“Pagi.” Aku menyapa saat berjalan ke arah kubikel.
Namun, rupanya aku sudah harus mendapati kenyataan pahit di hari sepagi ini, ketika tidak ada satu orang pun yang menjawab sapaanku. Aku memicing ke arah Mas Angga, Mbak Sari, Tiwi dan Rizal yang sudah lebih dulu datang dan berkumpul membentuk sebuah lingkaran kecil. Dan dari posisinya aku sudah bisa menebak. Pasti mereka tengah bergosip.
“Buset, ini kalian budeknya kompak banget ya.” Cibirku sembari menaruh tas ke atas meja.
“Siapa yang budek?” Tiwi bertanya polos.
“Lo, Maemunah!” Ketusku lalu ikut bergabung bersama mereka. “Datang jam berapa sih? giliran mau free aja pada semangat banget datang pagi. Lo tumben cerah amat mukanya, Mbak?” aku menatap Mbak Sari yang sejak tadi tersenyum dengan wajah berseri.
“Iya dong, harus cerah. Kan seharian kita nanti bisa bebas tugas. Dan yang jelas bisa makan gratis pula.” Mbak Sari berujar semangat.
“Hilih lo, Sar. Ada gratisan aja jiwa missqueen lo meronta-meronta,” cibir Mas Bayu.
Kata gratisan memang sangat berbahaya bagi kaum seperti kami. Besok-besok di ganti bisa tidak ya?
“Lo juga, Del. Cantik banget pagi ini, padahal bonus juga belum cair.” Rizal tersenyum ke arahku.
Oke, aku hargai niat baiknya yang memujiku. Maka dari itu aku segera membalasnya dengan senyum yang tak kalah manis, senyum yang selama ini selalu menjadi andalanku.
“Sorry to say ya Rizal yang sok kegantengan. Kalau gue cantik mah sudah dari sananya kali. Body kayak gitar Spanyol.” Aku berkacak pinggang memamerkan diriku yang membuat Rizal memanyunkan bibir. “Pinter, baik hati dan tidak sombong pula, istri idaman banget kan gue?”
“Terserah lo deh, Mbak. Semua aja yang bagus lo ambil,” sungut Tiwi yang membuat kami semua tertawa.
Aku baru teringat kalau tadi baterai ponselku hampir habis. Aku segera berdiri untuk mengambil charger dari laci mejaku, mengambil ponsel yang ada di dalam tas lalu mulai mencharger ponselku.
Tiiing.
Kami semua menoleh ke arah pintu lift yang terbuka, dan langsung melongo saat sosok Pak Sam muncul dan berjalan keluar dengan sejuta ketampanannya. Sumpah, rasanya seperti sedang menonton acara fashion show top model internasional. Aku serius.
“Wadaw ... cakep banget Pak pakai batik. Makin bening aja tuh. Kan bawaannya jadi pengen masuk ke hatimu.” Goda Tiwi dengan tidak tahu malu.
Gila itu anak mulutnya kalau ngomong asal njeplak aja. Hari ini kita semua memang memakai batik untuk acara launching produk kain batik yang baru saja perusahaan kami luncurkan. Ini semua adalah ide dari Pak Sam. Dia secara khusus menyiapkan baju yang kami pakai hari ini. Supaya semua orang bisa melihat hasil dari kain batik tersebut secara nyata.
“Masuk gudang mau?” Balas Pak Sam sambil tersenyum.
Gila! dia tersenyum lho. Ini sudah pasti tambah cakep banget kalau senyum begitu. Apalagi Pak Sam itu memang jarang sekali tersenyum di depan anak buahnya.
Bayangkan, Bos bernama Samuel Devano Gavin itu adalah makhluk yang paling pelit senyum sedunia. Ini dalam artian senyum tulus ya. Sebenarnya dia juga pernah tersenyum tapi senyum malaikat pencabut nyawa begitu, kalian tahu kan yang bikin merinding begitu. Bahkan selama setahun ini senyumnya masih bisa di hitung pakai jari karena saking jarangnya.
“Hati-hati, Sam. Si kunyil kalau ngomong kadang suka nggak terkontrol. Bisa mengandung jeratan.” Celetuk Mas Angga yang membuat kami tertawa.
Saat sedang santai seperti ini biasanya khusus Mbak Sari dan Mas Angga memang akan memanggil Pak Sam dengan sebutan nama saja. Dan itu juga atas dasar permintaan Pak Sam, mengingat kalau mereka bertiga memang hampir seumuran.
