Tring. Tring.
Dering ponsel diatas nakas seperti kian menggema didalam kamar berukuran 4x4 meter itu. Hania mengerjapkan matanya berusaha meraih kesadarannya dari tidur lelap yang baru dikecapnya. Dia meraih benda tipis diatas nakas yang bunyinya membuatnya harus menarik diri dari alam mimpinya.
"Halo." sapanya sambil melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya.
Berusaha menyesuaikan penglihatan dalam kamarnya yang hanya diterangi cahaya dari luar jendela. Jam 4 dinihari. Dilihatnya layar ponselnya.
"Lisa!? Ini baru jam 4 pagi lo. Ada apa!?" tanyanya agak kesal setelah tahu siapa yang menelponnya pagi buta begitu.
Iya. Hania kesal karena semalam, jam 11 dia baru pulang dari restoran yang dikelolanya. Dan baru bisa terlelap setelah lewat jam 2 dinihari. Entahlah. Terakhir matanya melirik, jam menunjukkan angka 2 tepat. Setelah itu dia tidak ingat lagi.
"Bu Hania, maaf tapi baru saja adiknya Mas Ferry ngabarin kalau Mas Ferry nya sakit dan masuk RS semalem." terang gadis yang disapa Lisa diujung ponsel.
"Sedangkan pagi ini jadwal Mas Ferry Bu." lanjutnya.
"Mba Olin shift sore, pagi ini ngga bisa gantiin karena harus jemput mertuanya ke stasiun, begitu Bu." tambahnya menjelaskan situasinya.
"Maaf." ucapnya begitu dia ingat kalau mengganggu istirahat Hania.
Hania mendengarkan saja Lina yang terus berbicara sambil mengurut pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing. Terbangun karena kaget dan juga kurang tidur. Dia mendesah pelan.
"Ya sudah, pagi ini biar saya aja yang gantiin." putus Hania setelah mengetahui situasinya.
Lisa benar-benar membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Kenapa harus menelponnya sepagi ini?
Tapi dia bersyukur, memiliki Lisa sebagai stafnya di restoran. Lisa selalu bisa diandalkan walau kadang membuatnya kelelahan. Gadis berusia 25 tahun, berkulit sawo matang, berawajah manis ditambah lesung pipinya yang dalam menambah wajahnya semanis gula itu, selalu aktif dan ramah pada siapapun tidak peduli kondisi pribadinya. Senyum manisnya selalu merekah bak bunga matahari. Cerah.
Tugas Lisa sebagai admin restoran sangat membantu Hania mengurus 3 cabang yang dikelolanya. Lina adalah gadis cerdas lulusan manajemen keuangan tapi karena sering nempel pada Hania lama-lama dia menguasai ilmu marketing juga.
Hania memutuskan sambungan telponnya setelah memberi keputusan. Dia berbaring kembali mencoba terlelap.
Tok tok tok.
Suara ketukan dipintu kamar Hania terdengar pelan. Seorang gadis kecil berusia 6 tahun masuk perlahan mendekati ranjang. Matanya yang bundar dengan bulu mata lentiknya mengedip. Rambut curlynya terurai menggantung sebatas pundak. Kulitnya putih bersih. Gadis kecil itu akan terlihat seperti boneka jika dia diam saja.
Tangannya perlahan terulur menarik selimut yang menutupi tubuh Hania sebatas perut. Merasakan ada sentuhan, mata Hania mengerjap. Lalu menoleh kearah kanannya. Tiara. Putri kecilnya sedang menatapnya.
"Mama kok belum bangun?" tanya gadis kecil itu yang kini sudah duduk menghadap Hania.
Hania tersenyum lalu duduk bersandar pada kepala ranjang. Tangannya merentang meminta putri kecilnya memeluknya.
"Iya, maaf ya sayang. Mama kesiangan ya?" tanya Hania begitu putri kecilnya memeluknya.
