"Kamu mau mencari kerja dimana?" tanya Mas Hilman pada akhirnya.
Aku menggelengkan kepalaku. Semalam setelah membereskan pakaianku kembali ke dalam lemari, aku mencari lowongan pekerjaan di media sosial. Ada beberapa anak perusahaan, tidak besar tapi aku kira aku bisa bekerja disana. Jika tidak dicoba tidak akan tahu, bukan? Semoga saja masih peruntunganku.
"Maaf, Mas, tapi aku mohon sama kamu. Izinkan aku untuk mencari pekerjaan." Aku meminta izin. Mas Hilman terlihat berat untuk mengizinkan aku, tapi akhirnya dia menganggukan kepalanya juga.
"Maaf ya, Yu. Aku gak bisa banyak bantu kamu sekarang." Mas Hilman masih menunduk, aku mengelus pipinya dengan telapak tanganku, tersenyum padanya untuk meringakan beban yang ada di dalam pikirannya sekarang.
"Gak apa-apa, Mas. Kalau saja aku bisa memberi kamu anak, mungkin ini semua juga gak akan terjadi." Aku berkata dengan lirih. Memang ini semua mungkin tidak akan terjadi jika aku bisa memberikan Mas Hilman keturunan.
"Maaf, Ayu." Mas Hilman tersenyum. Namun, terihat perih di dalam senyumannya itu. Dia merengkuhku dan mengecup puncak kepalaku. "Aku minta maaf jika selama ini sudah membuat kamu menderita dengan pernikahanku dan juga Hana." Terdengar nada suaranya yang bergetar saat megatakan hal itu.
"Sudahlah, aku juga gak akan ...."
"Mas! Ini sudah siang. Ayo kita sarapan, nanti kamu terlambat!" Suara ketukan di pintu membuat ucapanku terjeda. Aku mulai merasa kesal jika saat seperti sekarang ini terganggu olehnya.
Kulepas pelukan Mas Hilman dariku dan berjalan mundur dua langkah darinya. "Istri mudamu sudah memanggil, sana kamu sarapan. Aku sudah siapkan makanan untuk kamu makan," ucapku.
"Terima kasih."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya dari mulutnya.
Kami berdua berjalan ke arah meja makan. Makanan yang ada di atas meja sudah tidak ada lagi, aku bingung, kemana semua makanan itu. Hana sedang berkutat dengan wajan di atas kompor.
"Mana sarapannya?" tanya Mas Hilman dengan bingung manatap meja makan yang kini bersih dari makanan yang aku siapkan tadi.
Hana membalikkan dirinya. "Anu ... maaf Mas, Mbak. Makanan yang Mbak Ayu buat aku buang. Aromanya bikin aku mual. Aku gak tahan. Maaf, Mbak Ayu." Dia berkata dengan lirih sambil menunduk dalam. Aku melotot kepadanya, emosi yang ada. Makanan dengan susah payah aku buat untuk mereka berakhir di tong sampah tanpa disentuh sama sekali? Keterlaluan sekali anak ini! Padahal tempo hari dia makan nasi goreng buatanku dengan sangat lahap.
"Maaf, Mbak Ayu. Hana gak tahan Mbak. Jangan marah. Mas Hilman, maafin Hana. Hana gak kuat tadi ...."
"Kamu ...."
"Ayu, sudah lah. Maafkan Hana. Orang hamil memang tidak bisa diprediksi." Mas Hilman memotong ucapanku, membuat aku merasa bad mood pagi ini.
Aku masih menatap tajam ke arah Hana, andaikan aku adalah ular, rasanya ingin sekali menelan anak ini bulat-bulat!
"Ayu, sudah lah. Maafkan Hana ya." Mas Hilman menyentuh tanganku. Memang rasanya disana hangat, tapi hatiku ini mendadak dingin dan beku.
"Sudahlah, aku berangkat saja." Ku tepisttangan Mas Hilman dengan kasar. Aku tidak mau dia memohon untuk wanita itu.
Dengan lagkah lebar aku segera mengambil kunci yang ada di atas kulkas dan segera berjalan untuk mengambil motor di garasi. Tidak peduli denan terikan Mas Hilman yang memintaku untuk sarapan dengan mereka.
D**asar keterlauan! Apa hak dia membuang makanan yang sudah susah payah aku buat. Dasar wanita hamil menyebalkan!
Aku mengggerutu di dalam hati. Selama dalam perjalanan membuat aku tidak sadar dengan kecepatanku. Bahkan, hampir saja aku melewatkan lampu lalu lintas yang mendadak berganti warna, hingga aku mengerem mendadak. Masih beruntung tidak sampai menabrak motor yang ada di depanku.
Tidak terasa air mataku meleleh, kususut dengan ujung jari telunjuk. Ingatan akan nasi goreng buatanku yang menjadi penghuni tong sampah, sungguh menyakitkan hati.
