Suara jam berdetak terdengar di telinga. Malam yang sunyi membuat suara yang kecil pun terdengar dengan jelas. Bahkan, suara derap langkah kaki yang cepat dari luar ruangan terdengar hingga kemudian suara itu menghilang kembali.
Aku belum bisa memejamkan mata. Seringkali melirik ke arah jam yang ada di dinding kemudian beralih ke arah pintu. Namun, pintu itu tidak pernah terbuka semenjak kepergiannya yang terburu-buru.
Ini sudah hampir jam sebelas malam, rasanya tidak mungkin jika dia akan kembali ke sini. Bahkan, tidak ada kabar sama sekali darinya. Ponselku pun hanya menjadi penghuni tas, belum aku keluarkan lagi setelah panggilan dari Mas Hilman tadi.
Aku melipat kedua tanganku di atas ranjang di samping tangan ibu, tidak ingin lagi berharap untuk dia datang kemari. Biarkan saja dia mau datang atau tidak. Sepertinya aku harus belajar untuk tidak peduli padanya.
Aku menghela napas dengan kasar lalu mulai menundukkan kepalaku di atas kedua tanganku yang terlipat. Dengan mengucap bismillah setelah itu aku mulai memejamkan mataku.
Usapan lembut di kepala membuat aku terusik dari tidurku. Rasanya sungguh mengganggu sekali di kala tubuh ini terasa lelah. Aku membuka mataku dengan malas.
"Ibu?!" Aku terhenyak saat membuka mata, ibu tengah tersenyum ke arah ku. Wajahnya tidak sepucat semalam.
Ku usap kedua mata ini hingga aku bisa melihat dengan jelas suasana di luar yang sudah mulai terang.
"Kamu kenapa ada disini?" tanya ibu.
"Semalam sinta telpon aku bu, aku langsung datang ke sini. Ibu kenapa sih kok pingsan terus?" Mataku mulai panas hingga ku tidak kuasa untuk menahan laju air mata ini. Aku memang cengeng. Tidak bisa menahan perasaanku apalagi ini mengenai bu.
"Ah, ibu nggak papa kok. Ibu cuma lelah aja. Sinta saja yang terlalu khawatir sampai bawa ibu ke sini. Maaf ya, ibu jadi buat kamu sedih, Yu." Ibu mengusap pipiku dengan terus sambil senyum di wajahnya. Aku menahan tangan ibu dan mencium telapak tangannya beberapa kali.
Dokter datang menghentikan aksi ku kepada ibu. "Mbak Ayu ada di sini? Sejak kapan?" tanya dokter itu seraya berjalan mendekat ke arah kami.
"Semalam aku ke sini dokter. Kasihan Sinta kalau menunggu ibu semalaman." Dokter mengangguk mendengar jawabanku.
"Bagaimana keadaan Ibu sekarang?" tanya dokter itu kepada ibu. Ibu tersenyum sambil mengangkat tubuhnya yang ini bersandar ke kepala brankarnya. Aku membantu ibu untuk menaikan bantal di punggungnya.
"Baik, saya baik, Dokter. Terima kasih."
"Saya periksa dulu ya Bu, sebentar." Dokter itu meminta izin untuk memeriksa ibu. Aku meyingkir dari dekat ibu untuk memberi ruang kepada dokter itu. Dengan segera dokter melakukan tugasnya dengan baik. Aku hanya bisa melihat apa yang dilakukan dokter itu kepada Ibu.
"Nanti Ibu makan dengan suster tidak apa-apa?" tanya dokter kepada Ibu. "Saya minta izin juga Mbak Ayu untuk ke ruangan saya." Dokter itu tersenyum ramah kepada ibu.
"Iya dokter."
"Mbak Ayu bisa kan ke ruangan saya?" tanya dokter itu.
"Iya Dokter, tapi saya ke toilet dulu. Saya baru saja bangun." Aku bicara sambil menutupi mulutku, takut jika dokter akan mencium aroma mulutku yang kurang sedap akibat baru bangun. Dokter itu tersenyum dengan ramah lalu menganggukkan kepalanya. Dokter pergi ke luar sedangkan aku pergi ke kamar mandi.
"Yu, Dokter baik ya." Ibu tiba-tiba bicara seperti itu saat aku baru mengelap wajahku dengan menggunakan handuk.
"Kalau saja ibu punya anak gadis yang lain Ibu akan jodohkan saja dia dengan dokter ini." Ibu terkekeh. Aku menggelengkan kepalaku.
