Setelah kami pulang ke rumah hari itu, aku membicarakan hal ini pada ibu. Aku tidak mau menyimpan rahasia soal penyakitnya, ini aku lakukan agar ibu mau menjaga kesehatannya dengan baik. Ibu hanya tersenyum dan mengangguk padahal aku bicara soal itu sambil menangis hebat di pangkuan ibu. Sinta mengelus punggungku, dia ikut berderai air mata.
'Sudahlah. Lagian ibu juga sudah tua. Ibu rasanya capek, Yu'. Begitulah yang ibu katakan. Menjadikan tangisku semakin meraung-raung. Aku mengerti dengan kalimat terakhir itu. Memang tidak mudah menjalani hari tuanya dengan penyakit yang berat. Aku kira ibu hanya sakit jantung saja, tapi ternyata ... penyakit lain bersarang di kepala ibuku.
Dokter bilang, ibu menderita tumor otak, masih stadium satu. Pengobatan bisa dilakukan dengan cara operasi untuk mengangkat sakitnya, tapi tetap saja aku sebagai seorang anak tidak tahan dengan penjelasan itu dan membuat aku down. Apalagi dengan adanya orang lain dalam kehidupanku ini. Aku juga tidak yakin jika Mas Hilman bisa membantu biaya operasi dan juga pengobatan ibu pasca operasi nantinya. Tentunya tidak mudah dari segi biaya untuk ibu melakukan operasi, karena harus menghadirkan beberapa dokter ahli, selain untuk mengoperasi pengangkatan tumor juga untuk menjaga stabilitas jantungnya.
Ingin aku menjaga ibu, tapi ibu sosok yang keras kepala lebih menginginkan aku untuk selalu bersama dengan suamiku. Wanita yang sudah menikah letak surganya ada pada suaminya, begitu lah jika ibu sudah mulai menasehati. Ah aku benar ada di dalam dilema sekarang ini.
Suara pintu terdengar diketuk dari luar membuat aku menghentikan gerakan tanganku pada keyboard di laptop.
"Mbak Ayu. Mbak ...!"
Aku segera bangkit untuk membukakan pintu.
"Ada apa?" tanyaku saat sudah terpampang wajahnya yang manis, tapi terasa menyebalkan bagiku. Entah kapan aku bisa menerima dia menjadi adikku seperti kata Mas Hilman dan juga ibu mertuaku.
"Anu ... Mbak sedang sibuk tidak? Pinggangku pegal, Mbak ...."
"Terus?" tanyaku dengan tatapan tajam ke arahnya. Dia menundukkan kepalanya dengan wajah memelas sedih.
"Pinggang aku sakit, Mbak bisa tolong pijatkan?" tanya Hana dengan lirih.
"Panggil saja Mak Ani. Rumahnya yang cat hijau di ujung jalan. Dia tukang pijat, paham juga sama soal kehamilan, jadi pijat di sana gak akan buat bahaya juga. Aku takut salah," ucapku. Hana menunduk semakin dalam dengan kedua tangan memainkan ujung bajunya hingga kusut.
"Oh begitu ya. Ya sudah ... maaf aku ganggu istirahat Mbak Ayu," ucapnya lalu pergi ke arah kamarnya.
Aku menutup pintu kamar untuk kembali dengan pekerjanku. Aku harus mulai serius dengan apa yang aku kerjakan. Kesempatan yang seperti ini jarang didapatkan. Kapan lagi hanya di rumah mendapatkan uang, seperti orang jaga lilin saja. Tidak terlihat bekerja, tapi pundi rupiah bertambah, hehe ....
Suara pintu terbuka tepat setelah aku baru saja mengirimkan dua bab untuk update. Aku menoleh dan terlihat Mas Hilman datang dengan tergesa menuju ke arahku.
Kenapa dia sudah pulang? Padahal ini masih jam makan siang.
"Yu, kamu kenapa gak mau bantu Hana? Hana sedang merasakan sakit pinggangnya, kenapa kamu suruh Hana pergi ke tukang urut sendirian?" tanya Mas Hilman dengan beruntun saat dia sudah di dekatku. Aku melongo mendengar pertanyaannya. Apakah wanita itu menelepon mas hilman?
