"Rumah ini tak layak huni, sebaiknya kamu pindah."
Sifa menghentikan pekerjaannya yag sedang meletakkan ember dibawah tetesan air hujan yang merembes ke asbes rumahnya.
"Gak segampang itu buat saya untuk pindah, Pak." ujar SIfa dengan memberikan senyum tipis.
"Kenapa?" Abash mulai membantu Sifa untuk menampung tetesan air yang bocor.
"Saya gak ada hal untuk jelasin ke Bapak."
"Karena uang?" tebak Abash yang mana membuat Sifa kembali menghentikan pekerjaannya.
Tak ada jawaban dari Sifa, gadis manis itu hanya diam dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Gaji kamu cukup besar diperusahaan saya, kenapa gak gak cari tempat tinggal yang lebih nyaman?"
Sumpah, Abash benar-benar penasaran kenapa SIfa masih bertahan di rumah yang tak layak huni ini.
Sifa mengehla napasnya pelan, kemudian ia berbalik dan tersenyum kepada Abash. "Karena kenyamanan itu saya dapatkan ada di rumah ini."
Abash menaikkan alisnya sebelah, pria dari keturunan Moza itu tak paham dengan apa yang dimaksud dengan Sifa. Bagaimana bisa rasa nyaman didapatkan di rumah yang asbesnya saja sudah terlihat banyak tempelan, belum lagi kamar mandi yang hanya beratap terpal biru, dan genteng yang ditutupi dengan terpal biru. Sekarang, saat hujan deras seperti ini, rumah yang dibilang oleh Sifa 'nyaman' itu malah bocor dimana-mana.
Sifa menarik kursi untuk Abash, agar bosnya itu bisa duduk. "Duduk dulu , Pak."
Abash pun mendarat bokongnya di kursi yang disediakan oleh Sifa.
"Bapak pasti mikirnya kenapa saya bisa merasa nyaman dengan keadaan rumah seperti ini! iya kan?"
Abash menganggukkan kepalanya, tak lupa ia melipat kedua tangannya di atas dada karena mulai merasakan hawa dingin.
"Rasa nyaman itu didapat karena ada sebuah kenangan di dalamnya. Seburuk-buruk apa pun tempat yang memiliki kenangan, maka orang tersebut gak akan mudah untuk melepaskannya." SIfa menarik napasnya dan membuangnya secara pelan. "Dan rumah ini memiliki banyak kenangan untuk saya, jadi apa pun kondisi rumah ini, saya akan tetap bertahan."
Abash menatap Sifa tanpa berkedip, begitu pun dengan Sifa yang seolah tatapannya terkunci oleh Abash. Tak ada jawaban apa pun yang keluar dari mulut Abash.
Hening ...
Hanya terdengar suara gemericik hujan dan tetesan air yang bocor. Sifa tersentak dan memutuskan pandangan saat kakinya terasa dialiri oleh air yang berasal dari kamarnya.
Cepat Sifa membuka tirai kamarnya dan menemukan jika kamarnya yang tak pernah bocor, kali ini juga ikut bocor. Sifa memandang kasur tuanya yang telah basah oleh derasnya air yangbocor.
"Oh, ya ampun." Sifa menghela napas lelah beserta usapan diwajahnya. Satu-satunya tempat yang paling aman dari kebocoran saat ini juga ikut dibasahi air.
Abash yang melihat gerakan refleks Sfia pun berdiri dan ikut menghampiri Sifa di depan pintu kamarnya.
Sekilas, mata Abash langsung meneliti isi kamar Sifa. Terlihat rapi, walaupun barang-barang yang ada didalam kamar tersebut terlihat sduah tua.
Taka da alat elektronik di dalam kamar Sifa, bahkan di ruang tamunya saat ini pun juga tak ada televisi. Abash seolah mendapatkan jawaban dari ketidaktahuan Sifa tentang dirinya dan juga sang papa.
"Bonekaku," lirih Sifa dan berjalan cepat karena ingin mengambil boneka yang berada di atas tempat tidur.
Namun, karena tak berhati-hati, kaki Sifa tergelincir dan membuat tubuhnya hampir jatuh.
Ingat, hampir jatuh. Jika saja Abash tak cepat menangkap tubuh Sifa.
"Hati-hati," ujar Abash sambil membantu Sifa berdiri tegak.
"Akkh ... Ssst ..." Sifa merasa nyeri pada pergelangan kakinya.
Abash langsung saja menggendong Sifa ala bridal style.
"Eeh, saya bi-bisa jalan sendiri, Pak." ujar Sifa dengan gugup.
"Biar kaki kamu makin parah gitu?" Abash pun melangkah keluar kamar, namun langkahnya terhenti saat Sifa menyebut kata boneka.
Abash mengerti, bos dari Sifa itu pun berbalik dan menurunkan Sifa agar bisa mengambil bonekanya, kemudian Abash kembali menggendong Sifa ala bridal style dan membawanya keluar kamar.
Abash dudukkan Sifa di kursi yang tadi sempat dia duduki. Abash berjongkok dihadapan Sifa dan melihat pergelangan kaki Sifa.
"Aaww, sakit, Pak." ujar SIfa yang terdengar seperti rengekan.
Abash menaikkan pandangannya menatap Sifa, siapa yang menyangka jika cewek tangguh seperti Sifa tak bisa menahan rasa sakit.
"Tahan, ini hanya sakit sedikit."
"Iya, tapi tetap aja kan sakit," rengek Sifa tanpa sadar.
Abash menundukkan kepalanya dan tersenyum geli melihat wajah Sifa yang sedang ngambek.
"Pelan-pelan," ujar Sifa menepis tangan Abash yang belum juga sampai dipergelangan kakinya.
Abash menaikkan kembali pandangannya dan menatap Sifa dengan tajam.
"Kamu diem dulu. Peluk aja bonekanya dengan erat," kesal Abash akhirnya karena Sifa terus saja menepis tangannya yang ingin memijit kaki gadis itu.
Sifa memeluk erat boneka kesayangannya, tak lupa ia memejamkan matanya untuk menahan rasa sakitnya.
"Aaaaa ...." Baru saja Abash menyentuh kulit kaki Sifa, tapi gadis itu sudah berteriak histeris seolah Abash telah melakukan kejahatan kepadanya.
"Hei, belum juga di apa-apain, udah main teriak-teriak aja," kesal Abash yang mana membuat Sifa terdiam dan menutup mulutnya.
Sungguh, Sifa sangat takut saat ini melihat tatapan mata yang tajam dari Abash. Bagaikan anak kucing, Sifa memeluk erat bonekanya dan menutup rapat mulutnya.
Tak ingin membuang waktu lama, Abash langsung saja mengurut kaki Sifa sehingga membuat gadis itu kembali berteriak yang disertai dengan tangisan.
"Hiks ... sakit, Bapak kejam banget sih," gerutu Sifa sambil mengusap air matanya.
"Lah, kok saya kejam? Seharusnya kamu bilang terima kasih smaa saya."
"Iya, terima kasih." Sifa memandang kakinya yang masih terasa berdenyut. Ia mengutuk dirinya yang ceroboh sehingga membuat tubuhnya cedera.
Sifa memiliki trauma dengan rasa sakit, apalagi berhubungan dengan tukang urut.
Eh, tapi Abash bukan tukang urut kan, ya? Ah sudahlah, anggap saja begitu.
Abash berdiri dan mengambil dasinya yang berada didalam kantong celananya, kemudian ia kembali berjongkok dihadapan Sifa.
"Ba-bapak mau ngapain lagi?" Tanya Sifa dengan jantung berdebar dan rasa takut yang teramat sangat dalam.
"Saya cuma mau ikat dasi ini ke kaki kamu."
Ingin rasanya Sifa menolak, namun mendengar nada dingin Abash membuat Sifa kincup dan menutup matanya. Sifa benar-benar takut dengan rasa sakit.
"Sudah."
Sifa membuka matanya perlahan, ia menatap kakinya yang sudah terbalut dengan dasi milik Abash.
"Terima kasih, Pak." cicit Sifa sambil mengusap air matanya yang masih didengar oleh Abash.
"Hmm." Abash berdiri dan menatap sekeliling rumah tua dan tak layak huni tersebut.
"Kamu tidur dimana malam ini?" tanya Abash akhirnya yang mengingat jika kamar Sifa pun juga terkena bocor.
Tidur dimana? Sifa sendiri tidak tahu ia harus tidur dimana malam ini. Pilihannya hanya satu, Sifa hanya bisa tidur diatas kursi yang ia duduki saat ini.
\=\= Jangan upa Vote, Like, and komen ya ..
Salam sayang dari ABASH dan ARASH
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 535 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
like like like
2022-05-12
0
Nina Aminah
kok lama upnya thor....
sehat sehat ya thor
2022-01-27
0
Lili Suryani Yahya
Suruh trd di mobil tu 😂😂😂
2022-01-23
0