Selir Rahasia CEO Casanova

Selir Rahasia CEO Casanova

Awal

Bruk...

Tangannya terasa lemas, bahkan napasnya tercekat. Air mata sudah jatuh tak tertahankan mengaliri pipi mulus milik seorang wanita berumur 23 tahun tersebut.

Lututnya perlahan terbentur ke lantai, kepalanya bersimpuh di samping sebuah tempat yang diatasnya sudah terdapat seseorang dengan kain yang menutupi kaki hingga kepalanya.

Perlahan ia mengangkat kepalanya, tangannya terulur untuk menyibakkan kain yang menutupi tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Sungguh, itu adalah sebuah patah hati yang sangat dalam ketika wajah tua itu terlihat pucat dengan tiadanya napas yang berhembus lagi.

"Ayah!" Wanita itu memeluk jasad sang ayah, diiringi tangis yang meraung-raung. Beberapa orang mencoba menghentikan tangisnya.

"Amira, sudah! Ayahmu sudah meninggal!"

Ya, Amira sangat terkejut ketika ibu tirinya meneleponnya dan menyuruhnya untuk cepat-cepat pulang. Tak ia duga bahwa kepulangannya adalah untuk menemui ayahnya untuk terakhir kalinya.

Rasanya masih tak percaya, bahwa kini Amira tak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Ia sudah kehilangan ibunya sejak saat masih kecil, kini saat Mira-Panggilan kesayangan ayahnya- masih belum mewujudkan mimpi sang ayah, malah ia harus menyaksikan ayahnya berpulang lebih dulu untuk selamanya.

"Jika sudah tidak ada yang ditunggu lagi, boleh kami memulai proses pemakamannya?" Tanya seorang pria yang dikenal sebagai pengurus pemakaman jenazah.

"Ya, lagipula Mira sudah datang." Wanita yang mengelus punggung Mira merangkulnya, membawa putri dari pria yang akan di makamkan itu ke dalam kamar.

Namun Mira menolak, ia kembali berlari ke arah jenazah ayahnya yang baru akan di angkat oleh beberapa pria.

"Tunggu!" Mira menepis semua tangan yang akan mengangkat tubuh sang ayah.

"Aku tidak akan biarkan kalian membawa ayahku! Dia masih hidup! Dia hanya sedang tidur!" Lagi, ia menepis tangan yang berusaha membawa tubuh sang ayah.

"Mira, biarkan mereka mengurus ayahmu! Sekarang kamu ikut ibu!"

Mira akhirnya luluh, menuruti dan mengikuti kemana ibu tirinya membawanya. Hingga ia sampai di kamar, dia menghidupkan lampu kamar karena penerangan yang kurang di kamar tersebut.

"Sekarang kamu ganti baju, Mir! Setelah itu kita harus bicara hal penting." Perintah Andia-Ibu Tiri Mira- sambil tersenyum hangat pada Mira.

Pekaman berlangsung begitu cepat, sesuai dengan perintah dari Susan, ibu tiri Mira.

Sebelum meninggalkan pemakaman, Mira menatap pusara makam ayahnya dengan mata yang sembab dan wajah sendu. Ia masih belum percaya bahwa ayahnya sudah tiada dan kini ia sendiri di dunia ini.

Mengapa ayah meninggalkanku seperti ini? Bahkan mimpiku masih belum tercapai! Bahkan aku masih butuh ayah dalam hidupku!

Setelah itu, semua berkumpul di ruang keluarga. Tak lupa telah hadir dua orang pria berpakaian formal, keduanya duduk dengan masing-masing memegang sebuah berkas.

"Amira Putri, disini tertulis bahwa anda mendapatkan 70% saham perusahaan dan berhak atas rumah juga uang senilai 7 milyar rupiah. Tapi," pria yang Mira kenali sebagai pengacara itu tak melanjutkan ucapannya. Matanya malah melirik kesana kemari, pandangannya tertuju pada Bu Susan. Mira mengikuti arah pandang pengacara tersebut.

"Tapi apa?"

Semua menatap pengacara dengan mimik wajah penasaran.

"Nona Amira harus menandatangani ini dulu sebagai bukti bahwa anda menerima warisan dari ayah anda Nona." Ucap pengacara itu sambil memberikan sebuah kertas kosong.

Mira mengerutkan dahinya, apa yang harus ia tanda tangani?

Seolah mengerti dengan kebingungan Mira, pengacara itu kembali membuka suara.

"Begini, Nona, saya belum sempat menulis apa yang seharusnya tertulis di kertas itu. Jadi setelah anda tanda tangani saya akan menulisnya."

Mira mengangguk, kemudian menandatangani kertas kosong itu.