"Ya sudah. Sinta saja yang ibu jodohkan dengan dokter. Kan Sinta anak ibu juga." Aku kini terkekeh kepada Ibu. "Ayu ke ruangan dokter dulu ya, Bu." pamitku, tapi sebelum pergi aku meraih gelas ibu untuk aku minum. Haus dan juga ... untuk semakin meyakinkan jika aroma mulutku tidak akan membuat lawan bicara pingsan.
Pintu ruangan dokter aku ketuk beberapa kali dan aku buka setelah suara dari dalam mengizinkanku untuk masuk ke dalam.
"Dokter." Aku menyapa dokter dengan sambil menutup pintu ruangannya. Dokter tersenyum sambil mengisyaratkan dengan tangannya untuk aku duduk di depannya.
***
"Yu kamu sudah dua hari disini. Apa tidak sebaiknya kamu pulang ke rumah? Hilman kesiha loh Yu, gak ada yang urusin." Ibu protes saat aku sedang memasakkan makan siang untuk ibu.
Aku menoleh tanpa menghentikan laju tanganku yang sedang mengaduk sayur sop di dalam panci.
"Gak apa-apa, Bu. Ayu sudah telepon mas Hilman dan Mas Mas Hilman tidak keberatan kok Ayu di sini sampai Bu sembuh." aku kembali mengalihkan pandanganku kepada sayur yang aku masak, merasai kuahnya dari sendok sayur. Aku tidak berbohong dengan hal ini. Aku memang sudah menelepon Mas Hilman dan dia bilang aku boleh menjaga ibu. Ah pikiranku, terkadang memikirkan hal yang aneh-aneh dengan izin yang dia berikan kepadaku. Mungkin kalian mengerti apa maksudku.
"Tapi kasihan loh Hilman. Kamu itu terlalu sering menginap di sini dan itu tidak baik Yu. Hilman sendirian di rumah gak ada yang ngurusin. Wanita yang menikah itu harusnya mengurusi suami."
"Bu bisa nggak sih jangan ngobrolin soal itu, Ibu itu sedang sakit dan Ayu mau urus Ibu. Ibu usir Ayu?" Aku kesal menatap ke arah ibu.
"Bukan Yu. Ibu kan cuma bilang kalau Hilman kasihan ditinggal sama kamu. Dia itu suami kamu. Ibu kan Cuma tidak enak hati sama Hilman kamu sampai meninggalkan dia untuk urus ibu di sini." Nada suara Ibu terdengar sedih. Lalu aku menyadari sesuatu kalau mungkin kata-kata aku terlalu kasar dengan Ibu tadi.
"Maafin Ayu Ibu. Ayu gak sengaja bentak Ibu tadi." Aku berlutut di hadapan ibu, wajah Ibu yang lelah dengan kondisi lemah harusnya aku tidak melakukan hal itu kepada Ibu tadi.
Ibu mengusap rambutku beberapa kali dengan senyum tersungging di bibirnya. "Tidak apa-apa, setelah makan siang lebih baik kamu pulang ya. Bukan ibu mau usir kamu, tapi tidak baik meninggalkan suami lama-lama." Ibu menasehati, aku hanya mengangguk pasrah.
Setelah makan siang aku kembali ke rumah dengan menggunakan motorku. Rasanya memang berat meninggalkan ibu dengan Sinta, tapi mau bagaimana lagi Ibu juga keras kepala untuk aku pulang ke rumah padahal aku masih ingin mengurus ibu.
"Aku nggak mau Mas!" Terdengar suara seruan dari arah belakang saat aku membuka pintu rumah yang tidak terkunci.
"Aku nggak mau makan itu! Aku mual, Mas. Aku gak kuat!!" Seru suara itu lagi yang aku dengar dengan nada sedikit kesal.
"Hana. Mas mohon kamu mau makan ya. Sejak tadi pagi kamu gak makan apa-apa. Aku takut kalau sampai ada apa-apa dengan kamu dan anak kita!" Aku berhenti melangkahkan kaki ini mendengar ucapan Mas Hilman barusan yang terdengar dengan memohon kepada wanita itu. Hati ini rasanya sangat sakit mendengarnya. Kalimat terakhir membuat aku merasa sesak dan sulit bernapas.
.
.
.
.
.
.
Minta like dan dukungannya ya. Biar othor semangat buat lanjutkan kisah ini. 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Ari Peny
dgn pisa ayu bisa jaga ht byk orang y
2022-12-28
0
guntur 1609
ayu yang bodoh. thor mana jodoh yg lain tk ayu
2022-11-08
0
Yanah Saryanah
emang bodoh dan naif si ayu...
2022-08-06
0