Empat puluh menit perjalanan, akhirnya sampai pada sebuah perusahaan, sudah kubilang ini bukan perusahaan besar. Sangat sulit sekali mencari pekerjaan di saat seperti ini. Aku tidak boleh memilih-milih pekerjaan lagi. Asal aku mendapat gaji, di tambah dengan penghasilan menullisku, aku perkirakan aku akan bisa segera membawa ibu ke meja operasi sebelum sakitnya bertambah parah.
Tak lama aku disana, keluar lagi dengan langkah yang hampa. Aku kira dengan pengalaman bekerja ku selama ini, aku akan bisa masuk di perusahaan ini degan mudah, ternyata menurut mereka aku masih belum mumpuni.
Ya Allah, kenapa sangat sulit sekali mencari pekerjaan? Padahal aku sangat butuh pekerjaan ini.
Ku tadahkan wajah ini ke arah atas, menatap langit yang mulai terik. Waktu masih pagi, aku akan pergi ke satu perusaahaan yang lain dan menitipkan lamaran disana. Beberapa lembar map cokelat sudah aku siapkan semalam. Beruntung aku tidak pernah membuang benda-benda itu sebelumnya.
Hingga siang hari, dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Semua map cokelat berisi lamaran pekerjaaan sudah selesai aku titipkan, berharap ada satu yang bisa berhasil. Semoga.
Sebelum pulang ke rumah, kusempatkan diri pergi ke rumah sakit. Ada hal yang ingin aku tanyakan kepada dokter.
Sedikit pemeriksaan seperti biasanya.
"Mbak Ayu gak ada masalah. Seperti biasanya dalam keadaan sehat, malah ini menurut saya sedang sangat subur. Semua yang saya bilang waktu itu Mbak Ayu lakukan, 'kan?" tanya Dokter wanita itu sambil tersenyum ke arahku.
Aku mengangguk, semua vitamin yang dia berikan sudah rutin aku makan. "Tapi Dokter, kenapa sampai sekarang ini saya belum hamil?" tanyaku masih penasaran.
"Apa suami Mbak Ayu masih belum mau diajak kesini? Saya gak berani bilang apa-apa atau mengira-ngira dengan keadaan suami Mbak Ayu jika tidak dilakukan pemeriksaan menyeluruh."
"Suami saya sehat, Dokter." tanpa sadar aku bicara seperti itu. Dokter terlihat mengerutkan keningnya.
Aku menghembuskan napas. Mungkinkah aku harus bicara jujur dengan dokter?
"Dokter, suami saya menikah lagi. Dan sekarang istri keduanya sedang hamil. Bukankah itu berarti dia juga sehat? Tapi kenapa saya yang sudah lama menikah dengan dia tidak juga hamil?" Malu sebenarnya, tapi aku juga tidak mau menyembunyikannya lagi. Ada perasaan malu setiap kali aku memeriksakan keadaan diri ini seorang diri.
Dokter menghembuskan napasnya dengan berat.
"Mbak Ayu, memang ada dimana kondisi seseorang tidak bisa melakukan pembuahan dengan cara biasanya. Apa Mbak Ayu tidak ingin memikirkan dengan program bayi tabung?" tanya dokter.
Aku terdiam, sepat terpikirkan juga, tapi saat aku bicarakan hal ini dengan Mas Hilman, pria itu menolak. Dia bilang serahkan saja semua ini kepada Tuhan.
"Coba Mbak Ayu bicarakan dengan suami sekali lagi. Siapa tahu suami Mbak Ayu mau dengan cara seperti itu. Saya kasihan dengan Mbak Ayu jika terus-terusan melakukan pengobatan lain yang bisa menyakiti Mbak Ayu," ujar dokter itu. Matanya terlihat sendu menatap kke arahku. Aku hanya menganggukan kepala.
"Akan saya coba lagi, Dokter." Dokter itu trsenyum dengan mengelus punggung tanganku.
"Tetap semangat ya," ujarnya. Aku kembali menganggukkan kapalaku.
"Terima kasih."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Windarti08
kok aku bacanya kesel ya... alih-alih ikut sedih Ayu diperlukan gak adil. pengen nyakar tuh wajah sok polos pelakor.
kalau aku ada di posisi Ayu udah aku tinggalin tuh rumah beserta suami lembek gak punya pendirian.
si pelakor juga keknya sengaja tuh bikin Ayu kesel, berlindung dibalik kehamilannya, gak biarin Hilman berduaan sama Ayu.
masa kemaren nyuruh Ayu bikinin nasgor trus sekarang Ayu bikin nasgor malah dibuang? kan mengada-ada sekali!😡
2023-01-16
0
Endang Winarsih
terlalu sakit ayu cerai aja
2022-07-29
0
Lihayati Khoirul
mbulet
padahal aku pinginnya cerai
siapa tau Hana sudah hamil duluan
2022-07-28
0