"Lah kan ibunya Ayu sudah ada yang menemani. Kalian nggak perlu menginap di sana sampai tiga hari kan? Atau bisa kamu, Ayu yang menginap di sana. Hilman kan sekarang ada istri baru. Kasihlah kesempatan dia untuk bisa dekat dengan istri keduanya. Biar dia bisa cepat mempunyai anak. Jangan hanya kamu saja yang memiliki Hilman. Ingat Yu kalau sekarang kalian bertiga"
Ibu berkata dengan lantang, juga dengan nada yang sinis tertuju ke arahku. Tatapan ibu terlihat tidak suka kepadaku. Berbeda sekali dengan dulu yang sangat sayang terhadapku, kini seakan rasa itu tidak ada lagi setelah kehadiran wanita itu.
Hah... Bahkan aku enggan menyebut namanya. Dalam hal ini entah siapa yang salah, tapi tetap saja aku tidak suka dengan namanya orang ketiga. Apalagi namanya? Pelakor?
Aku mungkin memang jahat mengatakan dia pelakor, entah pada awalnya dia memang sukarela atau terpaksa menikah dengan seorang pria yang telah beristri, tapi aku tidak bisa begitu saja mengakui pernikahan mereka meski mereka sudah sah.
"Kamu harusnya ngerti dong, Yu. Ibu dan bapak sudah tua. Kami sudah ingin punya cucu dari Hilman. Ibu mohon Yu. Jangan halangi mereka, jangan mengganggu waktu mereka, jangan kamu iri dengan dia, Yu. Jika memang kamu bisa memberikan anak kepada Hilman, toh itu bagus. Anak Hilman bukan cuma satu!"
Bagai mendengar petir di siang hari saat mendengar ibu mengatakan itu. 'Jika memang kamu bisa memberikan anak kepada Hilman....' rasanya sangat menyakitkan sekali mendengarnya. Jika. Seperti aku tidak bisa memberikannya kepada Mas Hilman. Oke, aku memang belum bisa memberikannya sekarang, tapi nanti siapa tahu bukan?
"Bu, Ayu gak akan melakukan hal itu Bu. Ayu sudah setuju untuk menerima Hana bersama dengan kita. Tolong Ibu jangan mendesak Ayu dan mengatakan hal yang menyakitkan hatinya, Bu. Semua ini sudah membuatnya sedih dan juga sakit hati. Tolong Ibu jangan tambah lagi beban Ayu." Mas Hilman membela aku di depan ibu. Jujur saja meskipun aku masih marah kepada Mas Hilman, tapi di bela seperti ini aku senang.
Ku tatap wajah ibu yang masih terlihat sinis.
"Ibu tidak mendesak Ayu. Ibu hanya ingin meminta pengertiannya saja! Hanya itu Hilman, tidak lebih. Kalau Ayu memang belum bisa memberikan keturunan untuk kamu setidaknya dia bisa mencoba ikhlas untuk memberikan kesempatan kepada Hana!"
"Maaf sebelumnya Bu. Ibu bilang Ayu harus ikhlas menerima pernikahan Mas Hilman ini, tapi Ibu pernah berpikir nggak sih kalau pernikahan suami dengan istri keduanya seharusnya anda izin dari istri pertama? Dengan seenaknya ibu menyuruh Mas Hlman menduakan aku." Aku berkata memotong ucapan ibu. Ibu melotot ke arahku, tapi aku tidak peduli dan aku juga tidak takut kepadanya.
"Siapa yang akan ikhlas jika dirinya dimadu. Bagaimana jika ini terjadi kepada Ibu?" tanyaku dengan menatapnya secara langsung.
"Maaf kalau Ayu tidak sopan kepada Ibu, kita sesama wanita, Bu. Harusnya Ibu mengerti dengan perasaan Ayu."
"Justru karena ibu wanita. Kalau kamu berpikir, tujuh tahun Yu. Tujuh tahun kalian menikah, belum dikaruniai anak. Pikirkan! Pikirkan orang lain, pikirkan juga suami kamu. Apa kamu tidak berpikir untuk memiliki anak ...?"