“Bukan hanya jeratan, beracun juga tuh mulutnya. Bisa-bisa mati teracun cintanya nanti.” Celetukku sambil tertawa.
“Lo juga racun kok, Del. Racun di hati gue.” Rizal mengedip-ngedipkan matanya ke arahku.
“Ember mana ember? muntah di muka lo dosa nggak sih?!”
Semuanya tertawa, bahkan Pak Sam juga ikut tersenyum mendengarnya. Namun tak lama setelah itu dia langsung masuk ke dalam ruangannya.
Dan itu menjadi yang kedua kalinya aku bisa melihat senyum Pak Bos yang begitu adem di pagi ini. Ya ampun, kalau Bos bisa tersenyum begitu terus. Aku rela deh menarik semua ucapanku yang mengatakan kalau Pak Sam itu kampret, galak dan setan.
“Gila! itu tadi senyumnya mematikan banget. Maut parah! Sampai mau meninggal rasanya. Mau pingsan aja deh gue di pelukannya.” Tiwi mulai histeris.
“Yang benar aja. Mau pingsan kok pilih-pilih.” Sahutku cepat.
“Gue mah kalau andai belum nikah bukan cuma mau pingsan di pelukannya, Wi. Pengen jadi bininya gue,” Ucap Mbak Sari tidak mau kalah.
“Kalau tidur, mimpinya nggak usah tinggi-tinggi deh, Mbak. Nengah aja biar nggak jatuh.”
“Wah, akhirnya lo sadar diri juga, Wi. Selamat atas kembalinya otak waras lo, Wi.” Rizal menyalami tangan Tiwi yang langsung di balas pukulan.
“Eh-eh, gosip baru nih guys!”
Kami berempat seketika langsung menoleh ke arah Mbak Sari yang tengah tersenyum-senyum memandang ponselnya.
“Apaan, Sar? Nggak usah sok tebak-tebakan deh. Keburu tua umur lo,” cetus Mas Angga dengan penasaran.
Mbak Sari berdehem sambil menatap layar ponselnya. “Dengerin ya, dari pak Sam ...” Mbak Sari tersenyum lagi menatap kami satu persatu. Ah, emak emak rempong. Suka banget sih mengulur waktu. “Tolong beritahu kepada Adelia,” Katanya sambil melirik ke arahku. “Untuk segera masuk ke ruangan saya dengan membawa file presentasinya.” Mbak Sari mulai tersenyum lagi, kali ini senyum licik.
“Kebanyakan senyum lo, Mbak. Sok cantik lo!” Omel Rizal yang terlihat sangat kepo. Dan tentunya berhasil mendapat satu pukulan dari Mbak Sari.
“Sabar dong. Gue lanjut nih. Saya sudah menelefonnya beberapa kali tapi tidak kunjung di angkat juga. Tolong sampaikan ya. Terima kasih.” Mbak Sari lalu menaruh ponselnya di atas meja. “Hm ... Bau-baunya bakalan ada yang mau ganti status nih,” Ujarnya mulai ngawur.
Mbak Sari memang paling handal kalau di suruh membuat alibi pergosipan. Dan anehnya, ucapan Mbak Sari selalu berhasil membuat orang yang mendengarnya terpancing.
“Wah, Mbak Adel. Kok lo tega makan teman sih, Mbak?” Tiwi langsung cemberut ke arahku.
“Siapa yang makan teman? kalau gue kencan sama Farhan itu namanya baru makan teman,” ujarku membela diri.
“Mulut lo, Mbak. Nggak ada Farhan-Farhanan.” Elak Tiwi.
“Lagian hp gue beneran mati nih.” Aku mencabut ponsel yang sejak tadi ter-charger. Setelah itu melangkah sombong ke arah ruangan Pak Sam. “Orang penting nih,” ujarku sembari menepuk dada.
“Hilih preeet lo, Del.” Cetus Mas Angga.
Sebelum masuk ke ruangan aku mengetuknya terlebih dahulu, demi kesopanan. Setelah itu baru aku membuka pintunya.
“Ini, Pak. Maaf ponsel saya tadi mati,” ujarku sembari menyerahkan file ke atas meja Pak Sam.
Pak Sam mengangguk. “Sampaikan ke teman-teman kamu untuk segera ke gedung acara launching produk kita. Acara akan segera di mulai.”
“Siap, Pak,” jawabku semangat, lalu keluar dari ruangan Pak Sam.
