Seperti sebelumnya, jika Mas Hilman sudah keluar dari kamar ini dia tidak akan kembali lagi. Malam ini pun sama, hingga aku menyelesaikan dua bab Mas Hilman tidak kunjung terlihat juga.
Beberapa kali aku melirik ke arah pintu, tapi pintu itu masih tetap sama tertutup dengan rapat. Entah perasaanku atau apa, tapi sepertinya wanita itu tidak ingin Mas Hilman menghabiskan waktunya bersama denganku. Bukan hanya malam ini saja, tapi malam-malam sebelumnya juga seperti itu.
Sudah hampir jam 12 malam, aku keluar untuk ke kamar mandi. Sedari tadi sibuk mengetik membuat aku melupakan hasrat terpendam di dalam diriku.
Kembali lagi ke dalam kamar, kulirik kamar sebelah yang tertutup rapat. Tiba-tiba saja ada keinginanku untuk mendekat ke sana dan menempelkan telinga ini di daun pintu. Aku tahu jika yang kulakukan ini adalah salah, tapi rasanya aku penasaran sekali.
"Ah, Mas ... aduh!" suara itu terdengar nyaring, membuat aku semakin menempelkan telinga ini di sana.
"Jangan berisik ini sudah malam." Itu suara Mas Hilman, terdengar membujuk.
"Pelan dong Mas, aku nggak kuat kalau kamu keras-keras, kamu berat." Terdengar suara itu protes.
Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana, tapi rasanya mendengar suara-suara itu pikiranku jadi jauh berkelana ke tempat yang jauh.
Aku tidak ingin mendengarnya lagi, segera aku melangkahkan kaki ini kembali ke dalam kamar. Rasa sesak seringkali menyeruak di dalam hati. Kuusap air mata yang kini luruh di pipi.
Kenapa aku bodoh sekali dengan mencuri dengar? Mas, kamu bilang kamu gak cinta sama dia, tapi kenapa kamu dengan gampangnya bermesraan sama dia?
Kembali ku langkah kan kaki ini ke arah lemari setelah aku mengunci pintu. Aku yakin jika Mas Hilaman memang tidak akan kembali ke sini.
Kubuka lemari dan kucari sesuatu di dalam sana. Dua buah buku nikah kini ada di tanganku. Mas Hilman tidak pernah menyimpan buku nikah kami dengan tersembunyi, semua berkas penting disimpan dengan rapi di laci lemari.
Tas besar aku bawa, juga beberapa lembar pakaian aku masukkan ke dalamnya tanpa aku rapikan terlebih dahulu, begitu juga dengan buku nikah milikku yang tadi aku ambil, kusimpan di antara tumpukkan pakaian. Koper sudah lama tidak ada, Mas Hilman menyingkirkannya entah ke mana semenjak dulu aku pulang ke rumah ibu.
Ibu Mbak, harus segera di operasi. Dan soal biaya, Mbak Ayu bisa tanyakan langsung ke administrasi.
Tiba-tiba suara dokter yang menangani ibu terdengar di telinga. Aku ambruk, terduduk di lantai ketika ingat berapa nominal yang aku butuhkan untuk operasi ibu. Menangis tersedu menutup wajah ini dengan kedua tangan.
Dari mana aku akan dapat biaya sebesar itu.
Kini aku kembali bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Jika aku hidup sendiri akan sangat sulit untuk mencari biaya pengobatan ibu.
...***...
Pagi ini aku menyiapkan sarapan. Dua orang itu belum juga keluar dari dalam kamar. Aku mencoba untuk bersikap biasa saja, meski sebenarnya di dalam hati ini terasa sakit. Seharusnya semalam masih jatah aku bersama dengan Mas Hilman, hingga minggu depan.
Dalam hidup berpoligami semua harus adil meski itu rasanya tidak mungkin. Kami memutuskan untuk membagi waktu setiap dua minggu. Akan tetapi, wanita itu seringkali membuat ulah, seperti saat semalam ketika mas Hilman sedang bersamaku. Juga dengan malam-malam sebelum ini.
Ku hembuskan napas ini dengan berat.
"Sarapan sudah siap, Mbak? Mas Hilman sebentar lagi mau berangkat bekerja." Suara Hana terdengar di belakangku. Aku menoleh dan mendapati dia di tepi meja makan sudah mengganti baju santai juga dengan rambut yang basah. Hatiku tercubit melihat rambut basah itu.
"Sudah," jawabku dengan singkat. Kusimpan piring terakhir di atas meja lalu aku pergi ke kamar.
