Cinta Di 2 Hati
"Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Adelia Putri binti Marwan dengan mas kawin uang tunai sebesar seratus ribu rupiah dibayar tunai "ucap Aris mantap dengan satu helaan nafas.
"Sah??"
"Sah!!"
Jingga menangis sejadi - jadinya, bukan karena pria yang mengucapkan ijab itu tidak dicintainya. Sama sekali bukan, Jingga sangat mencintai Aris. Mereka sudah menjalin hubungan sejak dua tahun terakhir.
Pernikahan yang jauh dari impian Jingga. Setidaknya Jingga mendambakan pernikahan out door yang minimal bisa diselenggarakan di kafe miliknya sendiri. Tamu undangan berderet rapi menyambutnya berjalan melewati karpet merah bertabur bunga dengan tatapan iri sekaligus kagum.
Impiannya menggunakan lagu Nothing's Gonna change my love for you sebagai lagu pengiring wedding entrance pupus. Nyatanya tangisan kesedihanlah yang mengiringi pernikahannya sekarang.
Hari ini Jingga menikah di depan Ibunya yang sudah terbujur kaku tak bernyawa. Pakaian hitam dan putih mendominasi para undangan yang menyaksikan pernikahannya. Sebenarnya mereka lebih tepat disebut pentakziah, karena sejatinya mereka datang untuk mengucapkan bela sungkawa.
"Ngga, sudah! khlaskan ibu. Kematian yang dialami Ibu adalah kematian yang diharapkan semua orang." Aris mengucapkan itu seraya memegang pundak Jingga. Perempuan yang kini bisa disebut sebagai istrinya .
Aris benar, bu Laras meninggal dalam kondisi tidur. Tidak sedang sakit, bahkan beliau baru saja menjalankan sholat subuh bersama Jingga.
"Aku hanya mau menumpahkan kesedihan ku sebentar mas. Setelah ini aku janji tidak akan ada lagi tangisan untuk ibu. Jika aku merindukan ibu, cukup aku gelar sajadah, menengadahkan tanganku membaca basmalah memohon kemurahan hati Allah," ucap Jingga, menyeka air mata dengan tisu di genggamannya.
Setelah itu mereka semua langsung mengantarkan jenasah ibu Laras ke peristirahatan terakhirnya .
Jingga duduk bersimpuh menghadap gundukan tanah basah tertutup bunga mawar putih. Pikirannya menerawang saat ibunya secara tiba - tiba meminta Aris menikahinya dua hari yang lalu.
Flashback On
"Ris, ibuk itu kok ya pengen ngeliat Jingga itu menikah terus punya anak yang banyak ya," ucap bu Laras pada Aris tiba - tiba.
"Wajar lah bu, nanti kalau sudah waktunya pasti Jingga bakalan nikah bu. Sama Aris tentunya" jawab Aris, akrab tapi tetap sopan. Kalau boleh jujur Aris juga ingin menikahi Jingga segera. Mereka sudah sama - sama dewasa. Secara ekonomi, Aris bahkan tergolong lebih dari cukup. Aris mempunyai pabrik barecore dan plywood di daerah jawa timur. Hanya saja, orangtuanya tidak setuju hubungannya dengan Jingga.
"Kalau sampai ibu tutup umur kalian belum menikah, Aris mau kan menikahi Jingga sebelum jenazah ibu di kubur? kasihan Jingga di sini tidak ada saudara. Ya karena ibu anak tunggal, ayahnya anak tunggal. Jingga jadi sendiri. Makanya ibu pengen kalau kalian menikah, punya anak yang banyak," pinta bu Laras.
"Ibuk ini ngomong apa sih," sahut Jingga merasa tidak suka dengan obrolan ibunya.
"Aris janji bu. Tapi ibu harus panjang umur, biar nikahnya gak di depan jenazah. Ibu ini aneh - aneh saja, terus malam pertamanya di mana bu kalau nikahnya saja di depan jenazah?" Aris malah balik menanyai bu Laras dengan nada becanda.
"Yang pasti di kamar Ris. Kalau mau aman di kamar ibu," kikik bu Laras.
Flasback off
"Ngga, sudah mau hujan. Kita pulang yuk!" ajak Aris.
"Iya mas" jawab Jingga datar.
Hanya karena tidak ada tangisan mengiris hati, bukan berarti Jingga tidak merasa sedih dan kehilangan ibunya. Jingga hanya bersikap realitis. Jika dengan meronta - ronta membuat ibunya kembali, Jingga dengan senang hati akan melakukannya.
Rumah Jingga tampak lengang, hanya ada satu asisten rumah tangga beserta suami dan anaknya yang juga tinggal di sana. Lingkungan tempat tinggal Jingga cukup tertutup. Mereka memang sudah terbiasa hidup masing - masing. Berinteraksi seperlunya seperti tadi.
Meskipun bukan dari kalangan sangat berada seperti Aris, kehidupan Jingga bisa dikatakan layak. Almarhum Ayah Jingga adalah seorang pensiunan petinggi salah satu perusahaan BUMN.
