"Takdir paling menyedihkan dari seorang anak, bukan menjadi yatim piatu di usia muda, tapi memiliki orang tua yang menganggapnya tak ada. Saat kecil terlihat seperti mainan dan ketika besar berperan sebagai pewaris keturunan. "
~ Huwaida Ayduha ~
❤ Happy reading ❤
***
"Kita mau kemana?" Ida mengulang pertanyaan lagi saat di dalam mobil yang melaju entah kemana bersama Asma di belakang kemudi dengan sorot mata penuh arti.
"Ayolah Asma," keluh Ida sembari mengerucutkan bibirnya. Mereka baru saja pulang kampus dan perut Ida sedari tadi berbunyi minta di isi.
"Kita akan ke restoran langgananku." Asma tersenyum di balik khimarnya ketika melihat tatapan Ida berbinar.
"Mobil ini ...."
"Hadiah ulang tahunku dari Papa," potong Ida cepat sembari tersenyum getir. Asma merasa nada suara Ida gemetar. Itu sebabnya ia tak lagi menanggapi.
"Enak juga yah, punya supir kek gini," ucap Ida terkekeh.
"Ish jahat banget." Asma berucap dengan gemas. Lalu kemudian mereka tertawa. Kedua wanita ini melanjutkan obrolan ringan yang di selingi candaan. Hingga mobil Ida yang di setir Asma ini berhenti di depan sebuah restoran yang terlihat berkelas.
Asma dan Ida kemudian masuk dengan jalan bersisian. Sebelum masuk, tangan Ida mencengkram lengan Asma.
"Kamu yakin makan di sini? cadar kamu ...." Asma menanggapi ucapan Ida dengan tersenyum. Lalu memindahkan tangan Ida ke genggamannya.
Saat masuk, Ida menatap takjub seluruh restoran ini. Gaya modern dengan sedikit sentuhan klasik di bagian pojok ruangan. Desain restoran ini terlihat elegan dan berkelas. Tangan Asma lalu mengiringnya ke sebuah ruangan kecil.
"Pantesan milih makan di sini." Ida kemudian memperhatikan sekitarnya. Sebuah ruangan yang kecil dengan dinding warna maroon serta pot kecil yang menghiasi setiap sudut ruangan. Ia dan Asma duduk berhadapan dengan meja sebagai penghalang.
"Baru tau aku, ada restoran kayak gini." Ida menatap Asma yang sudah melepas khimarnya. Lalu terdengar sebuah ketukan dan suara wanita mengucap salam. Kemudian seorang wanita berpakaian gamis cokelat masuk. Ternyata wanita itu adalah pelayan di sini. Ida hanya melongo saat Asma menyebutkan hidangan apa yang ia inginkan.
"Kamu mau apa Da?"
"Sama kayak kamu aja."
Wanita itu kemudian keluar, Ida masih tak menyangka ada restoran seperti tempat ia duduk sekarang.
"Aku masih gak nyangka lho, ada orang yang kepikiran bikin restoran gini." Asma menanggapi ucapan Ida dengan tersenyum penuh arti.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya yang memakai gamis hitam dengan cadar masuk dan seorang pelayan yang membawa nampan makanan pesanan mereka.
"Kok gak bilang Neng mau kesini?" tanya wanita itu sembari tersenyum ramah. Meski tertutup cadar tapi terlihat dari kedua matanya yang sipit menjadi tak terlihat. Ida tersenyum geli.
"Asma cuma mau makan sama temen Mbak," sahut Asma sopan dengan senyuman.
"Ya sudah kalau begitu, Mbak tinggal dulu ya." wanita itu melirik pada Ida lalu mengucapkan salam. Kedua wanita beda usia tersebut keluar dari ruangan itu.
"Itu yang punya tempat?" Asma mengangguk.
"Sopan banget lagi, kalau kesini salam dulu."
"Karena ini kan ruangan privasi. Sudah seharusnya mereka begitu."
Mereka kemudian menyantap makan siang mereka dengan lahap. Tak lupa sebelumnya mengucapkan doa sebelum makan. Kemudian Asma menekan sebuah tombol di dekat jendela yang ada di sana. Ida terperangah baru melihat ada tombol di sana. Seorang pelayan kembali masuk. Warna gamisnya sama tapi orangnya berbeda.
"Semuanya berapa?" tanya Asma.
"Kata Mbak Ina, mba Asma gak perlu bayar karena ini 'kan restoran Mbak?" alis pelayan itu terangkat. Wajahnya nampak kebingungan. Asma melirik Ida yang terkejut. Lalu menatap Asma dengan kesal.
Pada akhirnya Asma tetap membayar, kemudian menatap Ida dengan tatapan menggoda.