Aku kembali ke luar dari dalam kamar, sudah mengganti bajuku dengan baju kerja, bersamaan dengan Mas Hilman yang juga keluar dari dalam kamar itu. Mas Hilman juga sudah siap dengan pakaian kerjanya. Pakaian Mas Hilman juga sebagian ada di kamar Hana. Wanita itu sempat protes dulu karena dia juga ingin menyiapkan pakaian untuk suami kami.
"Kamu mau kemana, Yu?" Mas Hilman bertanya dengan bingung. Mungkin karena aku sudah siap dengan pakaian rapi dan juga menenteng surat lamaran untuk bekerja. Ini kusiapkan semalam setelah aku membatalkan untuk melanjutkan niat sesaatku.
"Cari kerja," jawabku dengan singkat lalu berjalan ke arah meja makan.
"Yu, kamu gak boleh kerja, kamu di rumah saja lah, Yu." Mas Hilman mengikuti langkahku ke meja makan. Hana menatap kami dengan tatapan tak suka. Aku tahu, wajahnya selalu terlihat suram saat aku bersama dengan Mas Hilman meski kami kini sedang berdebat.
"Aku bosan di rumah, Mas. Aku mau cari kerja saja," jawab ku tidak peduli.
"Kenapa kamu mau bekerja? Apa yang aku berikan tidak cukup untuk kamu?" tanya Mas Hilman kepadaku. Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku ke arahnya. Bukan karena itu, meski sekarang ini uang yang diberikan Mass Hilman berkurang lumayan banyak, tapi jika hanya untuk kebutuhan makan kami berdua tentu ini masih cukup.
"Aku gak suka kamu bekerja." Mas Hilman berkata lagi dengan menatapku tajam.
"Sudah aku bilang aku bosan di rumah, dan lagi ...." Aku berhenti bicara, sadar jka ada Hana di dekat kami. Ku ambil tangan Mas Hilman dan menariknya ke arah kamar.
"Aku butuh uang, Mas. Ibu sakit. Dan aku butuh uang untuk pengobatan ibu." Jujur saja aku katakan saat kami berdua seperti ini. Jika urusan dengan pengeluaran Hana tidak boleh tahu, kan. Aku berpikir dia akan protes dan minta lebih juga.
"Bukannya Ibu ada tabungan untuk berobat? Dan lagi kan ibu punya kartu kesehatan juga. Aku juga akan bantu pengobatan ibu, kamu gak usah kerja ya. Gimana kita mau punya anak kalau kamu kerja lagi, kamu harus banyak istirahat, Yu."
"Aku sudah terlalu banyak istirahat, Mas. Kamu juga tau kan selama apa aku sudah beristirahat selama ini, tapi aku juga belum bisa hamil juga!" seruku kepadanya.
"Yu ...."
"Aku butuh uang untuk operasi ibu. Dokter bilang ada masalah di kepala ibu dan harus segera dioperasi. Sekarang kalau aku minta sama kamu, apa kamu akan siapkan uang banyak untuk operasi kepala ibu? Kamu punya uang berapa untuk biaya oprasi ibu, Mas?" tanyaku pada Mas Hilman.
"Ibu sakit?!" tanya Mas Hilman dengan terkejut.
Aku menganggukkan kepalaku. "Kemarin saat kita ada di rumah sakit, dokter bilang bukan hanya jantung ibu yang bermasalah, tapi kepalanya juga. Dan harus segera dioperasi untuk mengangkat sakitnya. Aku bingung Mas. Dengan kedaan kamu yang sekarang ini apa aku harus meminta sama kamu?" tanyaku dengan mulai tersedu. Terbayang sulitnya dia untuk membagi penghasilan ke beberapa saku.
Mas Hilman menundukan kepalanya. Sudah aku duga, suamiku ini pasti sedang kesulitan sekarang ini.
"Aku mau kerja untuk kumpulkan uang operasi ibu. Selama ini aku juga menyimpan uang yang kamu kasih setiap bulan, kita hanya punya simpanan dua belas juta, dan itu gak akan cukup, Mas."
"Kalau boleh, aku ingin kerja dan juga menambah uang itu untuk segera membawa ibu ke meja operasi. Aku mohon, Mas." pintaku. Mas Hilman menundukkan kepalanya. Terlihat raut wajahnya yang kebingungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Kristina Siagian
moga yuni bisa hamil jg
2023-02-07
0
Yeni Elfita
org Mulu ujung balik jg.dasar lemah
2022-07-12
0
suli sulimah
wanita bego ..ayuu bdoohh ky gk da lki2 lain..huuhhhhh pling sbel klo bca novel wanita lemah.gk bs brbuat ap2 d duain suami..novel di ikan terbang gk mutu🙏
2022-05-16
2