Tiba di kontrakannya, Jayden melihat Delia tengah sibuk dengan buku dan pulpennya. Entah apa yang membuatnya begitu fokus hingga tidak menyadari kedatangan Jayden.
Delia baru menyadari keberadaan Jayden ketika bayangan Jayden menutupi arah pandangnya. Ia menoleh dan begitu terkejut mendapati Jayden di sana.
“Jay, kapan kamu datang?” tanya Delia seraya berdiri dan mendekat ke arah Jayden. Ia lalu mengalungkan kedua tangannya pada leher Jayden.
Jayden menyambutnya. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Delia. “Baru saja,” ucap Jayden seraya mendaratkan satu buah kecupan di bibir Delia. “Apa yang sedang kamu lakukan?”
Delia mengambil bukunya, lalu menunjukkannya kepada Jayden. “Aku membuat daftar apa saja yang akan kita beli untuk rumah baru kita.”
Deg. Raut muka Jayden berubah seketika.
Delia tidak menyadari perubahan wajah Jayden. Ia terus saja membaca coretan penanya satu persatu. Ia baru berhenti ketika sudah pada baris terakhir. “Gimana menurut kamu Jay?”
“Hemmm ... Nanti saja ngobrolin itu.” Jayden menutup paksa buku Delia. “bersiaplah, kita jalan-jalan.”
“Ke mana?”
“Nanti juga kamu tahu.”
Tanpa banyak bertanya, Delia segera bersiap untuk ikut bersama dengan Jayden. Karena hari menjelang gelap, Delia mengenakan sweater dan celana jeans. Sedangkan rambutnya ia biarkan tergerai. Polesan lipstik tipis berwarna nude ia aplikasikan di bibirnya.
Jayden memacu sepeda motornya keluar dari gang kontrakannya. Ia melaju ke arah Jakarta bagian utara.
Tidak seperti biasanya, Jayden lebih banyak diam. Ia menikmati pelukan hangat Delia di punggungnya.
40 menit berkendara, mereka sampai di tempat tujuan, pantai Ancol. Tanpa banyak berbicara, Jayden mengajak Delia masuk lebih dalam usai memarkirkan kendaraannya, dan membayar tiket masuk. Masker dan kaca mata hitam belum ia lepaskan. Kali ini ia benar-benar tidak mau di ganggu.
Jayden menggandeng tangan Delia menyusuri area pantai. Bersiap menyambut sunset yang sebentar lagi akan menampakkan keindahannya. Mereka duduk di atas pasir. Membiarkan kaki mereka sesekali terkena sapuan ombak. Ia kemudian membuka kaca mata dan maskernya. Menyimpannya di saku jaketnya.
Delia mendekat ke arah Jayden dan menyenderkan kepalanya pada pundak suaminya yang duduk di sebelah kanannya tersebut. Pandangan mereka tertuju ke arah yang sama, sunset.
“Katakan Jay, ada masalah apa?” tanya Delia lirih.
Jayden memejamkan mata, merasakan tenggorokannya tercekat untuk sekedar berucap.
“Kita selesaikan sama-sama Jay, semua masalah pasti ada jalan keluarnya,” ucap Delia.
Jayden membawa tangan kanan Delia dengan tangan kirinya. Menautkan jari-jarinya di antara jari-jari Delia. Mendekatkannya ke arah wajahnya dan menciuminya lama.
“Aku bahagia berada di sini saat ini, Del,” ucap Jayden, “suara ombak begitu menenangkan,” lanjutnya.
“Jay ....”
“Aku mencintai kamu Del, sangat mencintai kamu.”
Delia menarik tangannya dari genggaman Jayden, lalu membalik tubuh Jayden agar menghadap ke arahnya, “katakan Jay, ada masalah apa?” desak Delia.
“Semuanya di luar kendali Del, a-aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.” Jayden menunduk, enggan bertatapan langsung dengan mata Delia.
“Jay! Tatap mata aku!”
Mendengar nada suara Delia meninggi, dengan terpaksa Jayden menatap bola mata Delia. Pantulan air laut yang diterangi cahaya bulan ia lihat di sana. Begitu indah.
“Sekarang jujur sama aku! Ada apa?”
Jayden diam.
“Jay?” Delia mendesak.
“Dave meminta aku untuk menikahi Bintang.”
Satu detik, dua detik, tiga detik, tidak ada reaksi dari Delia.
“Del, Dave meminta aku untuk menikahi Bintang.”
Delia mengalihkan pandangannya ke arah air laut. Menulis kata acak di atas pasir dengan jari telunjuknya. Kali ini, Delia yang tidak mau bertatapan dengan Jayden.
“Dave menyalahkan kecerobohanku karena membeli rumah untuk kamu. Dia meminta aku untuk klarifikasi, kalau rumah yang aku beli itu untuk Bintang. Aku sudah menolak pernikahan itu dengan mengatakan kalau aku sudah menikah dengan kamu, Del. Tapi Dave malah menggunakan itu untuk mengancamku. Dia bilang akan memenjarakan aku dengan kasus penipuan kalau aku tidak mau menikahi Bintang.”