"Nyebelin tau gak! Bohong 'kan gak boleh." Ida menatap Asma dengan wajah yang di tekuk. Tawa Asma meledak, lalu ia menangkup mulutnya. Menyadari bahwa tak boleh tertawa terbahak-bahak. Aksinya membuat Ida ikut tertawa.
"Awal mendirikan ini agak pesimis sih, tapi ternyata memang banyak banget wanita yang kayak aku merasa lebih ringan memakai cadar karena restoran ini." Ida manggut-manggut. Ia memang melihat begitu banyak pelanggan di luar ruangan. Yap, di luar memang seperti restoran pada biasanya. Tapi ruangan privasi begini hanya beberapa.
Asma dan Ida kemudian melangkah keluar restoran.
Brukk!
Asma menunduk dalam.
"Afwan ukhti," ucap seorang pemuda yang baru menabrak Asma.
"Na'am Akhy," sahut Asma lalu melangkah cepat sembari menarik tangan Ida. Tubuh Ida seperti tertegun.
Ida kemudian masuk dan duduk di belakang kemudi. Ia memutuskan untuk membawa Asma kerumahnya.
"Kamu kenapa Da? Kayak kesambet gitu." Asma menatap Ida dengan heran.
"Kamu gak liat sih. Yang nabrak kita tadi Ustad Dhika." mata Ida berbinar dengan bibir yang terangkat sempurna. Ida lalu menginjak pedal gas dan menyetir dengan kecepatan sedang.
"Ustad Dhika itu siapa? Calon suami kamu?" Mata biru Asma mengerjap polos.
"Astaghfirullah Asma! Beliau itu Ustad famous. Beliau juga punya pesantren." Ida cukup salah tingkah dengan pertanyaan Asma? Calon suami? Ida akan sangat sangat bersyukur jika memang jodohnya Ustad tampan seperti Dhika.
"Ah masa?"
"Pesantren itu emang punya Abi-nya sih, tapi dia beneran Ustad famous. Coba aja liat channel youtub*enya."
Asma yang penasaran kemudian membuka channel yang di sebutkan Ida. Ia membuka satu video menarik tentang menjaga aurat. Asma kemudian tersenyum dan mengakui bahwa Ustad ini tampan dan caranya menyampaikan dakwah terdengar nyaman dan tidak menggurui.
"Gimana? Baguskan?" Asma mengangguk lalu tak beberapa lama mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam sebuah kawasan rumah yang besar dan berada di komplek elit.
"Ini rumah kamu Da?" Ida mengangguk sembari tersenyum.
"Ayo masuk, di rumah cuma ada asisten rumah tangga aku."
Asma dan Ida kemudian turun dari mobil dan di sambut wanita paruh baya. Ida memanggilnya Bi Ayu. Asma dan Ida lalu duduk di sofa ruang tamu di temani beberapa kudapan manis dan jus jeruk dari bi Ayu
Sesaat mereka hanya terlibat obrolan ringan. Hingga mata Asma menangkap sebuah foto besar di ruang tamu itu. Seorang gadis kecil yang berumur sekitar 5 tahun dan seorang lelaki tampan yang menggendongnya. Wanita cantik di sebelahnya memandang kedua orang itu dengan penuh cinta. Mata Asma kemudian berkaca-kaca. Ia tau gadis kecil itu Ida dan tebersit rasa iri yang luar biasa.
"Itu Papa sama Mama." nada riang Ida begitu terdengar indah di telinga Asma.
"Trus sekarang mereka di mana?" Asma menatap Ida.
"Papa lagi di London dan Mama, aku gak tau. Mama sama papa cerai waktu umurku 13 tahun." mata Ida terlihat berkaca-kaca.
"Maaf Da," ucap Asma dengan nada pelan.
"Aku sih menghargai keputusan mereka, sebenarnya mereka hanya bercerai tapi seperti mati dalam kehidupanku." Asma terkesiap.
"Ida, istighfar ...." Asma menggenggam tangan Ida.
"Kamu gak bakalan ngerti Asma," ucap Ida sembari tersenyum getir.
"Takdir paling menyedihkan dari seorang anak, bukan menjadi yatim piatu di usia muda, tapi memiliki orang tua yang menganggapnya tak ada. Saat kecil terlihat seperti mainan dan ketika besar berperan sebagai pewaris keturunan." Satu tetes bening keluar dari sudut matanya. Ida menghembuskan napas kasar.
Bersambung
Tap jempolnya yaa❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Kendarsih Keken
👍👍👍💜💜💜
2022-09-20
0
Tarie Maryadi
maaf mau nanya, bagaimana ya hukumnya kita membuka usaha dgn menggunakan uang haram? apa uang yg di makan para pegawai jg termasuk di dalamnya?
2021-03-29
0
lestari utami
terima ksh untuk novel sebagus ini...sarat ilmu alur bagus nggk dibuat"
2021-03-29
0