Ep 8

Rendra sedang berada di Vila saat ini dia duduk diam di pinggir tempat tidur melihat kasur yang asih berantakan karena perbuatannya tadi pagi terhadap Adiba. Dia diam saat ini memikirkan ucapan Adiba yang mengatakan kalau tengah hamil.

“Perempuan itu apa serius dnegan perkataannya, mana mungkin” gumam Rendra masih tidka mempercayai hal itu.

“Mampus gue kalau itu benar, bokap bisa-bisa bunuh gue kalau tahu” ucapnya dan tangannya terayun mengacak rambutnya sendiri. dia bingung ahrus apa saat ini. bayang-bayang kemarahan ayahnya begitu jelas terngiang di kepalanya dan celakanya kalau ayahnya sampai tahu bisa-bisa dia tidak di perbolehkan melanjutkan kuliah di jurusan kedokteran.

“tapi yang aku katakan pada Adiba tadi apa tidak salah ya, bagaimana bisa aku menyuruh dia untuk menggugurkan anak yang dia kandung”

“Ah tahulah, terserah dia mau menggugurkannya, aku tidak menginginkan anak itu, tapi aku menginginkan Adiba” lirih Rendra diakhir kalimatnya.

“Sadar Rendra, lo fokus aja sama kuliah lo” kesalnya pada diri sendiri. dia langsung berdiri dari duduknya saat ini.

“lebih baik lo mandi tenangin diri lo sendiri sekarang”ucapnya lagi, dia langsung melangkah pergi menuju kamar mandi membiarkan kasur yang berantakan. Tapi sebelum dia masuk langkahnya kembali terhenti dia memikirkan Adiba kemana kira-kira perempuan itu pergi hujan-hujan begini dan dia ingat kalau perempuan itu di usir oleh orang tuanya.

“Kok gue khawatir sama tuh orang, dia kemana ya” gelisah rendra. Meskipun dia tengah gelisah pria itu berusaha mengabaikannya dan memilih masuk kedalam kamar mandi.

...........................

Adiba menyeret barang-barangnya di pinggir jalan. dia bingung harus kemanakah dia sekarang orang tuanya sendiri tidak mau menerimanya dan dia tidak ada teman di daerah dekat rumahnya. Kemanakah dia sekarang harus pergi..

“Huhu, ayah kenapa nggak mau dengerin omongan aku dulu sih. Kenapa ayah nggak pernah bis dengerin aku yah, aku juga anak ayah” tangis Adiba pecah, dia di jalan terus menangis memikirkan betapa tega ayahnya mengusir dia saat ini.

Ayahnya memang tidak terlalu menyayangi dia, sayang sih tapi tidak sesayang pada kakaknya Oki.

Adiba terus berjalan di sore hari yang mendung, bahkan jalanan ada yang tergenang air karena habis hujan. Adiba melangkah tanpa tahu tujuannya harus kemana sekarang ke sanak saudaranya jelas tidak mungkin. Mereka mana mau menerima dirinya saat dia menceritakan semua

“Harus aku apakan juga anak ini, tidak mungkin aku menggugurkannya” ucapnya, dia semakin menangis tak kala mengingat bahwa saat ini dia tengah hamil. Hamil tanpa ada yang mau tanggung jawab, Rendra pria brengsek itu malah menyuruhnya untuk menggugurkan anak dalam kandungan. Jelas itu tidak mungkin dia lakukan,

“Adiba,..” panggil seseorang dari dalam mobil membuat Adiba berhenti untuk melangkah. Dia menoleh kesamping melihat siapa orang itu.

Wajahnya langsung berseri melihat orang itu, itu Tere sahabatnya di kampus. Tere yang berada di dalam mobil langsung keluar menghampiri Adiba.

“tere, kok kamu disini” tanya Adiba

“Iya aku tadi ke rumah mu tapi kata ibu kamu,. Kamu diusir sama ayahmu ya” pungkas tere sedikit terbata untuk mengatakannya.

Adiba langsung memeluk sang sahabat, dia menangis dalam pelukan sahabatnya itu.

“Te..tere aku bingung sekarang, aku bingung mau kemana” ucap Adiba menangis terisak di pelukan sang sahabat

“Diba, sudah Dia jangan nangis. Ayo masuk kedalam mobilku, kita bicara didalam” ajak tere pada Adiba.