“Lalu kamu menyetujuinya?” tanya Delia masih menatap ke arah laut.
“Aku tidak punya pilihan lain Del.”
“Tentu saja, sebagai laki-laki normal, kamu akan memilih menikah dengan Bintang daripada dipenjara, bukan?”
“Sebenarnya yang ada di pikiranku saat itu adalah kamu, Del. Kalau aku sampai dipenjara, bagaimana dengan kamu? Kamu keluar dari rumah orang tua kamu demi aku. Papa kamu akan mempunyai alasan kuat untuk membawa kamu dariku jika sampai ia tahu kalau aku dipenjara. Aku tidak mau kehilangan kamu, Del.”
“Kapan kalian akan menikah?” tanya Delia.
“Dave menyarankan sebelum launching album terbaru kami, sekitar bulan November,” jawab Jayden.
“November? Hemmm ... Bagaimana kalau tanggal enam?”
“Del, itu hari pernikahan kita!”
“Aku tahu. Buatkan pesta yang mewah untuk anniversary kita, Jay.”
Jayden melihat Delia berdiri, lalu berjalan menjauh darinya. Menendang-nendang pasir dengan kaki telanjangnya.
Benarkah ia baik-baik saja? Batin Jayden.
Tanggapan Delia sangat di luar ekspektasinya. Ia pikir, Delia akan menangis histeris seraya memukulnya. Tapi tidak! Ada apa ini?
Jadi ini rencana kamu Bintang? Mengambil suamiku? Batin Delia.
Pagi tadi, Delia menonton siaran ulang wawancara Jayden dan Bintang di acara Black And White. Delia bisa melihat dengan jelas, saat Jayden mengatakan cinta, Bintang tersipu. Pipinya merona. Bintang jatuh cinta pada Jayden! Padahal Delia tahu betul kalau ucapan cinta itu untuknya.
Saat Jayden mengatakan pertama kali bertemu di cafe, Delia tahu, Jayden sedang berbicara tentangnya. Tapi Delia merasa, Bintang mulai main hati.
Saat bertemu dengannya di acara konser amal itu pun, Bintang menunjukkan aura tidak bersahabat. Delia tahu ini akan terjadi, tapi ia juga tidak menyangka akan secepat ini.
“Kamu ingin permainan Bintang? Akan aku tunjukkan kemampuanku.” Delia bermonolog.
Dengan menenteng sepatu miliknya dan juga milik Delia, Jayden berlari mengejar istrinya tersebut. Tidak lupa ia mengenakan kembali maskernya. Kali ini tanpa kaca mata hitam, karena hari mulai gelap, dan itu akan menyulitkannya.
“Del, kamu baik-baik saja?” tanya Jayden khawatir.
“Aku sedikit kedinginan Jay, bagaimana kalau kita pulang saja? Rasanya berada di tempat tidur kita lebih hangat dari pada di sini.” Delia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan berbisik.
Jayden berhenti melangkah. Kemudian ia menyunggingkan senyumannya dan kembali berjalan mengiringi langkah Delia. Ia merangkul bahu Delia dengan posesif. Seolah ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa wanita di sampingnya ini adalah miliknya.
Delia membalas perlakuan Jayden dengan memeluk pinggang suaminya tersebut. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke tempat kendaraan mereka terparkir.
“Mau makan dulu atau langsung pulang?” tanya Jayden.
“Makan dulu, kamu harus ekstra bertenaga malam ini.”
“Hahahaha ....” Jayden tertawa puas mendengar candaan Delia. “Baiklah nyonya Jayden, saya siap melayani anda.”
Delia mencubit perut Jayden.
“Mau makan apa?” tanya Jayden seraya memakaikan helm pada kepala Delia.
“Pecel lele,” jawab Delia.
“Ayolah Del, aku sudah banyak uang. Aku bisa mengajak kamu makan di restoran mewah.”
Delia menggeleng, “aku mau makan pecel lele yang waktu itu aku ulang tahun.”
Jayden terdiam, kemudian tersenyum. Kini ia sadar, hati Delia tidak baik-baik saja. Selebar apa pun ia berusaha tersenyum, ia tahu, hatinya sedang menangis. Ia tahu, Delia ingin makan di tempat itu bukan karena makanannya, tapi karena kenangannya.
Bagi Delia, ancaman yang Dave layangkan sangat tidak masuk akal. Delia merasa Jayden sedang dibodohi oleh Dave dan Bintang. Namun begitu, itu hanya praduganya saja. Ia juga tidak mungkin memberitahukannya kepada Jayden, karena mungkin saja Jayden akan merasa tersinggung kalau Delia bilang ia bodoh.