"Kamu keterlaluan ya, cuma diminta untuk mengusap pinggangnya saja kamu nggak mau!" serunya dengan nada marah.
Aku menutup laptopku dan bangkit untuk berdiri sejajar dengannya.
"Tadi Hana minta dipijatkan bukan diusap. Dan aku nggak berani, Mas. Ya, aku bilang aja kalau Hana lebih baik dipijat sama Mak Ani. Dia kan lebih ahli, tahu juga dengan masalah kehamilan. Dia lebih bisa berhati-hati!" Aku menjawab dengan sedikit marah kepadanya. Sepertinya apa yang dia minta padaku dan yang dibicarakan kepada Mas Hilman tidak sama.
"Tapi kan kamu bisa yang panggilkan dia ke sini, kenapa kamu harus menyuruh orang hamil yang ke sana?" Mas Hilman sepertinya masih tidak terima.
"Rumahnya juga dekat, Mas. Lagian bagus juga jalan kaki ke sana biar olahraga sedikit. Dia terlalu banyak tiduran di kamar, nggak akan bagus untuk kesehatan dia." Ku jawab saja dengan begitu. Memang pada kenyataannya dia terlalu banyak hanya rebahan. Bukankah hal itu tidak baik untuk kesehatannya dan bayinya?
"Setidaknya kamu bisa temani dia ke sana, kan? Atau antar dia pakai motor. Tidak dengan jalan kaki! Lagian kamu juga ngapain gak mau bantu dia, cuma diam di kamar saja. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan dia?!" Wajahnya terlihat marah. Aku hanya menghela napas dan menatapnya dengan kesal.
"Aku lihat dia baik-baik saja. Gak ada yang salah."
Mas hilman menatapku tajam dengan tatapan tidak suka.
"Iya dia kelihatan baik-baik saja, tapi bagaimana kalau ada sesuatu yang terjadi dengan dia? Kamu mau tanggung jawab?" tanya Mas Hilman lagi. Ucapannya itu terasa menusuk di dalam hati ini. Begitu khawatirnya dia dengan wanita itu. Aku hanya diam, merasakan rasa sakit yang baru saja tercipta karena ucapannya.
"Hah, sekarang susah sekali meminta kamu secara baik-baik!" ucapnya dengan kesal sedikit membentak, lalu dia membalikkan diri dan berjalan ke arah pintu. Di tutupnya pintu itu dengan kasar.
Aku terduduk di tepi tempat tidur. Dulu dia tidak pernah membentak ku, tapi kenapa sekarang mudah sekali untuk dia bicara dengan nada tinggi? Apa aku memang keterlaluan dengan tidak mengantar Hana ke tukang pijat itu?
Terdengar di luar suara mobil yang menyala lalu perlahan suara itu menghilang.
Aku keluar dari kamar dan melihat pintu kamar Hana yang terbuka. Tidak ada orang di sana, mungkin saja suara mobil tadi adalah Mas Hilman yang membawa Hana pergi.
...***...
"Kamu harus makan ini. Tadi kan dokter sudah bilang kalau kamu harus banyak makan buah." Mas Hilman membujuk Hana untuk memakan buah mangga yang sudah ia potong-potong. Sore tadi rupanya mereka pergi ke umah sakit, kulihat Mas Hilman menenteng kantong plastik putih berisi obat yang aku yakin untuk Hana saat mereka berdua masuk ke dalam rumah.
"Nggak mau Mas, gak enak." Wanita hamil itu menolak dengan menepis tangan Mas Hilman.
"Atau kamu mau pisang?" tanya Mas Hilman membujuk lagi. Beberapa macam buah berada di atas meja makan. "Makan pisang ya? Kamu kan susah makan nasi. Kamu harus pikirkan bayi yang ada di dalam perut kamu. Jangan sampai dia kelaparan."
Wanita itu mengerucutkan bibirnya, "Usapkan perut aku, Mas." Dia bicara dengan nada manja sambil menatap suamiku dengan penuh cinta.
Mas Hilman menoleh ke arahku dengan tatapan yang tidak enak.
"Mas, ayo elus perut aku. Aku gak mau makan kalau kamu gak usapin!" rajuknya dengan marah. Bahkan, kini kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Ya ... iya, tapi kamu harus makan ya?" Mas Hilman berkata dengan nada membujuk sekaligus memohon pada wanita itu. Hana mengangguk dengan senang lantas menurunkan kedua tangannya ke samping. Mas Hilman mengusap perut wanita itu dengan gerakan pelan.
"Nah kalau seperti ini kan aku juga enak Mas mau makannya juga. Gak tau kenapa kalau gak di elus sama kamu, rasanya makan juga gak enak!" seru wanita itu lalu dengan cepat dia memakan buah yang tadi Mas Hilman potongkan untuknya. Makan dengan lahap, sekilas aku tidak percaya jika itu beneran, atau itu hanya akal-akalan saja? Tatapan dan senyum wanita itu seperti yang mengejek ke arahku.
"Aku sudah selesai, Mas. Nanti tolong kalau kalian juga sudah selesai, bereskan sisanya, ya." Aku beranjak dari dudukku dengan piring yang masih tersisa sedikit makanan. Rasanya gak tahan jika melihat mereka berkelakuan seperti itu, memang tidak ada salahnya karena mereka itu suami istri yang sah, tapi rasanya tidak etis juga bermesraan di depan istri yang lain.
Kulirik Mas Hilman yang menatap ke arahku, tangannya sempat berhenti bergerak, tapi Hana memaksa tangan itu untuk kembali mengelus perutnya. Aku tidak ingin melihat, tapi sudut mata ini masih saja menangkap apa yang mereka lakukan di depan meja makan.
Tak ingin lama berada di sana, segera saja aku pergi. Lebih baik aku mengalihkan rasa dalam hatiku ini dengan kembali menulis.
Mas Hilman masuk ke dalam kamar. Aku hanya melirik dengan ujung sudut mataku lalu kembali fokus pada hp yang aku pegang.
"Maaf ya, Yu. Soal yang tadi siang itu ...."
"Sudah lah, Mas. Jangan di bahas lagi. Aku juga yang salah, kan?" Aku berkata dengan ketus.
"Kalau ada apa-apa dengan Hana tadi siang, gak apa-apa kamu mau marah sama aku. Memang aku yang salah gak antar dia kesana."
Mas Hilman duduk di dekat kakiku. Dia melabuhkan tangannya di atas lututku, mengelusnya dengan lembut.
"Hana tidak apa-apa. Benar apa kata kamu, dokter bilang dia hanya kurang gerak. Maaf kalau tadi aku membentak kamu," ucapnya dengan lirih.
"Yu," panggilnya, saat aku tidak menggubrisnya. "Aku kangen sama kamu." Mas Hilman semakin mendekat. "Yu!"
Mas Hilman mengambil hp di tanganku dan menjauhkannya dari jangkauan. Dia simpan di ujung kakiku. Wajah Mas Hilman tampak malu dengan sorot mata penuh cinta. Wajah itu terlihat merah mendekat ke arahku. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya dengan wajah yang menggemaskan seperti ini.
Entah ada magnet apa, serasa aku juga tertarik ke dekatnya. Tanpa sadar, bibir kami sudah saling menempel dan ....
Ah ... aku rindu dengan sentuhan ini. Apalagi saat Mas Hilman menarikku dan dia berada di atasku. Semua sentuhan halusnya membuat jiwa ini seperti melayang. Tidak pernah aku dibuatnya kecewa.
Napas hangat Mas Hilman berhembus di bawah hidungku. Satu tangan menahan bobot tubuhnya, sedangkan satu tangan yang lain mulai membuka kancing piyama ku. Tangan hangat itu mulai masuk ke dalam bajuku ....
"Mas!"
"Mas Hilman ... Aduh!" Suara dari luar menghentikan gerakan Mas Hilman, suara ketukan di pintu terdengar pelan. Seketika suamiku ini duduk tegak dan segera berdiri meninggalkan aku yang masih terpekur menatap kesal kepergiannya dari kamar ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Adiba Shakila Atmarini
klakuan pelakor kebngetan ..
2024-02-17
0
Ay Tien tien
modus amat yg hamil😏
2022-11-02
0
Sivak Elyana
emang pengganggu si hana
2022-08-14
0