Berbagi Cinta : Dipaksa Menikahi Cucu Mantan Suami

#MENTARI, FATIH, DAN ZAHRA (20)

Malam itu Mentari tidur sendiri, dia tidak bisa memejamkan matanya. Walau sudah membolak-balikan tubuhnya ke kanan dan kekiri. Masih saja dia tidak bisa tidur. Sepertinya ada yang hilang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi dirinya belum juga bisa tidur. Mentari kini baru menyadari kalau selama ini dia mudah tertidur dalam pelukan Fatih.

Semenjak menikah dengan Fatih dia selalu tidur dalam dekapan hangat suaminya. Baru juga satu malam dia sudah merasa rindu dengan wangi tubuh suaminya itu.

"Sadar Mentari … kamu bukan orang yang diinginkannya. Harusnya kamu itu tahu diri. Sudah bagus mereka memperlakukanmu dengan baik." Mentari menepuk-nepuk pipinya sendiri sampai merah.

Diusapnya bantal milik Fatih, "sepertinya mulai sekarang aku harus mulai belajar lagi untuk tidak bergantung kepada kamu."

"Saat kamu sudah tidak membutuhkan aku lagi. Aku bisa pergi tanpa ada beban di hati ini. Aku juga sudah terbiasa tanpa adanya kehadiranmu di sisiku."

Kemudian Mentari memeluk bantal milik Fatih dan menghisap aroma yang masih tertinggal di sana. Aroma tubuh yang membuatnya tenang. Sambil memeluk bantal itu, akhirnya Mentari bisa tidur juga.

*****

Saat mereka sarapan telepon genggam milik Zahra berdering. Itu panggilan dari luar negeri, lebih tepatnya dari negara tetangga, Singapura. Dokter di sana menyatakan kalau mereka bersedia menangani Zahra secara intensif, walau harus bolak-balik Indonesia-Singapura. Dengan menempatkan Dokter mereka di rumah sakit milik keluarga Hakim.

Berita ini membuat Zahra dan Fatih bahagia. Bahkan mereka sampai mengeluarkan air mata kebahagiaan. Mentari awalnya tidak tahu, setelah Fatih menceritakannya, maka dia pun ikut senang. Berbeda dengan Widuri dan Jihan, mereka terlihat tidak suka.

Setelah selesai sarapan, ada pesan masuk ke telepon genggam Fatih. Dia melihat video rekaman cctv yang di minta semalam olehnya kepada tim keamanan keluarga Hakim. Tentang obat perangsang yang sampai bisa masuk ke dalam tubuhnya.

Fatih begitu marah saat melihat Widuri memasukan obat perangsang yang di teteskan ke minuman miliknya yang disediakan oleh Zahra malam itu. Maka tanpa berpikir panjang lagi Fatih mengusir mereka.

"Saya harap, kalian berdua jangan pernah menginjakan kaki di rumahku lagi!"

"Nak Fatih, Bibi harus kemana kalau di usir dari sini?" Widuri menangis tergugu-gugu, agar di kasihani.

"Bukannya rumah kalian baru saja selesai di renovasi, kemarin!" Suara Fatih yang biasanya lembut kini melengking tinggi.

"Itu belum dibersihkan, barang-barangnya juga belum dibereskan," timpal Jihan.

"Aku tidak peduli! Sekarang juga kalian pergi dari rumahku!" Fatih menunjuk pintu keluar rumahnya yang sudah terbuka lebar.

Mau tidak mau Widuri dan Jihan pergi dari rumah Fatih. Jihan begitu enggan pergi dari rumah mewah itu. Semua fasilitas ada di sana. Terutama bioskop mininya yang setiap hari dia kunjungi dan menghabiskan waktu di sana.

Mertuanya Fatih menelepon meminta penjelasan tentang pengusiran Widuri dan Jihan. Maka Fatih pun menceritakan hal yang sebenarnya. Lagi-lagi ibunya Zahra meminta untuk memaafkan keluarganya itu. Serta di izinkan kembali buat tinggal di sana beberapa hari, sampai rumah mereka benar-benar siap untuk di tinggali.

Fatih menolak dengan halus, dan berjanji akan mengirimkan pekerjanya agar dalam satu hari rumah itu sudah siap dihuni. Fatih menepati janjinya, dengan mengirimkan beberapa pekerja agar membersihkan dan menata barang-barang di rumah barunya Widuri.

******

Seminggu kemudian …

Dokter yang didatangkan dari Singapura itu dimanfaatkan baik, bukan oleh Zahra saja tapi oleh para pasien yang memiliki penyakit Leukemia. Fatih bersama kedua istrinya pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Mentari dan memeriksakan penyakit Zahra.

Saat di Dokter kandungan, Fatih dan Zahra yang aktif bertanya tentang kondisi bayi yang sedang dikandung oleh Mentari.

"Anak Papa sudah mulai terlihat jelas, sekarang!" seru Fatih saat melihat bayi kembarnya lewat layar.

"Jagoan Mama, baik-baik di dalam, ya," kata Zahra sambil mengusap layar.

Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Zahra, Mentari serasa ada yang menusuk dadanya. Dia tak menyangka kalau Zahra sudah mengklaim dirinya dengan sebutan Mama bagi bayi-bayinya.

Mentari senang, kalau Zahra juga menganggap anaknya itu adalah anaknya juga. Melihat Fatih dan Zahra yang saling melempar senyum sambil melihat layar monitor, entah kenapa hatinya menjadi iri. Seharusnya dia yang ada di sana, dan melihat perkembangan bayinya.

"Dokter bisakah aku juga melihatnya?!" pinta Mentari, kemudian sang asisten Dokter itu memutarkan layarnya agar menghadap ke arah Mentari yang sedang berbaring.

Mentari menangis haru ketika melihat ada dua bayi yang belum berbentuk sempurna kini sedang tumbuh di dalam rahimnya. Di teringat kembali akan putra pertama yang sangat disayanginya itu. Saat Mentari pertama kali melihatnya hanya berupa titik hitam, berbeda dengan kehamilannya yang sekarang. Dia bisa melihat dengan jelas embrio dari bayi-bayinya itu.

Setelah selesai memeriksakan kandungan Mentari. Kini Fatih, Zahra dan Mentari, mengunjungi dokter Silvana. Dokter yang ahli dalam mengobati pasien yang menderita penyakit Leukemia. Keberhasilan sembuh dari pasiennya sekitar dua puluh persen. Cukup tinggi di bandingkan dengan keberhasilan Dokter yang lainnya.

Fatih begitu banyak bertanya dibandingkan Zahra, bahkan dia merekamnya agar tidak lupa. Begitu besar perhatian Fatih kepada Zahra, makin membuat Mentari yakin kalau dia harus menjaga hatinya.

Kebahagian Fatih yang sedang dirasakannya saat ini, terlihat sangat jelas di wajahnya tampan. Senyumannya pun tidak pudar, selalu menghiasi wajahnya. Fatih pun pulang ke rumah orangtuanya dan memberitahu semua hal yang dia tadi lakukan di rumah sakit.

Zahra pun ingin berbagi kebahagian dengan keluarganya juga, dan meminta Fatih untuk mengunjungi mereka. Fatih pun menyanggupinya. Mereka akan mendatangi rumah orang tua Zahra setelah mereka makan siang bersama.

"Mas, sepertinya aku tidak bisa ikut. Aku ingin istirahat," kata Mentari saat mereka akan masuk ke mobil.

"Kenapa?" tanya Fatih langsung merasa cemas dengan keadaan Mentari yang belakangan ini menjadi pendiam dan selalu menghindari dirinya.

"Itu bawaan ibu hamil, Mas. Cepat lelah, mudah ngantuk, itu semua tidak aneh buat wanita yang sedang hamil. Biarkan Mentari istirahat, kasihan dia sama bayinya," jelas Zahra.

"Kalau begitu, ayo Mas antar pulang!" Fatih menggenggam tangan Mentari dengan kuat. Agar tidak mudah dilepaskan lagi oleh Mentari.

Mentari yang hendak menarik tangannya kembali, kesulitan karena Fatih makin kuat menggenggamnya. Zahra hanya menghela napasnya melihat kelakuan suaminya itu.

******

Zahra berbagi kebahagiaan dengan keluarganya. Adiknya pun di telepon agar datang. Walau belum tentu sembuh, tapi untuk harapan itu semakin besar.

"Fatih apakah di perusahaan kamu ada lowongan pekerjaan?" tanya Mirna, ibunya Zahra.

"Buat siapa, Bu?" Fatih balik bertanya.

"Buat Jihan, kasihan dia belum juga dapat pekerjaan. Padahal sudah satu tahun di lulus jadi sarjana."

"Mungkin di kantor cabang ada. Nanti Fatih cari tahu dulu."

"Kalau bisa jangan di luar kota. Di kantor kamu yang di Jakarta saja," pinta Widuri.

"Iya, yang di Jakarta saja. Kasihan kalau Jihan jauh dari orang tuanya," Mirna mendukung idenya Widuri.

"Kalau di kantor pusat tidak ada lowongan. Semua karyawan pusat memulainya dari kantor cabang dulu." Fatih sudah mulai tidak suka saat keluarganya Zahra selalu menekannya. Untung Zahra kebanyakan mirip Abahnya.

Saat sore menjelang, rasa rindu Fatih kepada Mentari sudah tidak bisa dibendung lagi. Maka dia pun pamit pulang, karena Zahra ditahan sama adiknya yang sedang mau curhat. Fatih merasa senang saat Zahra tidak bisa ikut pulang. Kini dia hanya akan berduaan dengan Mentari.

Begitu Fatih sampai ke rumah di carinya sosok yang sedang di rindukannya itu. Begitu dia berlari menaiki anak tangga dilihatnya Mentari yang baru keluar dari kamarnya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Fatih langsung memeluk Mentari.

"Mas--"

Mentari tidak bisa melanjutkan lagi perkaranya karena bibirnya langsung dibungkam oleh mulut Fatih. Mentari yang terbuai oleh tindakan suaminya itu, tidak sadar telah mengalungkan tangannya di leher suaminya.