"Ayu memikirkan itu, Bu. Ayu juga ingin punya anak. Tapi bukan berarti untuk memberikan Mas Hilman untuk bersama dengan wanita lain. Kalian yang berpikiran kolot, yang ingin memiliki keturunan dengan darah yang sama. Ayu pasti bisa, melakukan itu dengan cara yang lain. Kan bisa dengan cara memancing dengan anak lain? Tidak harus menikah kan Mas Hilman dengan wanita lain!" tukasku. Rasa di dalam dada kini bergemuruh dengan hebat. Mata ini rasanya sudah panas, tapi aku mencoba untuk kuat di hadapan semuanya.
"Susah bicara sama kamu Yu. Kamu nggak ngerti dengan keinginan kami. Kamu nggak ngerti rasanya menjadi orang tua. Kalau anak orang lain sulit, bagaimana jika dia ingin kembali apa jika orang tuanya mengambilnya kembali bersama dengan mereka. Kamu nggak pikir bagaimana sakit hatinya saat kamu sudah sayang sayangnya, anak itu mereka ambil kembali? Beda kalau kalian memiliki anak sendiri, setidaknya jika bukan darah daging kamu, tapi dia adalah anak Hilman! Kamu mempunyai hak yang sama untuk menyayangi anak itu!" Ibu menatap tajam kepadaku, suaranya bergetar dan terlihat pula tangannya mengepal diatas lutut.
Menyayangi anak maduku. Coba kalian pikirkan, pernikahan mereka saja aku masih mencoba untuk ikhlas dan sekarang ibu bilang untuk aku menyayangi anak dari maduku. Entah apakah aku bisa atau tidak.
"Susah bicara dengan kamu. Kamu nggak akan ngerti perasaan kami!" ucap ibu dengan nada kesal. Ibu lalu berdiri dan pergi meninggalkan kami bertiga.
Mas Hilman, Mas Dirga, dan juga aku kini hanya terdiam di ruangan ini. Kami terdiam dengan pemikiran masing-masing. Memang yang dikatakan ibu ada benarnya, jika anak angkat suatu saat mungkin akan kembali kepada keluarganya, tapi apa itu salah? Siapa tahu kan seperti apa yang orang lain bilang akan menjadi pancingan untuk kami. Aku yakin kalau aku bisa mengandung dan memberikan keturunan untuk Mas Hilman.
Tiba-tiba saja Mas Dirga berdiri. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
"Yang dikatakan Ibu ada benarnya, sebaiknya kalian pikirkan lagi bagaimana ke depannya. Lagipula ini sudah terjadi, tidak mungkin untuk mengembalikan Hana kepada keluarganya. Hilman, Ayu, Mas berharap kalian bisa ikhlas menerima keputusan Ibu." ucapnya, kemudian Mas Dirga pergi meninggalkan kami.
Aku menundukkan kepalaku menatap tangan di atas lutut. Tanganku terkepal. Semua yang dikatakan ibu sangat menyakiti hati ini.
"Bawa dia pergi Mas. Ibu sangat ingin kan cucu dari kamu kan? Aku sudah mencoba untuk ikhlas, aku tidak mau satu rumah dengan dia!" ucapku lalu aku bangkit dan berdiri meninggalkan Mas Hilman.
Ku lirik ibu yang kini berada di dapur bersama dengan dia. Berbicara dan tertawa dengan sangat riang, seakan tidak terjadi apa-apa sebelum ini.
...***...
Seperti yang aku mau. Mas hilman berbicara kepada Hana untuk mencarikannya rumah kontrakan. Bukannya aku tega, tapi ini lebih baik daripada aku terus sakit hati dan tidak ridho. Sudah diduakan, wanitanya ada di sini pula.
Kami bertiga duduk di ruang tamu, wanita itu hanya duduk sambil menundukkan kepalanya, tidak berani menatap ke arahku ataupun Mas Hilman. Kedua tangannya saling meremat diatas lutut nya.
"Tapi aku takut Mas. Aku takut tinggal sendirian. Aku tidak biasa," ucapnya saat Mas Hilman menyampaikan apa yang telah kami bicarakan semalam.