Pengacara lainnya menatap pengacara itu dengan tatapan bingung. Lalu membuka berkas yang tadi di pegangnya dan membacakannya.

"Menurut apa yang ditulis oleh mendiang tuan Hadi, Bu Susan dan anak Bu Susan berhak atas sisa dari yang diberikan pada putri kandungnya, Nona Amira. Berhak juga menempati rumah yang diberikan selama Nona Amira belum berkeluarga."

Sebuah senyum kecut terulas di bibir Susan, begitu juga dengan Namika, putrinya dari suami terdahulunya.

"Warisan itu akan diberikan dengan syarat Bu Susan harus mengurus Nona Amira dengan baik, serta bersikap baik padanya." Sambung pengacara itu, menambah senyum kecut di wajah Susan dan Namika.

Setelah pembacaan hak warisan selesai, Susan mengantarkan kedua pengacara itu keluar. Salah satunya tidak langsung pergi, melainkan berbicara dengannya terlebih dahulu.

"Tenang saja, semua akan menjadi milikmu!" Ucap pengacara itu sambil menunjukan senyum meyakinkan pada Susan.

Empat hari telah berlalu semenjak kepergian ayahnya Mira, hari ini Mira berencana untuk pergi keluar. Tentunya ia meminta izin terlebih dahulu pada Susan, mengingat bahwa ibu sambungnya itu memiliki jasa padanya.

"Ma, aku mau pergi keluar, boleh kan?" Susan yang sedang duduk santai di sofa ruang keluarga menoleh sekilas, hingga pandangannga lurus kembali pada televisi yang sejak tadi menjadi tontonannya.

"Ya, Mira. Jangan pulang terlalu malam!"

Mira bergegas pergi setelah mendapat izin dari ibu sambungnya tersebut dengan perasaan yang hangat.

Dalam perjalanan keluar yang tujuannya belum pasti, Mira membuka ponselnya dan bermaksud menghubungi seseorang.

"Ah, lebih baik aku memberikan kejutan!" Ia mengurungkan niatnya, kembali memasukan dompetnya pada tas kecil yang dibawanya.

Mobil berhenti di depan sebuah gedung bertingkat tinggi yang lebih dikenal dengan nama apartemen, Mira melangkahkan kakinya masuk ke gedung itu. Menaiki lift dan mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tasnya.

Hingga ia berhenti tepat di lantai paling ujung gedung apartemen itu.

Di depan sebuah pintu, Mira sedikit ragu untuk membuka pintu itu. Ia malah sedikit terkejut ketika memasukan anak kunci itu karena pintu tidak terkunci.

"Eh, apa dia tidak ke kantor?" Tanyanya pada dirinya sendiri diliputi kebingungan kecil.

Tangannya gemetar ketika menutup pintu utama apartemen tersebut. Kakinya tiba-tiba terasa lemas untuk melangkah di ruangan yang gelap gulita tersebut.

Mira melangkah menuju arah jendela, ia terlihat sudah hapal dengan arah-arah ruangan itu. Tirai jendela terbuka, membuat ruangan itu tak lagi gelap.

"Pintunya tidak terkunci, tapi kenapa tidak ada siapapun disini? Bahkan jendelanya ditutup." Gumam Mira sambil melangkahkan kaki menuju sebuah meja dengan buku yang berserakan diatasnya.

Ia membereskannya, tak menemukan keanehan.

"Apa dia tidur?" Mira terus bergumam, dengan kali ini melangkahkan kaki menuju ke sebuah pintu berwarna coklat muda yang tertutup rapat.

Sebelum membukanya, Mira menempelkan telinganya ke pintu itu. Hingga ia terkekeh sendiri.

"Mira, Mira! Kamar ini kan kedap suara!" Ujarnya sambil menepuk keningnya.

Tangannya terulur meraih gagang pintu, lalu memutarnya perlahan agar tidak membuat suara yang dapat memicu perhatian orang didalamnya.

Krek

Pintu sedikit demi sedikit terbuka, menampilkan ruang kamar yang gelap gulita, persis seperti ruangan utama saat Mira memasukinya tadi.

Namun bedanya kali ini Mira mendengar sebuah suara yang sangat mengganggu telinganya, bahkan Mira mengenali kedua suara itu. Ia menghidupkan lampu, tak butuh waktu lama untuk menemukannya.

"Josh, kamu selingkuh?!"

-

-

-

-

-

Terpopuler

Comments

Sinta Cinta

Sinta Cinta

nyimak lah

2022-03-24

0

Sinta Cinta

Sinta Cinta

😁

2022-03-24

0

Alfia

Alfia

ibu tirinya Susan atau Andia🤔

2022-01-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!