Cuaca tidak begitu panas lagi selepas ashar. Aku dan putraku bersepeda santai sambil menoleh ke kiri kanan jalan siapa tahu ada yang sedang membangun rumah dan butuh pagar besi atau terali. Dalam hati terus berdoa semoga kami di berikan kelapangan rezeki.
"Nak, kalau kamu lihat ada rumah atau bangunan yang baru di bangun,kamu bilang sama ayah, ya!" titahku pada Andre.
"Iya, yah," sahutnya antusias. Aku beruntung memiliki putra sepertinya. Dia kuat dan tidak suka mengeluh.
Tak terasa sudah cukup lama kami berkeliling hingga tanpa sadar sudah bersepeda makin jauh. Aku berhenti sejenak menerka-nerka apa di sini masih satu kelurahan dengan tempat tinggal ibu, ternyata sudah beda kelurahan. Dan saat aku tanya sama orang yang lewat, ternyata sekarang sudah pukul empat sore padahal tadi aku dan Andre pergi dari rumah sejak pukul tiga. Pantas saja kok rasanya lelah sekali.
Aku saja merasakan kelelahan, bagaimana dengan anakku. Kasihan dia. Dan lagi-lagi dia tidak mau mengeluh.
"Ndre. Kamu sudah lelah, nak?" tanyaku pada putraku itu.
Andre menganggukkan kepalanya, "Iya, yah. Aku sudah lelah," jawabnya cepat seraya mengusap dahinya yang berkeringat.
"Ya sudah kalau begitu. Kita saja pulang, yuk. Tapi lewat jalan lain saja," ucapku pada Andre.
Andre kembali menganggukkan kepalanya.
Kami lalu pulang dengan memutar jalan. Semoga saat pulang nanti, aku dapat rezeki.
Tapi sampai sudah dekat rumah ibu, aku tidak melihat satupun rumah atau bangunan yang baru di bangun. Mungkin belum ketemu rezekiku. Aku harus tetap sabar dan terus bersemangat. Demi kedua buah hatiku.
Aku lalu membeli roti untuk cemilan anak-anak. Oleh-oleh sekadarnya saja untuk mereka.
"Yah, besok aku sudah mulai masuk sekolah," ucap Andre.
"Iya, nak. Apa ada yang kamu butuhkan untuk sekolah kamu?" tanyaku.
"Sepatu aku sdh rusak, yah," jawab Andre ragu-ragu.
"Hhmm, kamu pakai dulu, ya. Semoga ayah segera dapat uang untuk membeli sepatu baru untuk kamu."
Andre mengangguk, "Iya, yah," jawabnya tanpa protes dan mengeluh.
Sampai di rumah ibu, aku bergegas pergi mandi lalu pergi ke masjid bersama putraku untuk sholat maghrib. Sepulang dari masjid ternyata sudah ada Lisa duduk di teras rumah.
Mau apa lagi Lisa ke sini. Batinku. Aku malas untuk berurusan dengan ibu dari anak-anakku itu. Aku langsung masuk tanpa menyapanya lagi. Dan saat anakku melewatinya, Lisa langsung menarik tangan Andre.
"Mas Andre, ikut ibu yuk. Kita ke toko sepatu. Sepatu kamu kan sudah rusak, malu lah sama teman-teman kamu. Ayah kamu mana bisa beliin," ucap Lisa sinis sambil melirik ke arahku.
Aku hanya bisa mengusap dada mendengar ucapan ibu dari anakku itu. Dia sungguh sudah menghinaku. Karena aku tidak mau ribut, aku langsung meninggalkannya masuk ke rumah. Aku sudah tidak tahu apa jawaban dari Andre atas ajakan ibunya itu.
Tak berapa lama, Lisa masuk ke rumah. Dia menghampiriku ke dapur saat ibu sedang menyiapkan makan malam kami.
"Bu, anak ibu ini sudah keterlaluan. Dia sudah menghasut anak-anakku hingga tidak mau lagi ikut denganku." Lisa mengadu pada ibuku. Wajahnya tampak sangat kesal.
"Lisa, ibu nggak mau ikut campur urusan rumah tangga kalian. Tolong jangan ribut di rumah ibu!" ucap ibuku tegas.
"Huuhh, baiklah bu kalau ibu nggak mau membantu aku. Aku nggak akan tinggal diam. Aku akan rebut anakku kembali!" ucapnya kesal di hadapan ibuku.
Ibuku hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. Benar-benar Lisa ini.
"Lisa, tolong pergilah! Biar pengadilan yang akan memutuskan anak-anak akan ikut dengan siapa! Jangan ribut di sini, malu di dengar tetangga!" ucapku pelan namun dengan penekanan.
"Huhh, buat biaya hidup sehari-hari saja kamu nggak bisa mencukupi apalagi buat biaya cerai. Jangan sok kamu, mas! Aku tunggu surat cerainya dan aku pastikan kalau aku yang akan memenangkan hak asuh anak-anakku!" sahutnya dengan senyum sinis.
