DID---Dissociative Identity Disorder atau gangguan identitas disosiatif merupakan gangguan kepribadian yang ditandai dengan lahirnya status kepribadian yang berbeda. Suatu kondisi yang membuat seseorang berdisosiasi atau mengembangkan lebih dari satu kepribadian alternatif yang diketahui secara sadar maupun tidak. Sebuah reaksi terhadap trauma sebagai cara untuk membantu seseorang menghindari kenangan buruk. Reaksi ini biasanya terjadi ketika seseorang tidak mampu lagi mengatasi rasa sakitnya.
Sebagian orang menyebutnya MPD---Multiple Personality Disorder atau gangguan kepribadian majemuk. Namun lebih dikenal dengan istilah kepribadian ganda.
.
.
.
.
.
"Benar," kata ayahku parau. "Kaka jelas punya masalah serius---dia menderita DID!"
"DID belum terbukti secara medis," bantah ibuku. "Bisa aja Kaka cuma cari perhatian!" Suara ibuku terdengar tipis. Begitu tipis hingga terasa tajam mengiris hatiku.
Cangkir kopi yang baru kuangkat dari meja sekarang bergetar di tanganku. Aku betul-betul tidak tahan lagi.
Tujuh tahun lamanya mereka membiarkan aku menunggu tanpa kepastian di bawah tekanan penindasan kedua bibiku, sampai aku memutuskan untuk pergi.
Pada hari aku dipukuli seperti anak anjing, aku bersumpah bahwa aku tidak mau lagi bergantung pada orang lain dan bertekad untuk jauh lebih kuat.
Diam dan tidak melawan membuatku diremehkan.
Menjadi anak manis hanya membuatku seperti anak anjing.
Sejak saat itu, aku mulai benci belajar merajut, melakukan pekerjaan rumah dan semua kegiatan yang biasa dilakukan anak perempuan.
Pada saat itulah aku benci namaku!
Tiga tahun lamanya aku menjalani hidup mandiri sebagai pengamen, menantang kerasnya kehidupan jalanan demi bertahan hidup sendiri dan membiayai sekolah tanpa bantuan siapa pun, supaya aku tidak ditindas lagi hanya karena aku hidup menumpang.
Dan selama sebelas tahun itu kedua orang tuaku tidak peduli.
Sekarang mereka bilang aku cari perhatian?
"Gua gak butuh perhatian!" Aku berteriak nyalang, sementara cangkir kopi di tanganku terhempas keras mengenai pintu kamar mereka. "Gua gak butuh apa pun dari kalian!"
Seketika ayah-ibuku menghambur keluar kamar dan tersentak mendapatiku.
Keenam saudaraku dan juga Keyla---sepupuku, tergopoh-gopoh dari kamarnya dan berlarian ke ruang makan.
"Kaka!" Keyla memekik dengan tatapan marah. Lebih tepatnya memarahiku.
Lihat itu!
Keyla hanya sepupu, tapi dia tinggal di rumahku sementara aku menumpang pada nenekku, dan sekarang Keyla juga berani memarahiku.
Ibuku memandangiku dengan wajah terguncang dan sepasang matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis akibat hardikanku. Membuat seisi rumah terenyuh, kemudian menghampirinya dan memelototiku.
Aku menatap ibuku dan semua orang yang berhimpun di sekelilingnya, Keyla, Ern dan Danielle. "Gua gede di jalan, Mom!" Sergahku seraya menepuk dada. "Ketiup angin!" Tandasku tajam.
"Kaka!" Ayahku berusaha menyela dan menghampiriku.
Tapi aku mengedikkan bahuku ketika ayahku berusaha menyentuhnya. "Gua gak butuh perhatian siapa pun," aku menambahkan seraya menyingkir.
Ayahku menghela napas berat dan mengembuskannya tak kalah berat, kemudian menatapku dengan raut wajah keruh.
Aku bergegas menuju kamarku dengan langkah-langkah lebar. Aku ingin mengemas semua barang-barangku dan secepatnya berganti pakaian. Aku memutuskan untuk kembali saja ke jalan dan takkan pernah kembali lagi ke rumah ini.
Tapi tiba-tiba Benjamin---kakakku yang paling tua, tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu dan menghadangku. "Monyet lu, pagi-pagi udah bikin rusuh. Mau jadi jaogan lu di mari?!" Cercanya seraya menoyor kepalaku.
"Oh, jadi elu jagoannya di mari?!" Semburku sembari mendelik dengan sikap mencela.
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Dan refleks membuatku tak sadar---tahu-tahu aku sudah melayangkan lututku dan mendaratkannya di perut Benjamin.
BUGH!
Seisi ruangan menjerit menyaksikan tingkahku.
"Monyet!" Geram Benjamin seraya menjambak rambutku.
"Kaka! Abang!" Ayahku berteriak seraya menerjang ke arah kami. "Cukup!"
Tapi Benjamin sudah menyeretku dengan menjambak rambutku hingga ke teras rumah dan melemparku ke pekarangan.
"B.A.B.I!" Dengusku seraya memijat-mijat puncak kepalaku yang berdenyut-denyut.
Benjamin memiliki tubuh tinggi dan besar juga berotot. Sebut saja lebar. Atau luas. Terserah!
Yang pasti sangat mustahil untuk melawannya tanpa keahlian bela diri yang mumpuni. Bahkan jika kau mengikuti kelas karate, minimal kau sudah meraih sabuk hitam untuk bisa mengalahkannya.
Memukul Benjamin tidak ada bedanya dengan memukul beton.
Tapi harga diriku terus memberontak dan mendesakku untuk melawan. Dengan kepala merayang dan tatapan berkunang-kunang aku pun bangkit menghampirinya dengan menggenggam sebongkah batu bata yang kudapatkan secara sembarang.
"Kaka! Cukup!" Teriakan ayahku menghentikan langkahku seketika.
Buru-buru kusembunyikan tanganku di belakang tubuhku dan kujatuhkan batu bata di tanganku dengan diam-diam.
Dengan kerut wajah curiga ayahku mengawasiku dari ujung kepala hingga ujung kakiku.
Dan aku hanya terdiam seraya tertunduk dengan kedua tangan bersilang di belakang punggungku.
Seketika aku mulai khawatir terancam sariawan karena tidak terbiasa menutup mulut. Biasanya kalau tidak mengoceh memarahi segala sesuatu, minimal aku harus bergunjing atau membual untuk melatih ketangkasan mulutku.
Sebagai anak jalanan, mulutku juga perlu dilatih ilmu beladiri supaya aku bisa bertahan hidup. Hidup di jalan harus ahli bersilat lidah, meski kau tak ahli silat sungguhan.
Tapi benar kata orang, kita tak bisa menerapkan hukum jalanan di dalam rumah. Begitu juga sebaliknya.
Hukum jalanan tidak berlaku di sini. Terutama di depan ayahku.
Ayahku adalah seorang Komandan Militer yang menjunjung tinggi nilai-nilai disiplin dan kewibawaan.
Baru ditatapnya saja nyaliku sudah menciut.
Aku bisa mendengar Benjamin menahan tawa melihatku tak berkutik di depan ayahku.
Kulirik Benjamin sepintas melalui sudut mataku dan mendapatinya sedang menyeringai seraya bersilang tangan dan menyandarkan sebelah bahunya pada pilar di depan pintu masuk. Tampangnya yang mencemooh terlihat menjengkelkan dan membuat isi kepalaku kembali mendidih. Aku akan membunuhnya lain kali. Nanti, saat Pak Tua ini lengah. Barangkali besok pagi, kalau tidak kesiangan.
Mungkin juga lebaran!
Lebaran Haji!
Lebaran Haji Muhidin!
Siapa lagi coba Haji Muhidin? Kalian pasti bertanya-tanya.
Haji Muhidin adalah tetangga kami. Dan ia memiliki kebiasaan berjalan pelan seperti siput. Menunggu Haji Muhidin tidak ada bedanya dengan menunggu lebaran haji.
Kenapa aku jadi membahas Haji Muhidin?
Aku betul-betul butuh secangkir kopi!
Di mana aku bisa mendapatkannya sekarang? Pikirku.
Kulayangkan pandanganku ke jalan raya yang membentang di depan pagar pembatas pekarangan rumahku dan melihat sebuah bus sedang meluncur menuju jalan di depan rumahku. Kulirik ayahku sesaat sebelum akhirnya menghambur keluar area rumahku dan menerjang ke tengah jalan mencegat bus itu.
"Srikandi!" Ayahku berteriak terkejut menyadari aku melarikan diri. Aku benci mendengar namaku disebut. Terutama karena aku tahu ayahku takkan meneriaki anaknya dengan menyebutkan nama kecuali sesuatu betul-betul salah. Dan itu hanya berarti satu hal--Ayahku betul-betul marah sekarang!
Kakiku terasa sakit ketika aku mencoba mengayunkan kakiku menaiki bus itu. Sepertinya kakiku terkilir setelah menendang perut Benjamin tadi. Kekuatan fisiknya memang betul-betul tidak bisa diremehkan.
Seisi rumah berlarian ke luar pekarangan mencoba menghentikanku. Tapi mereka semua terlambat. Bus yang kunaiki sudah meluncur ketika langkah mereka baru mencapai trotoar.
"Bye, JF!" Gumamku licik sembari cengar-cengir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
dyz_be
Anaknya bukan sih??
Qo malah terlantar begitu...
2022-07-24
1
Hendra Dwi M
tuh udah aku kasih kopi buat kaka, biar sabar nunggu haji muhidin buat dinaekin 😆
2022-01-09
2
ZaZa
Haji muhidin ohhhh haji muhidin
2021-12-17
0