"Kaka ikut Nana dulu ya, main-main sama Bibi. Mommy sama Daddy sedang ada pekerjaan!" Ayahku berkata lembut dan membujuk seraya tersenyum, bersikap seolah-olah semuanya bukan hal yang serius.
Sementara ibuku terus-menerus menyumbat hidungnya dengan tisu seraya tersengak-sengak di samping ayahku.
Tak lama kemudian, keduanya mengecup pipiku, sebelum akhirnya mereka menjauh dalam penglihatanku. Melambaikan tangan mereka dengan kedua bahu menggantung lemas.
Aku juga melihat Vera di belakang mereka, menatapku sambil bersedekap dengan raut wajah murung.
Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi. Aku juga tidak mengerti tentang pekerjaan yang dimaksud ayahku. Tapi aku bisa melihat semua orang memasang wajah sedih hari itu.
Langkahku semakin menjauh dibimbing tangan hangat nenekku yang gemetaran.
Sepanjang perjalanan dalam kereta yang melaju kencang selama delapan jam, nenekku tidak henti-hentinya mengawasiku melalui sudut matanya.
Tapi aku hanya membeku. Tidak menangis maupun bertanya. Hanya tercenung dengan raut wajah bingung. Berdiam diri di salah satu bangku dengan punggung menegak seraya mendekap boneka---boneka Srikandi kata ayahku, semua orang bilang boneka itu mirip denganku. Satu-satunya mainan yang sempat kubawa ketika aku meninggalkan rumah.
Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan pergi begitu lama.
Hanya main dengan bibi, pikirku.
.
.
.
.
.
Tujuh tahun kemudian…
Orang tuaku tidak pernah muncul.
Usiaku sudah tiga belas, dan mereka tidak pernah menjemputku.
Dan aku tidak pernah tahu apa sebabnya!
"Orang tua lu tuh, gak peduli sama lu!" Bibi Maris memberitahuku dengan mulut penuh bakmi---makanan pemberian pacarnya di sekolah, tidak seorang pun diizinkan menyentuh makanan itu kecuali jika ia sudah kenyang---katanya. Biasanya aku akan kenyang hanya dengan menontonnya. Kenyang nelen ludah!
"Makanya kudu tau diri," Bibi Ila menimpali. "Elu tuh di sini cuma numpang. Harus patuh sama kita-kita. Biaya idup lu, bukan bapak moyang lu yang nanggung!"
Kupikir juga orang tuaku memang tidak peduli. Tapi bicara biaya hidup, mereka---bibi-bibiku juga masih menumpang pada ibunya---nenekku.
Bibi Maris baru berusia tujuh belas tahun, masih kelas dua di bangku sekolah menengah atas, tapi hobinya jalan-jalan di mall. Berbelanja makanan dan barang-barang impor, berpakaian modis dan ber-make up mahal.
Bibi Maris dua puluh lima tahun. Tidak punya suami tapi sudah punya satu anak. Dia juga tidak bekerja tapi hobinya tidak jauh berbeda. Bahkan jauh lebih glamor. Bibi Ila hobi pergi ke klub malam.
Sementara Nana---nenekku, dari pagi hingga petang bekerja di ladang setiap hari. Seminggu sekali, Nana pergi ke kota untuk menjual sayur dan buah-buahan---hasil panen dari ladangnya. Dan itu memberi kedua bibiku cukup waktu untuk mengintimidasiku.
Mereka takkan berani macam-macam di depan Nana. Hanya saat Nana tidak di rumah, keduanya mulai bertingkah.
Suatu kali, aku pernah dipukuli seperti anak anjing hanya karena aku menjatuhkan uang koin seribu rupiah yang ditinggalkan Bibi Ila untuk membeli bubur bayi.
Saat itu, Bibi Ila menitipkan anaknya padaku sepulang sekolah karena ia harus bekerja---menemani tamu di tempat karaoke. Itu adalah pekerjaan Bibi Ila di samping jadi nyonya menggantikan Nana.
Sebelum pergi ia meninggalkan sekeping uang koin pecahan seribu rupiah dan berpesan supaya aku membeli bubur sachet dan menyuapi bayinya.
Sialnya, ketika aku pergi ke warung sembari menggendong bayinya, uang itu malah jatuh tanpa kusadari---entah jatuh di mana dan aku tidak bisa menemukannya. Akhirnya bayi malang itu tidak dapat makan dan terus menangis hingga malam hari.
Bibi Ila paling tak sabar menghadapi bayinya yang rewel. Ia selalu meledak-ledak setiap kali bayinya tidak mudah ditenangkan, dan sebagai pelampiasan akulah biasanya yang menjadi sasaran empuknya untuk melemparkan semua kesalahan. Katanya aku tak becus mengurus bayinya, mungkin cara menggendongku salah hingga anaknya terkilir dan akhirnya demam.
Jadi begitu tahu anaknya tidak diberi makan, ia menuduhku menggunakan uangnya untuk kepentingan pribadiku.
Dan saat itu juga, aku dipukuli dengan tongkat bambu yang biasa digunakan Nana sebagai pengait jemuran.
"Gua rawat dari kecil, lu! Udah gede mau matiin anak gua!" jeritnya murka, kemudian mengusirku. "Kalo berani balik, gua bunuh lu!" Ia mengancamku.
Aku melarikan diri ke dalam hutan malam itu dan tidak berani pulang. Tidur meringkuk di sebuah gubuk kecil tempat petani biasa berjaga di pematang sawah. Menggigil dalam balutan seragam yang belum sempat kuganti sepulang sekolah. Seragam itu sekarang basah dipenuhi noda darah yang terus mengucur dari hidung dan juga lukaku. Sekujur tubuhku serasa remuk dan seperti terbakar. Serata kulitku bernoda biru lebam dan berlumuran darah.
Sakit!
Rasanya benar-benar sakit!
Aku bersumpah tidak akan pernah menerima sepeser pun uang atau menyentuh apa pun dari milik mereka mulai sekarang.
Aku tak ingin merasakan sakit yang seperti ini lagi!
Menjelang tengah malam, seseorang mengguncang bahuku. Seorang pria berambut cokelat sebahu mengenakan gamis putih berjubah sewarna lengkap dengan turban putih yang melilit di seputar bahunya.
Aku tidak tahu dari mana pria itu muncul. Seluruh tempat di sekelilingku gelap gulita sebelum ia datang.
Pria itu menatang sebatang menorah---kandil emas dengan tujuh kaki dian berisi tujuh buah lilin berlainan warna. "Kamu tidak seharusnya berada di sini," katanya lembut namun penuh penekanan. Suaranya terdengar seperti desir angin di antara gemerisik dedaunan yang bergesekan.
Aku mengerjapkan mataku dan mengamatinya.
Cahaya yang terpancar dari pelita di tangannya terlalu terang hingga aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi aku tahu pria itu bukan seorang petani. Petani tidak mungkin punya kaki dian dari emas dua puluh empat karat. Mungkin salah satu dari tuan tanah. Dan aku mungkin berada di areanya.
"Maaf," ungkapku seraya mengernyit, kemudian menarik duduk tubuhku. Kepalaku berdenyut-denyut. Sekujur tubuhku masih menggigil dan terasa ngilu ketika aku berusaha duduk dan beringsut. Sepertinya aku mulai demam akibat luka memar di sekujur tubuhku.
Pria itu tersenyum simpul. "Bukan," katanya. "Maksudku, pulanglah! Singakerti mungkin mencarimu!"
Aku mengerutkan dahiku. Singakerti adalah nenekku. "Paman kenal nenekku?"
"Aku bukan pamanmu, Srikandi!" Pria itu menghardikku. "Namaku Maulana Ibrahim!" Katanya.
Aku menelan ludah dan tergagap. Sekarang aku bisa melihat wajahnya---aku tidak mengenalnya.
Dari mana dia tahu namaku?
"Jangan berpikir terlalu banyak!" Pria itu menegurku, seolah bisa membaca isi pikiranku. "Pulanglah! Aku akan mengantarmu!"
Aku mengerang seraya memutar-mutar bola mataku dengan tampang sebal. Sekujur tubuhku serasa remuk juga gemetaran. Bagaimana mungkin aku berani pulang, sementara Bibi Ila mungkin akan membunuhku?
"Aku bersumpah akan menjagamu, Srikandi!" Pria itu berusaha meyakinkanku.
Aku tidak pernah tahu kenapa dia mengatakannya. Dan aku tidak bisa membayangkan tindakan yang dimaksud dengan 'menjagamu' akan seperti apa.
Yang aku tahu, begitu sampai di rumah yang entah bagaimana caranya aku bisa sampai di sana karena sepanjang perjalanan pulang kepalaku terus merayang dan kesadaranku timbul-tenggelam, aku baru menyadari Nana belum pulang dan Bibi Ila langsung menyambutku dengan cambukan yang sama seperti sebelum aku melarikan diri.
Aku baru saja sampai di pekarangan belakang ketika ia menghadangku. Dan sekali lagi Bibi Ila memukuliku seperti anak anjing.
Pria berjubah putih itu memenuhi janjinya, dia benar-benar menjagaku, membentengi aku dari terjangan Bibi Ila dan menepiskan setiap cambukan yang dilontarkannya hingga Bibi Ila akhirnya menjerit histeris karena frustrasi, kemudian menghambur ke dalam rumah seraya masih menjerit-jerit.
Seketika seluruh tempat di sekitarku berubah gaduh. Semua orang menghambur dari rumahnya, menghampiri Bibi Ila dan bertanya-tanya.
Bibi Ila masih menjerit-jerit ketika ia mengatakan sesuatu pada mereka.
Tak lama kemudian, orang banyak itu menatapku dengan wajah ngeri.
Pada saat itulah aku baru mengerti, pria itu tidak terlihat.
Pria itu tidak nyata!
Segala sesuatu yang dilakukan pria itu selama ia melindungiku ternyata dilakukan oleh tanganku sendiri.
Ya!
Aku...
D.I.D!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Goe Soka Cara Loe
Nah kan?... Teman Mayang ini...
2024-04-21
0
Goe Soka Cara Loe
Mungkin hantu. Temannya Mayang birahi
2024-04-21
0
Goe Soka Cara Loe
Yang benar bibi Maris 17 atau 25?
2024-04-21
0