Perjalanan hening. Baik Jayden maupun Delia sama-sama terdiam, berkutat dengan pikiran mereka masing-masing. Sampai di tempat tujuan, mereka masih bersikap biasa saja, seolah ucapan Jayden beberapa saat yang lalu sama sekali tidak berarti.
Delia meminta agar mereka duduk di kursi yang dulu mereka tempati, tapi di kursi tersebut masih ada orang yang makan. Dengan sabar, mereka menunggu hingga pengunjung tersebut selesai dengan makanannya.
Tidak ada pengunjung lain di sana. Jayden berbicara kepada pedagang pecel lele bahwa ia akan memborong dagangannya, tapi tidak boleh ada yang masuk ke warung tenda tersebut selama ia dan istrinya masih di sana.
Tentu saja pedagang tersebut senang. Ia bisa pulang lebih cepat dari biasanya.
“Di goreng saja semua ya pak!” titah Jayden, “dan tolong pastikan tidak ada yang memfoto dan memvideo saya dan istri saya,” lanjutnya.
“Baik mas,” jawab pedagang tersebut.
“Jay, tidak perlu melakukan hal seperti itu,” ucap Delia begitu mereka duduk berdampingan.
“Aku tidak mau ada yang mengganggu kita lagi,” ucap Jayden.
Makanan tersaji di meja. Satu porsi lele goreng lengkap dengan nasi, tahu, tempe, lalap, serta sambal.
“Kok cuma satu?” tanya Delia.
“Biar romantis,” jawab Jayden, “makanlah.”
Delia mulai menyuap nasi ke mulutnya, kemudian satu lagi ia suapkan ke mulut Jayden. Bibirnya tiba-tiba bergetar. Bukan karena nasi panas, bukan juga karena sambal pedas, tapi ada rasa haru yang tiba-tiba menyeruak di hatinya.
“Menangislah Del, kalau itu membuat kamu lebih baik,” ucap Jayden.
Satu tetes air mata keluar dari mata Delia seiring dengan usahanya untuk melembutkan makanan di mulutnya. Sekuat tenaga ia menahan kesedihan itu, ternyata ia gagal.
“Maafkan aku Del, maafkan aku yang lemah ini. Aku terjebak dalam kebohonganku sendiri. Dan sekarang, aku malah membawa kamu ke dalamnya juga.”
Air mata Delia semakin deras saja. Kini bahkan meluncur ke piring rotan di atas meja.
Tangan Jayden sudah akan bergerak mengusap air mata Delia, tapi Delia menghentikannya.
“Biarkan Jay, biarkan aku merasakan kesedihan ini. Agar kelak, aku lebih kuat. Tantangan hubungan kita lebih besar ke depannya. Aku harus menyiapkan diri,” ucap Delia, “aku berjanji, setelah ini aku tidak akan menangisi hal ini lagi. Ini yang pertama dan terakhir kalinya,” lanjutnya.
Dengan terpaksa Jayden harus melihat Delia makan sambil menangis. Entah bagaimana rasanya. Apakah Jay terluka? Tentu saja! Melihat istrinya menangis karenanya, ia sangat merasa bersalah.
Pedagang lele yang sibuk menggoreng pesanan Jayden menjadi bingung melihat kedua pengunjungnya. Namun ia tidak mau ikut campur dengan urusan mereka.
Tiba-tiba seorang pengamen datang ke warung tenda tersebut. Pedagang sudah akan mengusirnya dengan halus. Memberikan sejumlah uang kepadanya. Ia ingat ucapan Jayden yang tidak mau ada orang lain masuk saat ia tengah makan bersama istrinya. Tapi, Jayden menghentikannya. Ia mengingat pengamen tersebut. Pengamen yang dulu meminjaminya gitar saat akan menyanyikan lagu untuk Delia.
Jayden berdiri, kembali meminjam gitar dari pengamen tersebut. Sepertinya pengamen tersebut juga mengenali Jayden.
“Mas lagi?” tanya pengamen tersebut. Ternyata ia mengenali Jayden bukan sebagai artis, tapi sebagai peminjam gitarnya.
Jayden tersenyum, kembali meminjam gitarnya untuk mengiringinya bernyanyi. Lagu yang ia bawakan masih sama seperti lagu yang ia bawakan dulu. Jayden benar-benar ingin membawa suasana hari itu pada saat ini.
Delia ikut tersenyum karenanya, ia mulai mengusap air matanya demi untuk melihat wajah Jayden agar lebih jelas.
Usai bernostalgia, Jayden dan Delia pulang. Sebelumnya, ia memberikan sejumlah uang kepada pedagang pecel lele dan meminta pedagang tersebut untuk membagikannya kepada yang membutuhkan di perjalanan pulang nanti.
Jayden juga memberikan sejumlah uang kepada pengamen, kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Baik pedagang maupun pengamen sama-sama berterima kasih kepada Jayden dan Delia. Keduanya mendoakan agar kehidupan Jayden dan Delia bahagia.
Flashback off.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments