"Biar aku saja yang buatkan." Mas Hilman mengajukan dirinya, melirik kepadaku dengan pandangan tak enak. Hana masih terisak dengan menggelengkan kepalanya yang tertunduk dengan pelan. Tangannya terlihat bergerak mengusap perutnya yang masih rata.
"Gak mau, Mas. Gak apa kalau Mbak Ayu gak mau buatkan. Aku ke kamar saja. Maaf gak bisa antar kamu berangkat kerja, Mas." Dia berkata dengan lirih, lalu beranjak bangun dan meninggalkan kami. Kulihat dari tempat dudukku dia masuk ke dalam kamar. Susu coklat yang terlihat masih mengepulkan asap tipis kini terabaikan di antara kami.
Aku kembali makan dengan tenang meski rasanya hilang sudah selera makan ku pagi ini. Apa maksudnya dia? Oke, memang permintaan ibu hamil, tapi rasanya aku ....
"Yu, tidak bisakah kamu buatkan makanan untuk Hana. Sekali ini saja. Aku mohon, dia sedari kemarin susah makan. Mau makan pun cuma sedikit. Aku takut terjadi sesuatu dengan janinnya kalau dia gak makan." Mas Hilman meraih satu tanganku dengan nada suara yang memohon. Aku menghentikan makanku lagi dan menatap tajam ke arahnya. Ada sorot rasa tak enak, tapi dia juga merasa bingung sepertinya.
"Maaf, Yu. Aku memang tidak seharusnya meminta hal ini. Tapi aku mohon, kamu pikirkan anak yang ada di dalam perut Hana. Hanya itu. Pikirkanlah kalau dia itu anakku. Kalau untuk Hana ... Kamu boleh masih marah atau benci sama dia, tapi anakku ...." Mas Hilman menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan seperti banyak beban berat yang dia tanggung di dalam hatinya.
"Aku mohon, Yu."
"Mas cinta sama Hana?" Aku bertanya kepadanya, akan terasa menyakitkan dalam hati jika jawaban dia adalah 'iya'.
Mas Hilman menggelengkan kepalanya. "Yang aku cinta cuma kamu, Yu. Hana hanyalah tanggung jawabku sekarang," jawabnya dengan pelan. Ada ketulusan dan kebenaran dari sorot matanya, tapi kadang hati ini ingin tertawa. Tidak ada cinta, tapi bagaimana dia bisa melakukannya dengan orang lain? Apa aku sudah tidak hebat lagi di ranjang? Apa aku sudah membosankan untuknya? Apa pelayananku kurang maksimal?
Setidaknya dia tidak berbuat dosa dengan orang lain.
"Jujur sama aku, Mas. Kamu bahagia punya anak dengan Hana?" tanyaku lagi. Wajah Mas Hilman datar, tapi dia menganggukkan kepalanya. Aku menghela napas berat. Bukan berat karena anak itu, tapi aku merasa aku bukan wanita yang sempurna untuk suamiku. Kenapa sampai saat ini aku belum punya keturunan?
"Aku bahagia dengan adanya anak, tapi Hana ... Aku juga masih mencoba untuk bisa terima dia. Aku akan lebih bahagia lagi kalau punya anak dari kamu."
Perkataan itu membuat aku semakin luka. Kapan dan kapan. Tak hentinya aku berdoa kepada Tuhan untuk dihadirkan nyawa lain di rahimku. Atau ... Apakah aku memang tidak akan bisa mempunyai anak? Tujuh tahun berumah tangga, tak ada satupun tanda pada diriku seperti pada Hana kemarin itu.
Mas Hilman berhak mendapatkan apa yang dia mau meski bukan dari aku. Setidaknya, dia memang anak Mas Hilman, seperti yang ibu mau.
Aku beranjak bangkit hingga pegangan tangan Mas Hilman terlepas. Dia menatapku dengan bingung saat aku mulai menjauh darinya. Dengan segera aku mengambil talenan dan bumbu untuk membuatkan wanita itu makanan yang dia mau. Aku lakukan ini semata-mata hanya untuk anak itu, anak Mas Hilman.
Sepasang tangan besar melingkar di perutku. Rambutku dia sibakkan ke samping hingga dengan leluasa dia menempelkan bibirnya di belakang telingaku.
"Terima kasih, Yu. Terima kasih kamu sudah mau melakukan ini buat Hana." Bisiknya dengan suara yang bergetar. Pelukannya semakin erat melingkar di tubuhku.
"Aku lakukan ini buat anak kamu. Bukan buat dia!" Seruku dengan mengeratkan gigi ini. Tanganku tak henti mengiris bawang merah tipis-tipis.
Pintu kamar mandi tiba-tiba terdengar di tutup dengan kasar, lalu disusul suara seseorang muntah terdengar dari dalam. Suaranya terdengar menyedihkan, terdengar seperti kesakitan.
Tak sadar kapan Mas Hilman melepaskan pelukannya dariku, dia sudah ada di depan pintu kamar mandi dan kemudian masuk dengan tergesa.