"Kamu harus mau. Maaf ya, terserah kamu berpikiran apa tentang aku, tapi aku tidak mau tinggal bersama," ucap ku yang membuat dia menggigit bibirnya. Gadis bertubuh mungil ini duduk dengan gelisah, tidak bisa tenang di tempatnya.
"Hana, tolong hormati keinginan Ayu. Dia sudah berkorban banyak untuk pernikahan kita. Aku mohon kamu mengerti." ucap Mas Hilman sekali lagi nada suaranya lembut berbicara kepadanya membuat aku menjadi sebal.
"Tapi aku nggak berani tinggal sendirian. Aku takut, Mbak. Apa tidak bisa aku tinggal di sini? Hana nggak pa-pa kok. Hana mau kok bantuin Mbak Ayu beberes rumah!" Hana berkata dengan wajah yang memelas dan juga sedih, hampir menangis.
Mas Hilman menatap ke arah ku, aku membuang pandangan ke arah lain.
"Bukan masalah bantuin saya, saya bisa urus rumah sendiri. Tidak perlu bantuan. Hanya saja kamu tahu kan, pernikahan ini dadakan dan juga tidak ada izin dari ku. Kamu harusnya mengerti, hidup bersama tidak akan mudah. Keputusan kami sudah bulat, kalau kamu tidak mau tinggal sendiri, silahkan saja kamu pilih pulang ke rumah orang tua kamu, atau ke rumah mertua." Aku berkata dengan tegas, ku tujukan kepada mereka berdua.
Hana terdiam mendengar keputusan ku, dia menatap kearah Mas Hilman, tapi Mas Hilman hanya menunduk menghindari tatapan memohon wanita itu.
Aku berdiri, bagiku pembahasan ini sudah selesai. Tidak ada lagi yang harus dibahas, atau diminta persetujuan.
...***...
Seminggu telah berlalu. Mas Hilman belum juga mendapatkan rumah kontrakan untuk dia. Rasanya sangat menyebalkan sekali berada satu rumah dengan wanita lain. Memang aku akui, pekerjaan rumah lebih banyak dia yang mengerjakannya selama ini. Bahkan dapur pun dia yang ambil alih. Setiap pagi sarapan sudah tersedia, kopi dan bekal untuk Mas Hilman pun dia yang siapkan. Biasanya setiap pagi aku yang melakukan itu, tapi kini tugas itu sudah dia yang ambil alih.
Bukannya aku suka. Tidak! Rasanya peran ku sebagai seorang istri sudah tidak ada lagi untuk suamiku.
Aku baru saja keluar dari kamar sambil menggulung rambut yang setengah basah. Berjalan ke arah dapur, di sana wanita muda itu sedang memasak. Tubuhnya lincah bergerak ke sana ke sini, dia juga fokus dengan masakannya hingga tidak menoleh saat aku menyalakan dispenser air dan mengambil kopi dari lemari yang menggantung di dinding dapur.
"Mau buat kopi untuk Mas Hilman ya, Mbak?" Dia bertanya dengan nada yang riang.
"Heemmm..." Hanya itu jawabanku, jujur saja aku masih malas untuk beramah tamah dengan dia.
"Mbak kalau buat kopi enaknya air yang direbus loh, Mbak. Air dari dispenser kurang panas," ucapnya.
Aku hanya diam tidak peduli.
"Kata ibu aku, air yang direbus akan lebih panas dan membuat kopi lebih enak." dia berbicara lagi.
"Suamiku tidak pernah protes dengan apa yang aku buatkan." Aku hanya menjawab dengan nada yang ketus. Dia kali ini diam, tidak menjawab. Terlihat lesu saat aku mengatakan itu.
Sambil menunggu air dari dispenser panas, aku kembali ke dalam kamar. Mas Hilman masih saja tidur terlelap di dalam selimut. Ku dekati dia dan menggoyang kan bahunya. Dia hanya menggeliat kecil, membuka matanya dan tersenyum melihat ke arahku.
"Aku masih ngantuk." keluhnya dengan manja.
"Bangun. Ini sudah siang nanti kamu terlambat." Aku memperingatkan kepadanya. Di hanya tersenyum kecut sambil bangkit untuk duduk lalu menyibak selimutnya dan pergi ke arah kamar mandi.
