Dua bulan, Hana masih saja tinggal disini. Mas Hilman belum juga menemukan rumah untuk dia. Aku sudah membantu untuk mencarikan rumah untuk wanita itu, tapi terlalu banyak sekali untuk maduku itu beralasan. Takut-lah, sepi-lah, tidak mau sendiri. Bahkan, ibu mertua juga turut mengatakan banyak sekali alasan dan juga pembelaan untuk wanita muda itu.
'Apa salahnya sih kalau dia di sini? Kalian kan bisa hidup bersama dalam satu rumah, kenapa kamu tidak bisa? Kamu nggak kasihan sama Hilman? Pengeluaran dia semakin banyak kalau Hana mengontrak rumah lagi. Belum lagi dia harus memikirkan pengobatan ibu kamu dan juga biaya pendidikan adik Hana.' Ibu mertua berkata seperti itu padaku saat Hana mengatakan keluh kesah nya yang tidak mau tinggal sendirian waktu itu.
'Aku kan takut sendirian, Mbak.' Wanita itu juga berkata dengan wajah memelas saat itu.
'Kalau tahu pengeluaran semakin banyak kenapa juga harus menikah lagi?' Aku berkata dengan ketus kepada ibu. Terlihat ibu marah saat mendengar ucapanku waktu itu dan aku melengos begitu saja dari sana tidak ingin lagi mendengar omelan ibu yang tertuju kepadaku. Jelas sekali aku dengar kalau ibu mengatakan aku cerai saja dengan Mas Hilman jika takut jatah ku berkurang.
Jatah perbulan untukku sudah pasti juga ikut terpotong karena Mas Hilman kini punya ATM lain yang harus dia isi. Sebagian untukku dan sebagian untuk Hana. Untuk orang tua kami jelas Mas Hilman lebih banyak memberikannya untuk keluarga Hana. Hana masih mempunyai dua adik yang masih bersekolah. Ayah dan ibu Hana hanyalah petani biasa, katanya pendapatan mereka hanya bisa untuk makan sehari-hari.
Mas Hilman baru saja pulang dari kantor. Dia sedang membuka dasinya dan aku menggantungkan tas dan menyimpan sepatunya di rak sepatu di balik pintu.
"Mas kapan kamu akan bawa Hana keluar dari sini?' tanyaku pada Mas Hilman.
Aku mungin bukan istri yang baik karena menanyakan hal itu di saat suamiku bahkan belum duduk dari pulang bekerjanya. Wajahnya terlihat lelah, matanya sayu tak bercahaya menatap ke arahku. Dia menyerahkan dasi berwarna biru kepadaku.
"Aku masih cari, Yu. Ada juga yang kemarin itu, kan jauh dari sini," ucapnya. Nada suaranya terdengar lelah.
"Ya terus mau sampai kapan dia disini, Mas. Aku gak sanggp kalau lama-lama dia ada disini." Aku mencoba mengutarakan perasaan aku.
"Yu, apa tidak bisa kamu dan ia hidup satu rumah?" tanya Mas Hilman padaku, dia mulai membuka satu persatu kancing bajunya.
"Enggak, Mas. Kamu ngerti gak sih, gimana perasaan aku kalau lihat dia selalu begitu sama kamu. Aku nggak suka sama dia dia itu terlalu manja sama kamu, aku nggak suka Mas!" Ucap ku dengan ketus.
Mas Hilman menghentikan laju tangannya, dia mendekat ke arah ku dan merangkul pinggangku dengan kedua tangannya. Tubuh kami saling berdekatan memberikan kehangatan satu sama lain. Dia menatap mataku dengan senyum menyeringai di bibirnya.
"Kamu cemburu?" Mas Hilman bertanya masih dengan tersenyum matanya menatapku dengan sorot berbinar.
"Tidak!" Aku memalingkan wajahku ke arah lain.
"Masa? Padahal tadi aku kira kamu cemburu loh!" Dia tertawa terkekeh, memeluk diriku lebih erat lagi. Mas Hilman lalu menunduk merebahkan kepalanya di bahu ku.
"Aku tidak pernah lihat kamu cemburu seperti ini. Tapi aku senang dengan adanya Hana, aku bisa lihat kamu yang sedang cemburu." Mas Hilman berucap seperti itu tanpa mengangkat kepalanya, dia malah sibuk mengecup leher ku. Geli rasanya.
Aku melingkar kan kedua tanganku di lehernya, memeluk suamiku dengan erat. Perlahan bulian air mata mengalir menetes di pipi. Aku terisak. Sesak rasanya. Rasa di dalam hati ini sangat sakit, tapi aku tidak mampu untuk mundur.