Begitu khawatirnya kamu dengan dia, Mas. Aku mengusap perutku yang selalu datar. Entah sampai kapan aku harus bersabar lagi dengan keadaan diriku yang tidak sempurna.
"Terima kasih ya Mbak, sudah mau buatkan yang aku minta." Hana tersenyum dari pembaringannya di atas kasur saat aku menyimpan sepiring nasi goreng dan susu yang tadi belum dia habiskan di atas nakas. Mas Hilman sedang duduk di sampingnya dengan mengelus perut Hana yang masih terlihat rata. Wangi aroma kayu putih menyeruak di ruangan ini. Jujur aku cemburu dengan perlakuan suamiku itu kepada wanita ini. Andai aku yang hamil, mungkin aku menjadi satu-satunya yang dia khawatirkan dan dia perhatikan.
"Aku buatkan untuk anak Mas Hilman!" ucapku lalu dengan cepat berbalik dan keluar dari kamar itu. Tidak ingin semakin sakit melihat sepasang suami istri itu.
Mas Hilman berangkat bekerja sedangkan aku kembali masuk ke dalam kamar. Tidak ada pekerjaan rumah lagi, karena aku dan Mas Hilman sudah berbagi tugas tadi. Seharusnya Hana juga ikut andil dalam tugas pembersihan di rumah, tapi Mas Hilman melarang wanita itu dan jadilah aku dan Mas Hilman yang membereskan rumah.
Aku kembali dalam duniaku. Sekarang dunia halu lebih menyenangkan daripada dunia nyata. Aku bisa bebas menyiksa pelakor yang ada di dalam ceritaku. Ah, andai aku juga bisa melakukan seperti yang ada di dalam novelku, sepertinya aku akan bahagia. Sayang, ini dunia nyata. Apa jadinya kalau aku menyiksa Hana. Bukan aku yang akan mendapat simpati dari orang lain, tapi dia yang akan berada di atas angin apalagi dengan kehamilannya kini.
Bukan tanpa sebab aku kembali tinggal di rumah ini. Aku ingat saat itu, saat dokter memanggilku ke ruangannya.
'Mbak Ayu tau kalau Ibu Mbak Ayu sedang sakit parah?' tanya Dokter saat itu kepadaku, nadanya sedikit tidak enak untuk di dengar. Kedua tangannya memilih dan memilah kertas yang ada atas meja.
'Iya, tau. Memangnya ada apa lagi dengan Ibu? Tidak ada hal yang serius sekali kan, Dokter?' tanyaku kepada dokter. Terlihat kedua tangan itu berhenti dan dokter menatapku dengan sorot yang membuat aku bingung.
'Sepertinya Mbak Ayu tidak tau ya. Beberapa kali Ibu Mbak Ayu mengalami mimisan, apa Mbak Ayu gak tau? Atau mungkin tidak ada yang bicara soal itu?' tanya dokter lagi yang membuat aku semakin kebingungan saat itu. Ada rasa takut juga yang aku rasakan di dalam hati ini.
'Memangnya kenapa ibu saya mimisan? Apa itu bahaya?' tanyaku semakin bingung. Sungguh tidak ada yang mengatakan hal itu. Bahkan, Sinta pun tidak mengatakan hal itu.
Waktu itu, dokter menghela napasnya. Kulihat ada sesuatu yang berat untuk dia sampaikan kepadaku.
'Ada apa? Apa Dokter tau yang lain soal Ibu?' Tanyaku lagi.
Dokter muda itu menyodorkan kertas yang ada di tangannya. Aku tidak mengerti dengan apa yang ada di sana.
'Saya ingin meminta izin sama Mbak Ayu, selaku pihak keluarga yang menjadi wali, untuk melakukan CT scan kepala pada Ibu Mbak Ayu.'
Aku terlonjak kaget saat itu. 'CT scan? Untuk apa? Dokter ibu saya sakit jantung, kenapa harus CT scan?' tanyaku dengan nada bergetar.
'Saya mendiagnosis kalau Ibu Mbak Ayu bukan hanya sakit jantung saja. Tapi saya sudah bertanya pada dokter yang bersangkutan. Dan kami sepakat untuk meminta izin dari Mbak Ayu untuk dilakukan CT scan untuk Ibu Mbak. Tentunya dengan izin dari Mbak Ayu. Kami ingin memastikan dengan benar. Semoga saja analisis saya selama ini salah.'
.
.
.
.
.
Jangan lupa like dan komen ya. Like dan komen kalian membuat othor semangat buat up. Ayo berikan suntikan semangat buat othor 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Silfia Ratu
Thor BS GK kk di bagian ibu ayu agak di persingkat jgn terlalu bertele-tele 🙏
2022-08-14
0
A
gemesss banget baca ni novel,istri pertama jadi korban terus,di mana2 pelakor selalu menang,si cowok nya ga punya hati juga,jadi geregetan pengen pites2 tu cowok😠
2022-05-27
1
Vita Akas
maaf ya Thor q bacanya tak lewat lewati Krn terkadang eneg baca part ayu yg terlalu lemah
2022-04-22
0