Suara pintu terdengar berderit, cahaya lampu dari ruang tamu mengenai lantai kamar, memberikan sedikit terang di kamar yang gelap ini. Cahaya itu kembali menghilang lalu setelah itu terasa kasur yang ada di sebelahku bergoyang. Sentuhan lembut tangan di punggung terasa hangat.
"Yu. Maafkan dengan ucapan ibu. Aku nggak menyangka ibu akan berbicara seperti itu sama kamu," ucap Mas Hilman masih terus mengusap punggung ku dengan lembut. Aku mengalihkan wajahku ke arah lain. Tidak ingin menatap Mas Hilman maupun bangkit untuk berbicara dengannya. Mata ini sudah sembab karena menangis, ucapan ibu memang sungguh membuat aku terluka.
"Apa salah aku sih, Mas? Aku juga gak mau seprti inti, Mas. Aku juga ingin punya anak. Kenapa ibu gak ngertiin posisi dan juga perasaan aku sih?" tanyaku beruntun tanpa menoleh kepadanya. Air mata ini terus saja mengalir membasahi bantal yang aku pakai untuk menenggelamkan wajah ini.
"Yu, Aku juga gak suka ibu bicara seperti itu sama kamu."
"Lalu? Apa kamu membela aku di depan ibu mu? Ibu akan mengerti dan minta maaf dengan ucapannya yang menyakitkan itu?" tanyaku kepada Mas Hilman dengan emosi, kini aku memutar kepalaku menatap dia yang hanya menunduk tak berdaya.
"Aku sudah coba sabar ya Mas hadapin ibu kamu, Aku juga udah coba ikhlas terima Hana karena kekurangan aku dan juga aku mencoba untuk sabar dengan kelakuan dia yang seperti anak kecil. Aku sudah sabar, Mas!!" teriakku pada Mas Hilman.
"Bisa gak sih ibu gak bilang seperti itu sama aku? Ibu malah membuat aku sakit hati. Aku memang wanita yang belum sempurna sebagai seorang istri, Aku memang belum bisa kasih keturunan buat kamu, tapi Ibu juga harusnya gak usah bicara begitu sama aku, Mas!" Aku berteriak mengungkapkan rasa sesak yang ada di dalam hati ini. Terserah Mas Hilman akan menganggapku seperti apa. Aku benar-benar kecewa dengan sikap ibu kepadaku.
"Maafkan ibu Yu. Aku akan bicara sama ibu."
"Mungkin ibu benar Mas. Harusnya kita selesai saja. Rasanya aku nggak akan kuat dengan ucapan ibu yang seperti ini terus." Tangisku semakin menjadi-jadi. Tidak kuat hati ini menahan rasa sakit.
"Yu aku mohon jangan bilang seperti itu. Aku yakin ini hanya awalnya saja, nanti ibu pasti akan terbiasa dan ibu nggak akan bilang seperti itu lagi aku akan bicara sama ibu, supaya ibu tidak mengungkit soal anak lagi dari kamu." Mas Hilman memohon kepada aku, tangannya yang kekar memegang tanganku. Tatapan matanya sendu.
"Justru itu Mas, justru ini baru awalnya, bagaimana dengan nanti? Apalagi kalau aku tidak lekas hamil juga?" tanyaku kepada Mas Hilman dengan penuh penekanan.
"Enggak yuk, aku akan yakinkan ibu bagaimanapun caranya. Aku mohon aku nggak bisa jauh dari kamu."
"Nyatanya kamu sudah melakukan itu Mas!"
" Aku tahu aku salah, aku minta maaf."
Aku mengusap air mata ku yang masih mengalir. Entahlah aku bingung. Meski pernikahan ini memang salah, tapi Hana tetaplah istri Mas Hilman. Wanita itu juga berhak akan suamiku. Aku hanya bisa menarik lutut ku dan menyembunyikan wajah ini di sana.
Dalam hati aku selalu mengatakan aku harus kuat, tapi nyatanya aku tidak bisa. Aku ini hanya wanita lemah, yang tidak bisa berpura-pura kuat. Aku akan menangis juga.
"Hilman!" Suara ibu terdengar memanggil dari luar.
"Hilman!!" kali ini terdengar lagi sedikit lebih keras dari pada yang tadi. "Ke sini bu mau bicara!" Ibu berseru lagi
"Iya Bu." Mas Hilman sama berteriaknya kepada ibu.
"Aku akan menemui ibu dulu, nanti kita bicara lagi ya. Aku mohon, aku nggak mau jauh dari kamu Yu. Jangan pikirkan soal perceraian." pintanya sebelum dia beranjak bangkit dan keluar dari kamar ini.
Aku memeluk lututku dengan erat dan kembali menangis terisak. Entah aku memang bodoh atau bagaimana, aku tidak bisa mencari jalan keluarnya.