Mas Hilman pun memeluk diriku dengan erat tanpa berbicara suatu apapun. Kami hanya saling berpelukan dengan erat beberapa saat.
"Sudah ya jangan nangis. Aku minta maaf dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini." ucapnya.
"Aku tahu Mas, bukan salah kamu juga. Ini karena aku yang belum mampu untuk memberikan keturunan untuk kamu. Jika saja aku ... aku bisa hamil, kamu ... pasti nggak akan menikah lagi dengan wanita lain. Dan kita ... pasti ... kita sudah hidup bahagia." Aku menangis dengan keras di pelukan suamiku. Usapan lembut terasa di punggung ku beberapa kali.
"Aku minta maaf, aku nggak bisa menolak keinginan ibu. Ini salahku juga, aku bingung saat itu, Yu." Kami berdua sama-sama terisak tanpa merasa malu. Meratapi takdir yang harus kami jalani saat ini.
"Mas pasti akan secepatnya mencarikan rumah untuk Hana, tapi kamu sabar, ya." Aku mengangguki permintaannya.
Kami sama-sama tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tahu persis sifat ibu bagaimana, dia wanita yang keras kepala. Dan aku juga menyadari seperti apa kekuranganku ini. Semua sudah aku pikirkan dan aku putuskan aku akan bertahan.
"Huweeekk!"
Aku dan Mas Hilman melepas pelukan kami saat mendengar suara aneh yang terdengar dari luar. Suara itu terdengar kembali tapi kini lebih lirih dari yang tadi. Aku dan Mas Hilman terdiam kami saling berpandangan.
Mendengar suara itu hatiku jadi kacau. Tiba-tiba saja beberapa pemikiran terlintas di dalam kepalaku. Mungkinkah...?
Ah ... bagaimana ini?
Suara itu terdengar kembali, kini terdengar memanggil nama Mas Hilman. Mas Hilman kemudian berlari ke arah luar tanpa menutup pintu kamar. Dia berlari dengan sangat cepat meninggalkan aku yang kini berdiri menatapnya menghilang di balik tembok.
Dengan langkah pelan aku berjalan ke arah asal suara yang masih berada di dalam kamar mandi, pintunya terbuka. Suara itu terdengar menyakitkan. Kulihat Mas Hilman sedang menepuk pundak Hana, satu tangannya yang lain menahan rambut wanita itu agar tidak terjuntai ke lantai. Hana sedang berjongkok di depan toilet.
Tidak kuat melihat hal itu aku membalikkan badan dan menempelkan punggung ku di dinding luar kamar mandi. Resah hati ini semakin tidak karuan.
Aku bukan anak gadis yang tidak tahu apa-apa. Sepertinya aku tahu apa artinya ini, wanita yang telah menikah, yang telah bercampur dengan suaminya, lalu muntah-muntah. Ya allah ... hal yang belum pernah aku rasakan selama tujuh tahun ini.
Dalam hati kecilku, aku berharap dia hanya sedang sakit, masuk angin biasa. Apa aku jahat kalau aku mengharapkan itu?
...***...
"Kamu hamil? Alhamdulillah!" Ibu mertuaku, datang setelah mendapatkan kabar dari Mas Hilman setelah kepulangan mereka dari dokter. Kini ibu sedang duduk di samping tempat tidur sedangkan Hana berbaring di sampingnya. Wajah ibu berseri, tangannya mengelus perut Hana yang masih terlihat rata.
"Akhirnya yang ibu tunggu tunggu datang juga. Terima kasih ya Gusti." Ibu berucap syukur.
"Tuh, Yu. Ibu kan pernah bilang Hilman tidak bermasalah. Buktinya ini Hana bisa hamil. Lah kamu? Sudah sangat lama dengan Hilman kok belum juga hamil. Masih berani kamu mengatakan kalau anak saya yang bermasalah?" Sindir ibu kepadaku. Aku yang berdiri di dekat pintu, sedang Mas Hilman berdiri di dekat ibu.
"Apa yang Ibu bilang, sih?" tanya Mas Hilman.
"Itu loh, Man. Ayu pernah bilang kalau kamu yang bermasalah, lah ini buktinya Hana bisa hamil. Berarti yang bermasalah di sini siapa? Yang jelas bukan kamu, kok." Ibu menyindirku lagi. Aku hanya menggigit bibirku sambil merasakan dalam hati yang tidak karuan. Sakit.
