLEK!
Sekali lagi jantungku berdentum dan menggelegar.
Guru pria itu adalah guru tampan yang kutabrak tadi pagi. "Saya MD!" Ia memberitahu.
Aku tidak terkejut mengetahui bahwa MD ternyata si guru tampan. Aku hanya terguncang mendapati kenyataan bahwa si guru tampan idolaku ternyata sejenis playboy.
Guru wanita itu sedang merayunya tadi. Dan sekarang kedua lututku gemetar tak terkendali.
Jadi, apa tepatnya perasaanku saat ini?
Jangan bilang kalau aku sedang patah hati!
Aku tidak sedang jatuh cinta pada Pak Guru kan?!
"Srikandi Mahaputri?" MD bertanya.
Suara guru tampan itu membuatku semakin gemetar. Kali ini sudah menjalar ke tanganku. Lalu sebutir keringat bergulir di pelipisku. "Iya, Pak!" Aku menjawab parau seraya tertunduk.
MD mengawasiku beberapa saat. Lalu mempersilahkanku masuk ke dalam ruangan.
Tak lama kemudian seseorang menyeruak masuk mendahuluiku dengan sikap arogan.
Aku melempar kepalaku ke samping dan bertatapan dengan sepasang mata coklat yang membuatku ketakutan setengah mati. Tulisan yang tertera pada bet namanya: Muhammad Jimmy Ibrahim.
MD mendongak mengawasi Jimmy dengan mata berkilat.
Anak laki-laki itu hanya menaikkan sebelah alisnya dengan raut wajah datar.
Betul-betul tidak sopan, pikirku sebal.
Seolah bisa membaca pikiranku, anak laki-laki bernama Muhammad Jimmy Ibrahim itu seketika menyeringai ke arahku.
Aku segera membuang pandanganku untuk menghindari tatapannya.
"Baik," kata MD seraya beranjak dari tempat duduknya karena guru wanita tadi tidak mau beranjak sedikit pun dari mejanya. Hanya beringsut sedikit dan memutar tubuhnya menghadap ke arahku dan juga Jimmy. "Karena kalian sudah ada di sini, kita langsung saja pada intinya!"
Aku menundukkan wajahku semakin dalam ketika MD menghampiri kami.
"Apa kalian berpacaran?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja di luar dugaanku.
"Ya," jawab Jimmy.
"Tidak," bantahku bersamaan dengan Jimmy.
Guru tampan itu memicingkan matanya dan mengawasi kami secara bergantian. Lalu mendesah dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya bisa mengerti kalian sudah beranjak dewasa," katanya tanpa melepaskan tatapannya dari kami berdua. "Berpacaran atau pun tidak, itu adalah hak kalian. Memang sudah masanya kalian pubertas." Semakin lama tatapan guru itu terasa semakin tajam menghujam perasaanku. Terutama kata-katanya. "Tapi mengertilah di sini bukan tempat yang tepat untuk memamerkan kemesraan!"
Aku tersenyum masam. Beberapa saat yang lalu aku melihat guru wanita itu sedang merayunya, dan sekarang dia bilang di sini bukan tempat yang tepat untuk memamerkan kemesraan?
"Apa?" Guru wanita itu tiba-tiba menyela pembicaraan. "Mereka berdua bermesraan di sekolah?" Ia bertanya setengah menghardik dan memelototi kami.
Aku mengangkat wajahku dan menatapnya sembari menyeringai. Mengingat apa yang dilakukannya beberapa saat lalu, membuatku kehilangan rasa hormatku.
Mereka betul-betul munafik, pikirku.
"Kalau kalian sudah bisa pacaran itu artinya kalian sudah dewasa, kan?" Guru wanita itu menaikkan suaranya. "Harusnya kalian juga sudah mengerti cara menempatkan diri!"
Oh, ya? Kataku dalam hati. Memang apa bedanya dengan yang dia lakukan barusan?
"Hormati tempat ini!" MD mengambil alih pembicaraan. "Ini lingkungan pendidikan," tandasnya. Lalu memutuskan untuk memberikan kami pelajaran tambahan supaya kami "Belajar Hormat".
Waktu menunjukkan pukul 10:15 WIB, dan matahari sudah mulai meninggi ketika aku dan Jimmy mendapat hukuman---menghormat bendera---sampai bendera selesai diturunkan nanti.
Tapi belum sampai setengah jam berdiri di sana, keringat sudah membanjir di sekujur tubuhku.
Jimmy melirikku melalui sudut matanya. "I'm sorry," bisiknya. Entah betul-betul menyesal, entah hanya basa-basi.
"Shut up!" Aku menghardiknya tanpa menoleh sedikitpun.
Seketika Jimmy mengalihkan perhatiannya, kembali menghadap bendera dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Kepalaku mulai merayang ketika sebutir keringat menggelinding dari dahiku kemudian tersangkut di pelupuk mataku memantulkan cahaya matahari yang menyilaukanku. Aku mengerjap dan keringat sialan itu malah meresap ke dalam biji mataku. Menyebabkan perih pada mataku kemudian mataku memproduksi airmata yang merayap keluar menyeberangi tulang pipiku.
Tiba-tiba aku mendengar suara Vera Julia mulai cekikikan di tepi koridor, di sisi Iis yang tengah menatap bingung ke arahku.
"Lu kenapa?" Iis berbisik dari tepi koridor.
Aku memutar-mutar bola mataku dengan perasaan sebal. Apa dia berharap aku menceritakan semuanya di sini supaya semua orang tahu bahwa aku dihukum karena habis berciuman dengan cowok b.e.r.e.n.g.s.e.k yang tidak kukenal di ruang loker pria?!
Di mana akal sehatnya?
Jimmy melirik ke arahku melalui sudut matanya. Lalu beringsut ke belakang dan berpindah ke sisi kiriku menghalangi cahaya.
Aku meliriknya sepintas dan menelan ludah. Harus kuakui sikap itu lumayan romantis. Tapi entah kenapa aku tidak merasa tersentuh sedikitpun. Terutama mengingat tingkah lakunya yang bukan saja membuatku takut, tapi juga membuatku berakhir di sini.
Iis mengembangkan kedua tangannya di sisi tubuhnya seraya mengangkat bahu. Lalu menggeleng dan menghela napas. Kemudian menyerah dan menjauh dari tempat itu, karena bel tanda masuk kelas mendengking nyaring ke seluruh penjuru sekolah. Tak lama kemudian ia kembali menoleh dan menatapku dengan pandangan prihatin.
Sementara itu Vera Julia masih cekikikan seraya membekap mulutnya dengan sebelah tangan.
Dasar kuntilanak!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Hendra Dwi M
sepertinya buruh bantuan kingkong sumatra, buat ngalangin terik
2022-01-09
1
Opunk KPJ
sini, Vera!
mending ikut ayah 🤗
2021-12-17
0
Gue
Oh, tetap pak guru 😌
2021-12-15
0