Tiara menggeleng. Biasanya mamanya yang selalu bangun terlebih dahulu sebelum dirinya. Tapi pagi ini, ketika dia membuka mata, dia merasakan sepi. Tidak terdengar suara mamanya yang selalu membangunkannya sambil menggelitiki dan mengusap kepalanya. Dia bangun sendiri.
"Eh, jam berapa ini ya?" tanya Hania lebih kepada dirinya sendiri, tapi Tiara pun dapat mendengarnya.
"Jam 6 Ma." jawab Tiara yang langsung menoleh ke arah jam dinding.
Keduanya segera beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu.
"Ayo siap-siap biar ngga telat sekolahnya", ajak Hania pada putrinya.
Pagi ini, meski lelah Hania harus tampak ceria. Kemeja merah maroon berlengan tanggung dan celana bahan skinny hitam membalut tubuh langsingnya yang tinggi semampai membuatnya terlihat lebih muda dari usianya yang sudah menginjak 33 tahun itu.
Hania menyiapkan sarapan untuknya dan putri kecilnya. Dia menoleh ketika Tiara berjalan mendekatinya lalu duduk tenang menunggu nasi goreng sosisnya disajikan. Hania melakukan aktifitas pagi itu dengan cepat. Dan harus bergegas mengantar putrinya terlebih dahulu sebelum ke restorannya.
Sebagai pengelola sekaligus chef di restoran yang dikelolanya, dia memiliki tanggung jawab yang besar. Restoran itu bukan miliknya sepenuhnya. Dia hanya penanggung jawab dan memiliki sedikit saham disana. Sang penanam saham adalah sahabat yang sudah menganggapnya sebagai adik.
Berkat kerja kerasnya, bakatnya memasak, dan pengetahuannya tentang marketing, Hania berhasil mengembangkan usaha restoran itu hingga bisa membuka 2 cabang lainnya dibawah bendera yang sama dengan restoran yang dikelolanya. Rasa Sayang.
Kemampuannya meramu bumbu dan bahan makanan menjadi makanan lezat sudah tidak diragukan lagi. Bakat itu sudah menurun dari mendiang ibunya. Membuat restoran itu terkenal dengan berbagai hidangan nusantara yang lezat.
"Ferry sakit apa?" tanyanya pada Lisa yang sudah lebih dulu tiba direstoran.
"Belum tau Bu, adiknya mas Ferry ngga bilang." lapor Lisa yang dibalas anggukan oleh Hania.
Berkecimpung didapur meracik menu andalan restoran benar-benar menguras energi. Pengunjung mulai berdatangan dan kesibukan berlanjut hingga sore menjelang. Seperti itu setiap hari.
"Bu, ada Pak Galih." lapor Anja, salah satu waitres yang bertugas siang itu.
Hania mengangguk. Melanjutkan memberi instruksi pada asisten koki. Lalu meninggalkan area dapur. Hari sudah beranjak sore membuat aktifitas dapur tidak sepadat siang hari.
Seorang lelaki tampan, seusia Hania, berkulit sawo matang, berhidung mancung, bertubuh tinggi atletis, dan masih melajang itu tersenyum manis menyambut Hania.
Baru akan mendudukkan dirinya dikursi, perhatian Hania tersita pada seorang pria tak kalah tampan memasuki restoran. Hania tak berkedip, matanya memanas dan mulai mengembun. Tatapannya tidak teralih. Menatap dengan tajam. Ada rasa sakit menelusup ke dalam hatinya. Dia Ryan. Kepalanya berdenyut. Kenapa dia muncul disini?
Ryan. Dia mantan suami Hania. Lelaki berusia 35 tahun yang lebih memilih mantan kekasihnya itu. Hania memutuskan untuk menerima perpisahan itu karena ternyata diam-diam Ryan masih mencintai mantan kekasihnya dulu dan menjalin hubungan kembali. Sebenarnya, Ryan pernah mencintai Hania hingga lelaki tegap berkulit putih itu bertemu kembali dengan mantannya yang sedang dalam proses perceraian. Sejak itu, rasa cinta pada Hania mulai pupus. Bahkan putri kecil mereka tidak dapat menjadikan alasan untuk mereka tetap bersama.