"Sudah lah bu. Keadaan wanita kan memang berbeda. Mungkin memang aku dan Ayu memang ditakdirkan untuk telat mempunyai keturunan. Tidak ada yang bermasalah di sini. Dokter juga bilang kan kalau Ayu tidak pernah ada masalah. Mungkin memang Gusti Allah belum memberikan rejeki kepada kami."
"Jangan selalu membela istri kamu itu, Man. Sudah jelas dia tidak bisa memberikan keturunan untuk kamu, di juga mengira kalau kamu bermasalah dan tidak akan mempunyai anak. Masih kamu membela dia? Istri macam apa yang mengatakan suaminya tidak bisa mempunyai anak?!" Aku menatap ibu tidak percaya.
"Bu, Ayu nggak pernah bilang seperti itu. Ayu kan dulu cuma bilang, kalau Mas Hilman tidak pernah mau ikut ke dokter untuk diperiksa. Ayu nggak pernah bilang kalau Mas Hilman bermasalah!" Aku berseru berkata seperti itu kepada ibu.
"Halaaah, sudahlah. Pada intinya sama saja, kan?!" Ibu berkata sambil mendelik ke arahku, lalu beliau kembali sibuk kepada menantu barunya itu.
"Mulai sekarang kamu jangan terlalu capek ya, biar saja Ayu yang kerjakan semua pekerjaan rumah. Ibu pokoknya nggak mau kalau menantu Ibu capek, Ibu takut kamu dan anak kamu ada apa-apa. Dengar kamu Yu? Mulai saat ini jangan limpahkan pekerjaan yang berat kepada Hana!" Ibu memberi peringatan kepada ku tanpa menoleh sama sekali.
"Bu jangan seperti itu, dong. Ayu kan juga sama-sama menantu ibu. Ibu nggak boleh membedakan dia dengan Hana." Pinta Mas Hilman.
"Ya bedalah. Hana kan sudah mengandung anak kamu. Ya Ibu nggak mau lah sampai Hana ada apa-apa karena kelelahan. Ibu sudah lama menunggu anak dari kamu Hilman!" Seru ibu kepada anak keduanya itu dengan tegas.
Sekali lagi, rasa sakit di dalam hati ini bertambah. Entah aku harus bagaimana. Harusnya aku senang mendengar kabar bahwa Mas Hilman akan mempunyai keturunan, tapi aku juga sekaligus tidak menyukai itu.
"Pokoknya mulai saat ini, kamu harus lebih perhatian sama istri kamu yang tengah mengandung ini. Kamu harus perlakukan dia dengan baik Hilman. Jangan lagi cuek. Wanita hamil itu harus disayang, harus banyak diperhatikan, jangan sampai dia banyak pikiran. Kamu juga Yu, sebagai istri pertama kamu juga harus ikut menjaga Hana dan calon anaknya dengan baik, siapa tahu setelah anak Hana lahir, syukur syukur kamu juga akan segera menyusul punya anak seperti dia. Kalau memang tidak bisa, kamu juga kan bisa menganggap anak mereka anak kamu juga!"
Ucapan itu ... Aku tidak tahan mendengar semua apa yang di ucapkan ibu. Padahal dulu kata-kata manis itu yang selalu ibu tujukan kepada aku. Akan tetapi, sekarang kata-kata itu hanya ditujukan kepada Hana.
Ku langkahkan kaki ini pergi keluar dari kamar itu. Semua terasa sesak bagiku.
"Tuh kamu lihat kan, tidak pamit tidak apa. Dia sudah tidak lagi hormat kepada Ibu." Suara ibu masih terdengar saat aku melangkahkan kaki ke dalam kamar.
Aku sudah tidak mau peduli lagi dengan apa yang diucapkan ibu. Aku masuk ke dalam kamarku dan melemparkan tubuhku di atas tempat tidur. Air mata ini mengalir mengingat apa yang ibu katakan tadi. Memang tidak salah, mungkin bayi itu nanti bisa menjadi pancingan ku untuk mendapatkan keturunan, tapi rasanya ucapan ibu itu terlalu menyakitkan untuk aku cerna saat ini.
Apa salahku? Apa belum mempunyai keturunan adalah suatu kesalahan? suatu dosa besar? Aku juga tidak mau seperti ini. Aku juga ingin itu semua. Ingin memiliki anak. Aku ingin jadi istri sempurna untuk suamiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Derliana Sinaga
ya ayu aja yg bodoh
2022-12-27
0
Yanah Saryanah
Ayu...ayu dasar perempuan bodoh udah disakitin malah bertahan...trimalah kebodohan mu itu ayu sekarang si hana hamil apa yang kamu perbuat...
2022-08-06
0
Lihayati Khoirul
karena kamu bodoh
2022-07-28
0