Aku merapikan tempat tidur yang berantakan akibat perbuatan kami semalam. Pergumulan pertama setelah dia menikah lagi.
Mas Hilman keluar dari kamar mandi dan lalu mengenakan pakaiannya yang sudah aku siapkan. Aku membantu dia mengenakan dasi dan juga jas. Dia terlihat sangat tampan, tidak pernah berubah. Hanya saja kini wajahnya terlihat lebih tirus.
Kami keluar dari kamar bersama, kini Mas Hilman duduk di kursinya. Segelas kopi panas sudah tersedia di atas meja makan.
"Terima kasih, Hana." Mas Hilman berkata sambil tersenyum kepada dia. Dia balas tersenyum, tapi kemudian menunduk saat melihat aku menatapnya.
"Anu Mbak, maaf. Hana lancang, tadi airnya sudah panas, dan Mbak belum keluar kamar, mau dipanggil tapi Hana gak enak. Jadi Hana buatkan saja." ucapnya dengan takut.
Mas Hilman menatap ke arahku. " sudahlah Yu. Kamu atau dia yang buat, kan sama saja kopi." Mas Hilman berkata, tapi dia tidak tahu apa yang aku rasakan di dalam hati ini. Bukan hanya status, tapi kewajiban ke sebagai istri juga telah dia rebut.
Mas Hilman akan berangkat ke kantor, seperti biasa dia berpamitan kepada aku dengan mengecup kening dan mencium pipiku sebelum masuk ke dalam mobil.
"Mas berangkat ya, kamu hati-hati di rumah." pamit nya. Aku mengangguk kan kepalaku seraya tersenyum. Mas Hilman kini membuka pintu mobilnya.
"Mas!" terdengar suara teriakan dari dalam rumah, tak lama hana keluar dengan membawa bekal di tangannya.
"Bekal kamu ketinggalan, Mas." Dia mendekat dengan cepat ke arah Mas Hilman dan menyerahkan bekal yang sudah dibuat.
"Terima kasih." ucap Mas Hilman.
"Hati-hati ya Mas." Hana berkata sambil meraih tangan Mas Hilman dan mencium punggung tangannya. Mas Hilman terpaku dengan apa yang dilakukan wanita itu. Memang sah-sah aja, dia juga istrinya, tapi aku masih belum rela melihat hal seperti itu. Rasanya menyakitkan sekali di depan mata kita suami dicium tangannya oleh wanita selain kita.
"Mas Hilman, nanti pulang jam berapa? Apa seperti biasanya? Mas mau aku masakan apa? Nanti aku masak yang Mas minta." Hana bertanya dengan nada manja.
"Tidak perlu, aku makan seadanya saja, tidak perlu kamu siapkan apa-apa. Jangan repot-repot."
"Aku tidak repot hanya masak saja, siapa tahu Mas Hilman mau aku masakan sesuatu." tawarnya lagi, aku hanya diam melihta tingkahnya yang gigih itu.
"Tidak perlu." tolak Mas Hilman kepada Hana, Mas Hilman melirik arahku dengan pandangan yang tidak enak.
"Ya sudah. Aku berangkat dulu." Mas Hilman masuk ke dalam mobil lalu berangkat setelah melambaikan tangannya. Bukan hanya aku kali ini yang melambaikan tangan kepadanya saat dia akan pergi bekerja, tapi orang lain juga yang melakukan itu saat ini.
"Aku masuk dulu ya Mbak, dapur belum selesai di bereskan." Hana lalu berjalan ke dalam rumah, sedangkan aku menunggu hingga mobil Mas Hilman pergi menjauh.
"Mba Ayu. Sini deh!" suara seseorang terdengar saat aku akan melangkahkan kaki ke dalam rumah. Dia melambaikan tangannya ke arahku.
Aku mendekat ke arah asal suara, tetangga sebelah rumah yang sedang menyapu halaman nya kini menempel bak cicak di pagar rumah yang membatasi wilayah kami.