"Maaf." ucap Ryan lirih kala itu.
"Aku sudah mencoba melupakannya dan tetap berada disisimu, tapi sepertinya aku hanya membohongi diriku." ucap Ryan.
"Aku mencintaimu dan putri kita, tapi aku lebih mencintainya." lanjutnya hati-hati karena tidak ingin menyakiti istri yang pernah dipujanya itu.
Meski Ryan mengungkap kejujurannya dengan hati-hati, tetap saja Hania terluka sangat dalam. Bahkan dia merasakan melayang, kakinya seperti tidak berpijak pada bumi, lemah seperti jeli. Kepalanya pusing. Tapi Hania berusaha tegar. Tanpa kata, Hania berjalan keluar kamar mereka menuju kamar putri mereka. Malam itu, Hania tidak ingin melihat suaminya itu lagi.
5 tahun telah berlalu tapi rasa sakit itu masih terasa nyata. Apalagi lelaki yang menorehkan luka itu berdiri tepat dihadapannya. Yang kini juga tengah menatapnya.
Ryan terkejut melihat mantan istrinya berada ditempat yang sama dengannya dan kini tengah menatapnya dengan tatapan penuh luka. Sama seperti tatapan 5 tahun yang lalu. Dengan cepat Ryan menetralkan keterkejutannya dan berusaha tersenyum pada sang mantan istri. Dia tidak tahu restoran itu milik sang mantan istri.
Galih yang menyadari perubahan ekspresi Hania ikut melihat kearah pandangan Hania. Dia juga terkejut melihat Ryan berdiri disana sambil menatap Hania. Galih merasa ikut sakit melihat Hania yang kembali terluka seperti itu. Bagaimanapun, sebagai seorang sahabat, Galih adalah tempat Hania menumpahkan rasa sakit nya. Galih tahu betul bagaimana hancurnya Hania kala itu.
Tanpa menunggu air mata Hania tumpah sia-sia, Galih mengajak Hania meninggalkan restoran. Berjalan melewati Ryan yang berdiri di pintu masuk restoran, Galih memberi tatapan tak sukanya. Ryan hanya tersenyum masam.
Didalam sebuah mobil SUV berwarna hitam milik Galih, Hania menumpahkan kembali airmata tanda lukanya. Disampingnya Galih duduk tenang sambil mengemudikan mobilnya. Diliriknya jam digital yang menempel pada dashboard mobilnya. Pukul 15.30. Setengah jam lagi Tiara, putri sahabatnya itu akan pulang sekolah. Dia memutar kemudi menuju sekolah Tiara. Sedangkan Hania masih sibuk dengan airmatanya.
"Kita sudah didepan sekolah Tiara Han." ucap Galih lembut setelah mereka tiba disekolah Tiara.
"Jangan sampai Tiara liat kamu nangis gini, dia pasti bakal ikut sedih." lanjut Galih mengingatkan.
Galih sangat menyayangi putri sahabatnya itu. Selama ini, dialah sosok pengganti seorang ayah untuk Tiara. Dialah yang menjadi pelindung Tiara dan sandaran Hania dan putrinya.
Hania menghapus jejak airmata dipipi mulusnya lalu menyapukan bedak dan blush on di wajahnya untuk menutupi wajah sembabnya. Sambil masih nenahan isaknya.
"Aku aja yang keluar." putus Galih.
Dia tidak tega melihat sahabatnya seperti itu. Hania hanya diam melihat Galih berjalan menuju pintu gerbang sekolah Tiara. Tak lama, terlihat Tiara berlari kedalam pelukan Galih dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan. Mungkin rindu karena beberapa minggu yang lalu Galih keluar kota dan sepertinya baru kembali. Melihat pemandangan itu, hati Hania menghangat. Sahabatnya itu selalu membuatnya nyaman dan hangat. Hania mengulum senyum. Kini dia merasa menghangat. Sedihnya lenyap melihat Tiara yang tertawa riang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Suharnik
Sakit tpi tk berdarah😭😭😭😭😭
2022-01-31
0