Tumben sekali sejak tadi sungut setannya tidak kelihatan. Andai bisa seperti ini terus kan jalanku menuju surga jadi lancar tanpa hambatan.
***
Acara pun sudah di mulai dan Pak Sam tengah mempresentasikan hasil dari pekerjaan kami. Aku yang kebetulan berdiri di barisan paling depan bisa dengan jelas melihat wajah tampan Bosku tersebut.
Tubuh tinggi tegapnya, sorot mata birunya yang bagaikan pedang itu, hidung mancungnya dan rambutnya yang selalu terlihat rapi itu benar-benar mampu memanjakan mataku. Terlebih hari ini Pak Sam yang mengenakan atasan batik lengan panjang itu, benar-benar perpaduan yang sangat pas sekali. Sungguh hasil karya Tuhan yang begitu sempurna.
Aku tersentak saat ada tangan yang menyikut lenganku dari samping.
“Gila ganteng banget tuh, parah! Pangeran berkuda bukan sih, Mbak? Gue berasa lihat jelmaan Dewa Yunani. Gantengnya nggak manusiawi banget.” Bisik Tiwi padaku.
“Hm, kayak pangeran yang muncul dari negeri dongeng,” sahutku sambil terkekeh.
“Hilih, cakepan juga gue.” Rizal yang berada di samping Tiwi langsung memasang wajah sok ganteng.
“Eh, Mas. Kalau gue belum ketemu Pak Sam sih mungkin lo masih boleh lah masuk kriteria gue. Tapi, setelah ketemu Pak Sam, selera gue bener-bener langsung berubah tinggi. Selera SNI berstandar internasional. Kalau di bandingin sama lo jadi kayak langit sama bumi,” ujar Tiwi panjang lebar.
Aku terkekeh mendengar omongan Tiwi. Dia memang kalau berbicara selalu jujur dan polos. Apalagi kalau membicarakan ketampanan seorang pria. Tiwi adalah juaranya.
“Mulut suka nggak di jaga ya kalau ngomong. Gue kan jadi pengen cubit pipi, Adelia.” Dan benar saja Rizal langsung mencubit pipi kananku.
Aku mengibaskan tangannya sambil tersenyum. Tanpa aku sadari saat itu juga tatapanku bertemu dengan kedua mata Pak Sam. Entah hanya perasaanku atau memang tatapan itu terasa lebih dingin. Bahkan saking dinginnya tubuhku langsung ikut menggigil begitu saja.
Benar-benar mata yang berbahaya.
Setelah presentasi selesai acara di lanjut dengan break makan siang. Aku menghampiri Mbak Sari dan Rizal yang tengah mengambil makanan dengan porsi super ganda.
“Buset! Kelakuan kalian mirip orang yang nggak makan seminggu tahu nggak?” Aku berjalan mengambil makanan juga.
“Bukanya nggak makan, Del. Mereka mah memang kalap kan kalau liat makanan gratisan,” Sindir Mas Angga yang ikut bergabung mengambil makanan dengan kami.
“Mulut lo, Ngga. Pengen gue sumpel pakai serbet.” Sahut Mbak Sari.
Setelah selesai mengambil makanan, kami berempat pun langsung mencari tempat duduk. Di susul Tiwi yang bertugas membawa minuman
“Minuman gue mana, Nyil?” Tanya Rizal dengan mulut penuh makanan.
“Lo kira tangan gue ada lima, yang rupa-rupa warnanya. Ambil sendiri sana!” ketus Tiwi dan Rizal hanya mendengus lalu melanjutkan acara makannya.
Ketika aku dan yang lainnya tengah sibuk menikmati makanan, tiba-tiba saja Pak Sam datang menghampiri meja kami.
“Adelia, tolong ambilkan saya kue yang di sana.” Perintahnya sambil menunjuk meja tempat kue yang di maksud.
Hellooo, maksudnya apa ya? Dia datang-datang langsung asal memerintahku begitu saja. Di kira aku babu apa? Memangnya dia tidak bisa apa ambil sendiri?
“Kenapa Bapak nggak ambil sendiri aja?” Aku meletakkan sendok dan mulai menatap Pak Sam.
“Oh berarti saya tidak boleh ya minta tolong sama kamu.” Jawab Pak Sam dengan nada datar.
Aku melirik ke arah Mbak Sari, Mas Angga, Rizal dan Tiwi yang tengah berusaha menahan tawa. Mereka pasti senang sekali melihat aku di kerjai oleh Pak Sam. Sialan mereka!