Sakit sekali mendengar hinaannya. Aku memang miskin.Tapi bukankah dia sudah tau dari dulu dan tetap mau menikah denganku. Kenapa baru sekarang dia protes. Apa karena sudah punya orang lain yang mampu memberinya lebih? Entahlah. Aku sudah tidak mau lagi peduli. Terserah dia saja. Toh dia juga sudah tidak aku anggap lagi sebagai istriku.
Lisa lalu keluar dari dapur dan menemui Andre di ruang tamu.
"Kamu benar-benar nggak mau ikut ibu, Dre?" tanya Lisa dengan tatapan tajam ke arah Andre. Andre hanya diam tidak menjawab apa-apa, "Kamu akan susah hidup sama ayah kamu!" imbuhnya lagi dengan menahan kesal lalu segera pergi meninggalkan rumah ibu.
Aku bertekad akan mencari uang lebih banyak untuk kedua anakku.
Setelah Lisa pergi, kami sekeluarga makan malam dalam keheningan. Tidak ada yang bersuara. Semua orang di meja makan seperti tidak bersemangat. Bahkan raut wajah sedih terpampang jelas di wajah kedua anakku. Maafkan ayah,nak. Ucapku dalam hati.
***
Pagi hari setelah aku dan anakku pulang dari masjid, kami sarapan seperti biasa. Kedua anakku sedang bersiap kembali ke sekolah setelah liburan sekolah selama satu minggu.
Si sulung sekarang sudah kelas empat SD sementara si bungsu baru kelas satu. Usia mereka hanya berjarak tiga tahun saja. Si sulung berumur sembilan tahun sedangkan di bungsu berumur enam tahun.
Sebelum berangkat ke toko, terlebih dahulu aku mengantarkan mereka ke sekolah. Aku sengaja menyekolahkan mereka di satu sekolah yang sama supaya mereka bisa saling menjaga dan sekolah mereka pun hanya memakan waktu lima menit saja jika menggunakan sepeda. Jika berjalan kaki hanya memakan waktu sepuluh menit.
Setelah mengantar anakku, gegas aku pergi ke toko. Karena masih terlalu pagi, toko belum buka. Aku duduk-duduk di depan teras sambil melihat orang yang lalu lalang.Jika sedang sendiri begini, aku pasti selalu teringat masa-masa dulu. Teringat akan anak-anakku.
Tak lama bosku datang dengan mengendarai mobil kesayangannya. Usaha yang di rintis oleh bos dari nol terbilang maju. Usahanya sudah memiliki dua cabang yang tiap cabang di kelola oleh kedua anaknya laki dan perempuan.
"To, sudah datang kamu," sapa bos dengan tersenyum ramah.
"Iya, bos. Tadi sekalian mengantar kedua anakku sekolah," sahutku.
"Oh iya, anak-anak sudah mulai kembali ke sekolah,ya," ucapnya.
"Iya, bos," sahutku.
Seperti biasa aku membantu mengeluarkan bahan bangunan yang memang di taruh di teras. Tak lama si Budi juga datang.
"Pesanan pak Andi kemarin belum di antar, kan? Tolong kalian antarkan pagi ini juga!" titah bos Toni.
"Baik, bos," jawabku cepat.
Aku dan Budi lalu bergotong royong menaikkan barang ke mobil pik up. Setelah selesai,kami lalu berangkat menuju rumah pembeli sesuai dengan alamat yang di berikan oleh bos Toni.
Hari menjelang siang,aku dan Budi sudah dua kali mengantarkan barang ke pembeli sekaligus aku menawarkan kalau ada yang mau memesan pagar besi atau teralis. Alhamdulillah ada satu orang yang mau memesan. Beliau seorang bapak paruh baya bernama pak Arwan dan kami janjian akan ke bengkel saat siang hari aku istirahat.
Tepat jam dua belas siang, pak Arwan dan pak Anop yang kemarin sudah janjian akan ke bengkel datang berbarengan ke toko. Aku ijin sama bos keluar selama jam istirahat.
Aku ikut naik mobil salah satu dari mereka. Sampai di bengkel, aku langsung menemui pemilik bengkel yang bernama pak Sugi. Bengkelnya yang bernama Gigih Jaya Teknik berada cukup jauh dari toko tempatku bekerja dan memakan waktu hampir setengah jam dengan mengendarai mobil.
Alhamdulillah mereka jadi memesan pagar dan terali untuk jendela di bengkel pak Sugi. Bahkan pak Anop sampai mengorder dengan jumlah besar. Setelah bernegosiasi, pak Arwan langsung pulang sedangkan pak Anop pulang bersamaku karena mau memesan barang bangunan dulu di toko bangunan pak Toni tempatku bekerja.
.
.
.
.
.
.
.
17
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Eliani Elly
Alhamdulillah.. rezeki anak Sholeh
2022-01-14
1
Aris Pujiono
rezeki anak sholeh
2022-01-05
0
Mas'adatun Nikmah
rezeki anak sholeh
2021-11-24
0