Perempuan tinggi ramping itu menuntun Adiba untuk masuk kedalam mobilnya, mereka berdua lalu masuk kedalam mobil. Tere tadi mengemudikan sendiri mobilnya tanpa sopir.

“Bener Kan dugaan ku kamu ada masalah, aku mikirin kamu terus tahu Diba.” Ucap Tere memperhatikan sahabatnya yang masih saja menangis.

‘hidupku ancu Diba, hancur. “ tukas Adiba.

“kamu beneran Hamil Diba, siapa yang hamilin kamu bilang sama aku. biar aku hajar dia. Siapa yang berani hamilin kamu Diba” cercar Tere.

“Re..rendra yang hamilin aku ter, dan.di dia nggak mau tanggung jawab”

“Apa? Kau tidak sala Rendra yang hamilin kamu” Tere terlihat sangat terkejut mendengar itu nyali nya jadi ciut untuk menghajar pria yang telah membuat Adiba hamil. Tidak mungkin dia menghajar Rendra, bisa-bisa Papanya di pecat dari perusahan orang tua Rendra.

“Kamu nggak bohong kan Dib, kalau dia yang hamilin kamu nggak bisa hajar. Kamu tahu sendiri orang tuanya bos dari papa aku” lirih Tere merasa tidak bisa berbuat apa-apa

Adiba hanya diam saja, dia tahu soal itu. dia menangis begitu terisak hatinya.

“udah Dib, jangan nangis lagi. Meskipun aku nggak bisa hajar Rendra aku bisa bantu kamu. Kamu lagi nggak ada tempat tinggalkan, aku carikan tempat tinggal di jakarta ya yang dekat kampus biar kamu bisa kuliah”

“Nggak tere, aku..aku nggak sanggup kalau lanjut kuliah. Aku nggak mau ketemu sama pria bejat itu lagi ter. Aku juga malu kalau orang-orang tahu kalau aku hamil sekarang”

“Diba kenapa harus malu biarkan saja mereka, aku bakal bantuin kamu dari mereka. Soal Rendra biarin aja dia tidak usah kamu tanggepi. Tunjukkan sama dia juga kalau kamu bisa”

“nggak Tere, pria itu pria gila Tere. Aku..aku sama sekali nggak mau ketemu sama dia lagi” Adiba masih bersih keras. Dia memang bertekad untuk tidak bertemu dengan Rendra lagi, dia membenci pria itu.

“ya sudah kalau soal itu kita bicarakan lagi ya, aku antar kamu buat cari tempat untuk kamu tinggal. Kamu jangan banyak pikiran kasihan anak kamu nanti” ucap tere sebelum menjalankan mobilnya.

Adiba hanya mengangguk mematuhi apa yang di katakan temannya tersebut

.........................

“Ngapain kamu disini, kamu bikin malu Papa aja. Sini kamu,” Frans menarik kuat tangan anaknya agar bangun dari tempat tidur. Rendra langsung terbangun dan dia terhampar di lantai karena Papanya yang menariknya cukup keras.

“Pa dengerin aku dulu. aku..aku disini karena kuliah aku libur pa” uap Rendra berbohong dia berlutut di depan sang papa.

“berdiri kamu, kamu ini tukang bohong Rendra, anak tidak tahu di untung”

Plakk

Frans menarik rendra untuk berdiri dan tamparan keras mengenai wajah tampan pria itu.

Rendra langsung terbangun dari tidurnya, ia baru saja mengalami mimpi yang cukup menakutkan. Nafasnya terlihat terengah engah keringat dingin bahkan bercucuran di pelipisnya.

“bagaimana bisa aku mimpi seperti itu, bagaimana kalau papa tahu soal ini” ucapnya begitu gamang.

Dia langsung berdiri untuk keluar dari kamar sebelum itu dia melihat kearah jendela yang ternyata sudah gelap di luar sana saat ini sudah begitu malam.

“jam berapa ini,” ucapnya dan terlihat bingung

“Astaga sudah jam segini,” ucapnya kaget saat melihat jam yang telah larut.

“Aku harus pulang, kalau aku belum pulang pasti Papa akan sangat marah” ucapnya langsung menyambar kunci mobilnya yang berada di nakas meja . dia langsung pergi begitu saja.