"Mbak Sri tolong siapin makan siang buat mas Aris sama temennya ya mbak, aku mau mandi sebentar" ucap Jingga pada asisten rumah tangganya.
"Iya mbak... Mbak Jingga juga harus makan, nanti kalau sakit mbak sendiri yang repot" ucap Sri, yang sudah seperti kakak sendiri bagi Jingga.
"Mbak tolong bilang ke mas Wandi ya, setelah ini Jingga minta tolong antar uang sama air mineral ke panti. Di sana mau ada pengajian buat Ibu selama tujuh hari l" pinta Jingga.
Jingga melewati Aris yang sedang mengobrol bersama Evan di ruang tengah. Evan dengan setia menemani Aris dari tadi jam lima pagi begitu dikabari Jingga. Evan juga belum menikah, diantara tiga bersahabat, hanya satu yang sudah menikah dan berada di luar negeri .
"Akhirnya nikah juga. Ngerasain juga yang namanya darah perawan" goda Evan.
"Nggak sekarang lah bro, aku juga ngerti situasi," jawab Aris masih dengan memainkan ponselnya.
"Terus gimana? mami papi gak di kasih tau?" tanya Evan.
"Belum lah, biar jadi rahasia kita dulu" jawab Aris, mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dua tahun menjalin hubungan dengan Jingga, tapi belum mendapatkan restu dari kedua orangtuanya.
"Masalah mami papi apa sih bro? Jingga tuh baik, mandiri, pekerja keras dan gak rewel juga. Soal materi? Memang mau sekaya apa lagi kalian? mau menyatukan dua kekayaan keluarga ? Siapa yang mau nikmatin? prestige (gengsi)? Jingga jelas juga orangtuanya, jelas juga gak pernah morotin kamu. Malah kita yang sering dapat gratisan di kafenya" cerocos Evan membuat Aris sedikit pusing.
"Sampai segede ini, aku belum ada nyali buat nentang mami papi. Apalagi mami ngancem bakal hancurin kafe Jingga kalau aku nekat" ucap Aris, kekhawatiran kini jelas nampak di wajahnya. Seharusnya dihari pertama pernikahan wajah kedua mempelai berseri - seri, tapi tidak dengan Jingga dan Aris yang sama - sama menyimpan kesedihan.
"Aku harus balik ngambil beberapa baju, temenin ya! Aku gak mau, mami papi curiga " pinta Aris .
"Iya aku temenin" jawab Evan.
Jingga menuruni anak tangga, terlihat segar dengan dress terusan selutut warna mustard bermotif floral, rambutnya diikat tinggi seperti ekor kuda memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus, tangannya membawa amplop coklat yang kemungkinan besar berisi uang setebal 10 cm.
"Mas Aris, mas Evan kita makan siang dulu yuk!" ajak Jingga.
"Iya Ngga!" jawab Aris dan Evan kompak .
"Kalian nih dua tahun pacaran tapi kaku banget kayak kanebo kering. Ada panggilan sayang kek biar beda dari yang lain. Jangan - jangan selama ini kalian pacaran cuman sampai pipi doang," tebak Evan dengan suara berbisik. Evan tau betul Jingga adalah cinta pertama Aris dan Aris sangat tidak romantis, pernyataan cintanya saja tidak basa basi. Tidak ada bunga, coklat apalagi cincin. Gratisan pula di kafe Jingga.
"Enggak salah. Tuh bibir masih perawan," jawab Aris suaranya sangat pelan.
Begitulah Aris susah terbuka dengan orang lain kecuali Evan dan satu sahabat mereka lainnya yang masih berada di luar negeri.
Sampai di meja makan ,ponsel Aris berdering beberapa kali. Awalnya ingin mengabaikan tapi akhirnya diterima juga.
"Halo iya mi," sapa Aris setelah menggeser tombol berwarna hijau di layar ponselnya .
"....................................... "
Aris tampak berfikir sejenak .Wajahnya terlihat sangat bingung. Sekilas matanya melirik ke arah Jingga. Lalu pandangannya beralih ke Evan.
"Haruskah aku meminta tolong Evan?" batin Aris dalam hati.
" ...................................... "omelan suara di seberang mengejutkan lamunan Aris.
"Iya mi ... iya." Aris menjawab dengan tidak bersemangat. Sesaat kemudian dia memutus sambungan telponnya.
"Ada apa mas?" Jingga menanyakan apa yang terjadi dengan suaminya yang mendadak terlihat letih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
𝕾𝖆𝖒𝖟𝖆𝖍𝖎𝖗
Sambil nungguin UPnya sebelah mak mampir dimari. Bagus ceritanya.. mau baca dan silent ya..
2023-09-29
0
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
awal yg menarik💗
2023-08-31
0
N⃟ʲᵃᵃ࿐𝕴𝖘𝖒𝖎ⁱˢˢ༄༅⃟𝐐
@D᭕𝖛𝖎𖥡²¹࿐N⃟ʲᵃᵃ࿐ novel ini yang mau dibikin dubbing?
2023-01-15
1