Suara telepon berdering, aku segera mengambil hpku yang ada di atas nakas. Panggilan dari Sinta.
Sebelum menekan icon hijau aku menyusut air mata di pipi dan berdehem untuk menormalkan suaraku.
"Iya Sin?" Tanya ku setelah mengangkat panggilan itu.
"Mbak Ayu, Bude pingsan lagi. Ini lagi dibawa ke rumah sakit."
Ada apa lagi ini ya Gusti?!
Tidak banyak yang Sinta bicarakan. Dia hanya mengatakan ibu di bawa ke rumah sakit mana. Gegas aku mengakhiri panggilanku dan segera menyambar kunci motor yang ada di dalam laci nakas. Ku ambil jaket yang tergantung di pintu, cukup tebal untuk menghalau angin malam jalanan.
Terdengar ibu sedang berbicara dengan Mas Hilman di ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan aku tidak bisa mendengarnya, pikiranku sedang kacau. Hana juga ada di sana duduk di samping ibu. Mereka terdiam saat aku baru saja menutup pintu kamar, menatapku dengan tatapan yang aneh.
"Mau kemana kamu Yu?" Tanya Mas Hilman kepadaku.
"Ke rumah sakit. Ibu pingsan." Jawabku dengan cepat lalu aku bergegas keluar dari rumah.
Segera kulajukan motor ini ke arah rumah sakit yang Sinta sebutkan tadi.
Keadaan ibu semakin memburuk, entah apa lagi yang ibu pikirkan sampai ibu bisa pingsan seperti ini. Dalam satu bulan ini entah berapa kali Ibu sudah pingsan, aku sangat khawatir dengan keadaan ibu.
Aku duduk di samping ibu yang masih tertidur, ibu sempat siuman dari pingsan nya lalu ibu tertidur akibat obat yang diberikan oleh dokter.
"Mbak, maaf. Tadi Sinta panik sampai menghubungi Mbak." Ku lirik Sinta yang juga duduk di samping ibu, kepalanya tertunduk, jari-jari tangannya saling meremat satu sama lain. Sinta terlihat tidak enak kepadaku.
"Sudahlah Sin, yang kamu lakukan memang benar. Kamu harus menghubungi Mbak kalau ada kejadian seperti ini. Mbak yang menyesal tidak bisa menjaga ibu dengan baik." ucap ku sambil mengelus tangan ibu.
Suara dering telepon terdengar dari satu jaket ku, segera aku mengeluarkan yang dan melihat nama yang tertera di sana, Mas Hilman.
"Mbak keluar dulu ya." Aku berdiri. Sinta mengganggukkan kepalanya.
Di luar ruangan ibu, aku duduk di deretan bangku. Kemudian aku mengangkat panggilan dari suamiku.
"Ayu kamu di rumah sakit mana?" Dia bertanya langsung kepadaku. Aku jawab saja rumah sakit di mana tempat kami berada saat ini.
"Aku akan menyusul kamu!"
Panggilan berhenti sepihak, aku hanya tertegun melihat layar hpku yang kini menghitam.
Yakin tidak ada telepon lagi aku masuk ke dalam ruangan.
"Sin kalau kamu mau pulang tidak apa-apa. Mas Hilman sebentar lagi juga akan datang ke sini." Ucapkku kepada sinta.
"Mbak nggak papa ditinggal?" Aku menggelengkan kepala. Kasihan Sinta, dia ikut khawatir dengan keadaan ibu padahal seharusnya aku yang mengurusi ibu sehat maupun sakitnya.
Sinta pulang karena besok dia harus kuliah pagi. Tinggal aku menunggu sendirian di sini.
Tak lama Mas Hilman datang. raut wajahnya terlihat khawatir. Dia berjalan mendekat kearah kami.
"Bagaimana keadaan ibu?" tanya Mas Hilman, nafasnya terengah-engah dengan dada yang naik turun.
"Ibu sudah tidur, Aku nggak tahu Mas keadaan ibu sekarang seperti ini. Aku takut!" aku bicara jujur dengan dia. Satu tangannya mengelus bahuku dengan lembut.
Memang aku sangat takut kehilangan sosok ibu. Lalu teringat lagi akan keputusanku tadi untuk meminta cerai dari dia. Apa yang akan terjadi jika ibu tahu aku bercerai dari Mas Hilman?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Astuty
udah yu terus terang aj sama ibu. tadi pada sakit hati.
2022-12-26
0
cerita cinta
cerai z sih knpa aq ksel deh jadinya udah gitu tuh mertua merongrong trus d tmbah c'racun yg udah berbdan 2... ich... nya cerai z udah biar ga skit hti lg
2022-08-18
0
Nurmayanti 🌽🍇
perasan seorang ibu pasti tahu kalau nak y tidak dalam baik2
2022-07-30
0