"Mbak, itu tadi siapa sih? Kok kayaknya sering lihat selalu ada di rumah? Dan lagi kok cium tangan Mas Hilman?" Dia bertanya dengan wajah penasaran.
"Istri keduanya Mas Hilman." jawabku dengan jujur. Dia terlihat kaget mendengar keterangan dariku.
"Sudah ya Bu, saya mau ke dalam." aku berpamitan dan meninggalkan dia yang terlihat masih ingin banyak bertanya.
Rasanya sakit saat mengatakan hal itu. Bahwa aku bukan satu-satunya istri dari Mas Hilman.
Pekerjaan rumah sudah selesai, tidak ada yang bisa kulakukan lagi karna dia sudah melakukan semuanya.
Aku masuk saja ke dalam kamar, lebih baik melanjutkan pekerjaan rahasiaku. Dengan terjadinya pernikahan Mas Hilman dengan Hana, aku harus punya sesuatu untuk peganganku ke depannya. Masa depan siapa yang tahu, aku harus punya tabungan sendiri. Tidak akan aku beritahu siapapun dengan pekerjaan baruku ini.
Hampir menjelang siang, aku keluar dari kamar. Terdengar suara lain di ruang tamu. Mereka terdengar dengan riang mengobrol dan juga tertawa.
Ibu dan Hana sedang duduk berdua di atas sofa. Ibu melirik ku dengan sinis, saat aku mendekat ke arahnya untuk mencium punggung tangannya.
"Kapan Ibu datang?" tanyaku mencoba ramah.
"Sudah dari tadi, kamu kerjaannya cuma di kamar saja, baru keluar. Lihat sedari tadi Hana yang mengerjakan pekerjaan rumah. Kamu jangan seenaknya sendiri dong Yu, mentang-mentang ada Hana jadi tidak mau membereskan rumah!" ibu berkata dengan tatapan tidak suka kepadaku. Eh, apa maksudnya ini?
"Ini Hana sendiri yang mau kok Bu. Daripada hanya diam saja anak bosen Bu," ucap Hana, entah dia sedang membela diri atau apa. Tapi tatapan ibu kepadaku tidak berubah sinisnya.
"Kamu itu nggak boleh kecapean loh. Nanti kalau kamu kecapekan gimana kamu mau cepat punya anak sama Hilman? Kamu harus jaga kesehatan." ucap ibu sambil mengelus punggung tangan hana. Hal yang dulu pernah ibu lakukan kepadaku, kini ibu limpahkan kepada dia. Rasanya menyesakkan sekali di dalam hati ini. Posisiku telah tergantikan di hati ibu.
"Kamu dengar Ayu. Hana tidak boleh capek, kamu harus bantu dia, dan jangan melimpahkan semua pekerjaan kepada dia. Bagaimana dia akan punya anak kalau dia kecapean."
"Ayu tidak melimpahkan semua pekerjaan kepada dia Bu, juga tidak menyuruh untuk dia mengerjakan semuanya. Ini memang kemauan dia. Dan dia kerjakan sebelum Ayu pegang, jadi Ayu bisa apa? Mengerjakan yang sudah dikerjakan?" tanyaku kepada ibu dengan tidak terima.
"Ya bisa kan sebelum Hana yang pegang kamu duluan bangun lebih pagi dan kerjakan semuanya? Mulai besok kamu yang harus kerjakan semuanya sendiri, jangan berikan pekerjaan yang berat kepada hana. Ibu mau secepatnya Hana dan Hilman punya anak. Ibu sudah cukup bersabar menunggu anak dari kamu!" ucapan ibu sangat telak menghujam dalam hati ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
guntur 1609
cocoknya mamanya Hilman di madu juga. biar dia tahu rasanya
2024-12-04
0
guntur 1609
ayu yang begok. bilang ja. kalau hana gak mau capem. ibu ja yg kerja dirunah ini. org yg gak punya hati seperti mertuanya itu harus dilawan. karna kalau gak dilawan sia akan merasa selalh benar. banyak org yg gak punya anak tapi adopsi anak. dan rumab tangganya sj langegeng saja
2022-11-08
0
Nissa Sabill
kezellll ma tu nenek lampir..
2022-08-14
0