“Bukanya begitu, Pak. Masalahnya saya kan lagi makan, Pak,” ujarku masih berusaha menahan sabar.
“Apa susahnya di tinggal sebentar? Toh, tidak akan ada yang makan makanan kamu kan.” Pak Sam terus saja ngotot menyuruhku untuk melaksanakan perintahnya.
“Ada, Sam.” Mas Angga menyahut cepat. “Si Rizal tuh, kadang suka asal nyomot makanan orang. Tahu-tahu udah tinggal piringnya aja.”
Sumpah aku sedang tidak ingin tertawa, tapi ucapan Mas Angga benar-benar berhasil membuatku ingin tertawa. Bahkan Mbak Sari dan Tiwi saja sudah tertawa di tempatnya.
“Bohong, Pak! Mana ada.” Sahut Rizal cepat. “Ngawur lo, Mas. Apalagi makanan Adelia, nggak mungkin lah. Tenang, Del, gue bakal jagain makanan lo.”
Sabar-sabar, punya temen juga kampret banget.
“Eh, di telen dulu tuh makanan, Zal. Baru ngomong,” Sahut Mbak Sari.
“Saya ambilin aja gimana, Pak?” Tawar Tiwi dengan senyum genit.
Nah, kebetulan tuh, kalau ada yang mau kenapa harus memaksa orang yang sama sekali tidak ikhlas seperti diriku ini?
“Jilat aja terus, Wi. Tadi gue suruh ambilin minuman aja lo nggak mau,” cibir Rizal.
“Saya menyuruh Adelia.” Pak Sam kembali menatapku bahkan kini sedikit melotot.
Aku tidak bisa berkutik. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku langsung berdiri dan berjalan ke arah kue yang di maksud Pak Sam.
“Dia minta di ambilin berapa ya?” gumamku seraya menepuk jidat. “Bego banget sih! kenapa tadi nggak tanya dulu.” Aku memutuskan untuk mengambil banyak kue sekaligus, biar tahu rasa tuh Pak Sam.
Saat aku kembali ke meja, Pak Sam ternyata sudah tidak ada di tempatnya berdiri tadi.
“Loh, kemana bos kampret tadi?” Aku menaruh kue yang aku bawa ke atas meja.
“Tuh.” Mas Angga menunjuk dengan tatapan matanya. Aku langsung mengikuti arah pandangan Mas Angga dan menatap Pak Sam yang kebetulan menoleh ke arah kami.
Mungkin Pak Sam sadar kalau aku sedang mencarinya. Maka dari itu dia langsung berjalan menghampiriku.
“Saya ada urusan dengan Direktur Utama. Jadi saya harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan itu Pak Sam kembali pergi begitu saja.
“Loh, Pak! Kuenya.” Teriakku.
“Buat kamu saja.” Balas Pak Sam tanpa menoleh sedikitpun.
“Kampret! Dia ngerjain gue atau gimana sih?!” Aku duduk dengan wajah kesal. “Mana gue ambil banyak banget. Niatnya mau ngerjain dia, eh malah kena gue sendiri.”
Aku menatap ke arah kue yang aku ambil tadi, ada lima potong kue di atas piring tersebut.
“Ck! Senjata makan tuan kayaknya tuh, Del. Sam mintanya beneran tapi lo malah nggak ikhlas,” Ucap Mbak Sari.
“Di makan aja, Mbak. Kayak porsi lo nggak banyak aja,” sahut Tiwi.
“Gue lagi diet makan makanan manis,” Ujarku dengan bibir manyun.
Mas Angga dan Rizal terbatuk. “Serius lo? jangan deh, Del. gue suka lo apa adanya kok, ngga usah pakai diet.” Rizal berujar serius.
Mas Angga tertawa. “Pepet terus sampai mentok.”
“Giliran mentok nggak jadi.” Imbuh Mbak Sari yang membuat mereka berdua kompak tertawa.
Aku masih memasang wajah kesal. Sungguh terlalu, baru saja tadi pagi sikapnya baik banget, nah ini sudah keluar lagi sungut setannya.
Memang benar kampret tuh si Bos!
.
.
.
.
###
Jangan lupa follow IG ku ya
@nan_dria
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
NFC
🤣🤣🤣
2023-02-09
0
Kepiting Cina
🤣🤣🤣
2022-08-14
0
Anisatul Azizah
Sam dah tertarik sm Adel ya😍
2022-03-21
0