Seorang kernet muda berbadan kurus, berambut lurus, menatapku dengan sepasang mata jernih berbingkai alis tegas, dari ujung rambut hingga ujung kakiku.
Saat itu, aku hanya mengenakan celana pendek ketat dan kaos kutung yang biasa kupakai untuk tidur dan aku juga tidak mengenakan alas kaki.
"Mau ke mana, Neng?" Ia bertanya menggoda seraya tersenyum nakal. Sejumput rambutnya yang panjang melewati pelipis, melecut menutupi sebelah matanya yang berbinar-binar.
Usia kernet itu kurang-lebih dua tahun di bawahku. Berani sekali dia memanggilku Neng, batinku tak senang.
Neng adalah panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Sunda.
Aku memang masih pantas dipanggil "Neng", tapi tidak oleh anak laki-laki yang usianya bahkan tidak lebih tua dari adikku. Lagi pula aku benci penggilan manis. Menjadi anak manis hanya membuatku seperti anak anjing.
"Numpang ya sampe lampu merah?!" Aku berkata sembari memasang senyumam maut---memelas setengah merayu.
Kernet muda berusia sekitar lima belas tahunan itu mengerutkan dahinya dan memelototiku. Ekspresi wajahnya berubah masam dalam sekejap. "Lu kira ni mobil milik negara?!" Geramnya. "Turun! Turun!" Desaknya seraya mengetuk-ngetukkan buku jarinya pada pintu bus itu dengan gerakan kasar.
Bus itu pun berhenti mendadak dan tubuh kernet itu terhempas ke arahku, membuatku refleks mendorongnya hingga ia terjengkang ke belakang dan terjerembab di lantai bus.
"Pelit lu, kampret!" Umpatku kesal.
Semua penumpang di dekatku memekik terkejut dan menatapku juga kernet itu secara bergantian. Seketika suasana dalam bus itu berubah gaduh karena semua penumpang mulai menggerutu mengutuk ulahku.
Kernet lain yang usianya lebih tua menghambur menghampiriku dengan wajah bingung dan sopir mereka menoleh ke belakang seraya menghardik. "Apaan sih?!"
"Au, Bang. Si Item berantem!" Kernet yang berdiri di sampingku menjawab sekenanya. "Ngapa sih lu?" Ia bertanya pada kernet muda itu seraya berkacak pinggang. Diamatinya kernet muda itu sesaat kemudian melirikku dengan menaikkan sebelah alisnya.
Aku balas menatapnya dengan wajah mengiba.
Supir bus itu meliukkan tubuhnya ke belakang dan mengawasi kami beberapa saat.
"Gua cuma mau numpang ke lampu merah, Bang!" Aku berteriak pada pria paruh baya di belakang kemudi itu dengan nada merajuk. "Si Kampret satu ini ngusir gua." Dengusku seraya mencebik ke arah kernet muda yang disebut si Item tadi.
Kernet di sampingku terkekeh seraya menggeleng.
Sementara si kernet muda tadi memelototiku seraya beranjak dari lantai bus.
Semua mata penumpang memelototiku dengan tatapan risih.
Tapi aku samasekali tidak peduli. Aku tidak merampok mereka meski aku naik bus ini secara gratis, pikirku. Mereka juga bisa pakai wajah tembok sepertiku kalau mereka mau.
Supir bus menghela napas kemudian mendelik kesal. Tak lama kemudian bus itu kembali berjalan beberapa kilometer, lalu menyisi dan berhenti di lampu merah.
"Lu--badung banget sih jadi perempuan!" Rogens Jullianson, kakakku nomor empat, tiba-tiba menerjangku dan menjitak kepalaku begitu aku baru keluar dari bus.
Beberapa orang penumpang bus yang turun di belakangku refleks menyisi seraya mendelik, karena posisi Rogens menghalangi jalan mereka.
Aku meringis seraya mengusap-usap kepalaku dan memelotinya.
Ukuran tangan Rogens tidak berbeda jauh dengan ukuran tangan Benjamin. Bobot tubuhnya juga berbeda tipis. Tinggi dan besarnya sama seperti kingkong Sumatra.
Bedanya kulit Benjamin berwarna putih kemerah-merahan sebagaimana layaknya keturunan campuran Indo-Eropa pada umumnya. Sementara kulit Rogens berwarna hitam eksotis dan berbulu sebagaimana layaknya keturunan campuran kingkong dengan kudanil. Meski demikian Rogens tetap jauh lebih tampan dibandingkan Benjamin, karena Rogens tidak pernah membenciku seperti Benjamin.
Pria tampan blasteran kingkong dan kudanil itu menyeretku ke sisi jalan dan memakiku habis-habisan. Tapi aku tahu ia hanya khawatir.
Jadi begitu ia mulai mengoceh seperti ibu-ibu komplek yang memerankan tokoh anatagonis dalam sinetron Indonesia, aku mulai bernyanyi dalam kepalaku.
.
.
.
.
.
Now, what do you own the world?
How do you own disorder, disorder...
Now, somewhere between the sacred silence, sacred silence and sleep...
Somewhere between the sacred silence and sleep. Disorder, disorder, disorder...
.
.
.
.
.
Itu adalah chorus dari lagu System of a Down yang berjudul Toxicity. Lagu favoritku di samping lagu Queen yang berjudul Bohemian Rhapsody.
Dua lagu itu selalu tepat mewakili perasaanku setiap kali aku merasa jengah dengan hidupku.
Sementara itu, Jonathan Jullianson, adikku, berdiri lesu di sisi sepeda motor sport yang dikendarai Rogens untuk mengejarku.
Jonathan adalah pemuda tampan nomor dua dalam keluargaku. Ia memiliki kulit putih dan berwajah khas Eropa dengan mata bulat dan hidung mancung sempurna. Tinggi badannya juga di atas rata-rata orang Asia seperti Rogens dan Benjamin. Tapi Jonathan memiliki tubuh ramping dan berbahu lebar selayaknya sosok idola gadis remaja. Aku yakin saat ia dewasa nanti ia bakal digilai banyak gadis.
"Gila!"
"Gila!"
"Gila!"
Dan jangan tanya siapa pria paling tampan nomor satu dalam keluargaku.
Tentu saja ayahku!
Jonathan memandangi kami dengan wajah bingung. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya seraya mendekap sebuah ransel yang tampak tak asing di mataku.
Oh, S-h-i-t!
Itu memang ranselku!
Apa mereka betul-betul ingin mengusirku?
Kurenggut ransel itu dari tangannya dengan sikap kasar. Membuat kedua mata Jonathan membelalak karena terkejut. "Jadi gue diusir nih?" Sungutku seraya memeloti kedua saudaraku dengan alis bertautan.
"Gak ada otaknya!" Rogens mengerang seraya memutar-mutar bola matanya. "Kapan elu yang mabur, Setan!" Sekali lagi pemuda tampan hitam legam itu menjitak kepalaku. "Ade lu cuma kasian liat lu mabur kagak bawa apa-apa, aturan lu terima kasih udah diperatiin." cecarnya dalam tempo luar biasa cepat seperti musik Toxicity. "Pake sendal aja kagak lu!"
Aku menunduk menatap kakiku sesaat, kemudian menyeringai ke arahnya dengan tampang konyol. "Yaelah… baru kagak pake sendal, biasa juga gue kagak pake otak!" Kilahku sambil cengengesan.
Kedua saudaraku serentak membeliak sebal mendengar perkataanku.
"Gak ada ahlak!" Gerutu yang satunya.
"Gak ada otaknya emang!" Gerutu yang satunya lagi.
Sedikit makian itu tidak mengurangi ketampanan mereka.
Terutama ketika Si Tampan Hitam Legam berbadan mirip kingkong Sumatra itu membuka jaket kulit yang ia kenakan, kemudian mengenakannya padaku. Ketampanan pria kesayanganku itu bertambah satu poin.
Ya, satu poin saja!
Satu poin juga sudah cukup. Tidak perlu banyak-banyak. Ketampanan seorang pria tak perlu berlebihan karena tampan saja tidak cukup.
Dan asal tahu saja, berkat mereka berdua, pada akhirnya... Jullianson kuampuni!
Dan…
.
.
.
.
.
Di sinilah aku sekarang!
Di sekolah baru dengan seragam baru.
"Hi," sapa seorang cewek berbadan mungil, dengan wajah juga bibir tak kalah mungil. Entah dari mana makhluk mungil itu muncul, tahu-tahu ia sudah pindah ke sebelahku ketika aku baru saja mendapatkan tempat duduk kosong di baris ketiga, di sisi barisan bangku anak laki-laki.
Aku meliriknya sepintas melalui sudut mataku, tetapi aku tetap diam.
Nama yang tertulis pada bet bordir seragamnya adalah Vera Julia.
Tunggu sebentar!
Di mana aku pernah mengenal seseorang bernama Vera Julia?
Aku berusaha mengingat-ingat dan seketika kepalaku berdenyut-denyut.
Mungkinkah dia…
Teman kecilku---saudara sepupuku?
Vera Julia berambut lurus sebahu berpotongan model bob. Itu memang gaya Vera Julia yang kukenal. Tapi gaya bicara dan gerak-geriknya terlalu feminin---itu bukan gaya Vera yang kukenal. Wajahnya lumayan manis dan identik dengan gadis Asia dalam drama Korea.
Dia terlalu mungil, pikirku. Seingatku Vera Julia cukup atletis. Selain itu, Vera Julia di dalam ingatanku sedikit tomboi.
Aku berusaha mengingat-ingat wajah Vera di masa kecilku. Tapi kepalaku kembali berdenyut.
"Seragam lu keren," bisiknya seraya menangkupkan sebelah tangannya di seputar mulutnya yang mungil.
Aku menelan ludah dan mengerjap. Berusaha menyingkirkan perasaan tak nyaman dalam kepalaku.
"Lu pasti pindahan dari Sekolah Elit?!"
Apa katanya?
Sekolah Elit?
Boleh juga, pikirku. Mungkin aku bisa mengarang sedikit cerita di sini dan mengubah keadaanku.
Sekolah baru, seragam baru, identitas baru.
Aku baru saja berpikir untuk memulainya dari sini---dari cewek ini.
Tapi cewek ini terlalu berisik, dan kepalaku semakin sakit, akhirnya aku memutuskan untuk menghindarinya.
"Sombong amat," umpatnya ketika aku tiba-tiba berpindah tempat duduk tanpa mengatakan sepatah kata pun, kemudian memilih bangku kosong di samping seorang anak laki-laki berwajah arogan namun lumayan tampan. Nama yang terera pada bet seragamnya: Mohammad Ismail.
Cowok itu tersentak ketika aku tiba-tiba berpindah tempat dan memilih bangku di sampingnya.
Seisi kelas bahkan terdengar menahan napas.
Kenapa reaksi mereka begitu dramatis?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Goe Soka Cara Loe
Gak pernah liat kingkong aku di Sumatera, monyet banyak 😁
2024-04-21
0
Vlink Bataragunadi 👑
Bohemian Rhapsody lagu fav juga tp bukan berarti aku ngefans sama vocalis Queen nya ya Heheheh
2023-10-08
1
dyz_be
😂😂😂😂😂
2022-07-24
0