Setelah pembahasan itu Mas Hilman pamit untuk pulang. Dia bilang akan kembali lagi ke sini menjelang malam nanti.
Aku pergi ke kamar ibu, ibu masih tertidur. Segera saja aku pergi ke arah dapur untuk menyiapkan makan malam.
Kuambil beberapa bahan makanan di dalam kulkas, mengirisnya dan membersihkannya lalu menyiapkan bumbu dan sebagainya.
Pikiranku tertuju pada hal di masa depan, entah bagaimana kehidupanku setelah ini. Apa mungkin aku bisa bertahan atau tidak. Apa Mas Hilman juga akan menepati janjinya untuk tidak berubah kepadaku.
Aku sungguh bingung saat ini tapi juga tidak berdaya dengan keadaan ibu. Rasa takut kehilangan membuat aku harus menekan egoku sendiri. Biarlah aku akan berbakti di sisa umur hidup ibu. Aku pasti akan kuat. Semoga.
"Hilman ke mana Yu?" suara ibu mengagetkan ku sampai tidak sengaja aku mengiris jariku sendiri. Aku mendesis kesakitan dan reflek membuang pisau itu di atas talenan. Seketika darah mengucur dari jari telunjuk ku.
Ku tekan jari ini dengan tangan yang lain hingga darah berhenti keluar sementara, lalu segera berjalan ke arah wastafel dan menyalakan air dari kran. Air yang menyala kini membersihkan darah yang keluar dari jari telunjuk ku dan mengalir bersama dengan air.
"Kamu kenapa, Yu?" tanya ibu yang terdengar khawatir. Aku menoleh pada ibu yang kini berdiri disampingku.
"Tidak apa-apa, Bu. Ayu hanya kaget saja." aku tersenyum ke arah ibu sambil terus membersihkan tanganku di aliran air. Ibu segera berjalan dengan cepat ke arah kulkas dan mengambil kotak obat yang ada di atas sana. Gegas ibu kembali dan dengan cepat menarik tanganku, membalikkan plester di tempat yang luka.
"Kamu ini kenapa sih? Kok tangannya bisa teriris? Kalau lagi pegang pisau hati-hati dong Yu! Lihat tangan kamu terlupakan berdarah! Apa sih yang kamu pikirkan sampai kamu melamun seperti itu. Kan bahaya!" omel ibu kepadaku. Aku hanya meringis mendengar ocehan ibu yang kini terus keluar dari mulutnya.
"Apa yang kamu pikirkan, hah?" tanya ibu lagi. Jari tanganku sudah selesai dibalut. Ibu membuang sampah bungkus bekas plester kedalam kresek sampah.
"Nggak apa-apa., kok. Ayu nggak mikirin apa-apa." Aku berkata untuk menenangkan ibu.
"Gak mikirin apa-apa kok sampai melamun dan sampai ngiris jari, sih?!" seru ibu dengan kesal.
"Himan kemana?" tanya ibu dengan mengedarkan pandangannya ke arah lain.
"Tadi Mas Hilman pamit pulang dulu, Bu. Ibu sedang tidur, jadi Mas Hilman gak pamit sama ibu," jawab ku dengan jujur.
Ibu terlihat kaget saat aku berkata seperti itu. "Loh kok pulang? Kamu nggak ikut Hilman pulang? Kasihan loh Yu, Hilman di rumah sendirian. Kamu pulang saja, ibu nggak apa-apa ditinggal. Panggilkan saja Sinta ke sini biar menemani Ibu," ucap ibu. Terlihat raut wajah ibu seperti tidak enak padaku.
"Gak apa-apa kok, Bu. Tadi bilangnya Mas Hilman bakal balik lagi ke sini nanti."
"Oh, ibu kira Hilman marah." terlihat ibu mengubah raut wajahnya kini menjadi biasa.
"Enggak marah. Cuma tadi dia kelupaan sesuatu dan harus pulang dulu," ujar ku lagi.
Aku kembali dengan bahan masakan ku, ibu aku suruh duduk di depan ruang tv, tapi bu menolak. Ibu memilih membantu mengiriskan sayur yang akan dimasak.
Sampai malam tiba Mas Hilman tidak kelihatan juga batang hidungnya. Ibu menolak makan hanya untuk menunggu dia yang sampai saat ini belum datang. Aku sudah memaksa ibu untuk makan duluan, biar aku yang akan menunggunya untuk makan bersama. Akan tetapi, ibu menolak. Rasa sayang ibu pada Mas Hilman sangat besar. Bahkan, kadang aku iri karena ibu sepertinya lebih mementingkan Mas Hilman daripada aku.
Waktu semakin bergulir, yang ditunggu tidak kunjung datang membuat aku kesal. Kuambil nasi dan lauk untuk ibu dan aku makan. Mas Hilman biarkan saja, mau datang atau tidak. Terserah.
Kami sudah selesai makan, hingga ibu tidur Mas Hilman belum juga datang. Aku masuk ke dalam kamarku dan berbaring sambil memainkan hpku. Hari ini aku belum mengintip sama sekali pada aplikasi yang kini mengalirkan cuan untukku.
Kulihat jam sudah mendekati angka sembilan, tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan datang. Kesal sebenarnya, dia bilang akan kembali menjelang sore, tapi sampai jam segini dia belum juga sampai. Sedang apa dia di sana? Apa dia tidak akan kembali lagi? Apa mungkin dia sedang ....
Pikiranku kembali mengira-ngira hal lain. Rasanya menyesakkan sekali jika memang benar apa yang aku pikirkan sekarang ini. Malam hari, berdua, di rumah yang sepi, dan juga hubungan yang halal. Tiba-tiba saja mata ini terasa panas, dada pun terasa sesak. Terlintas pikiran-pikiran yang tidak-tidak. Bukan! Tapi yang iya-iya. Mereka sudah halal.
Aku menyusut air mata yang kini meleleh di pipi. Ingin mengenyahkan segala pemikiran ini, tapi tidak bisa. Semua terpikir begitu saja.
Ku alihkan pikiranku padahal lain. Meski rasanya tidak bisa berkonsentrasi, tapi aku harus tetap mencoba menyingkirkan pemikiran ini. Sambil terisak, kedua ibu jari ku bergerak dengan lincah di atas layar hp.
Satu jam berkutat dengan dunia pengetikan terdengar suara mobil yang berhenti di halaman rumah. Aku bangkit dan menuju ke pintu luar. Mengintip sedikit dari jendela kaca, Mas Hilman keluar dari dalam mobil. Satu tas hitam ia pegang di tangannya.
Ku bukakan pintu untuk Mas Hilman sebelum dia mengetuknya. Tidak baik jika dia mengetuk pintu game membuat ibu terbangun.
Aku berjalan meninggalkan dia dan kembali ke dalam kamar.
Kembali menekuri hpku sambil berbaring tengkurap, aku abaikan dia yang kini menyimpan tasnya di sudut ranjang. Aku hanya diam tidak berbicara. Rasanya kesal sekali kepadanya.
"Yu, kamu sudah makan?"
Pertanyaan semacam apa itu? Bertanya aku sudah makan atau belum, padahal aku yakin dia sangat tahu kalau aku di sini, bersama dengan ibu, aku kasih sudah makan malam. Aku kecewa. Yang aku inginkan bukan pertanyaan itu.
"Yu, kok kamu nggak jawab?" tanya Mas Hilman kini mendekat ke arah ku. Aku menggeser kan tubuh ini ke sisi ranjang yang lain. Mas Hilman kembali mendekat.
"Yu, kamu kenapa sih?" Mas Hilman bertanya lagi. Nada suaranya terdengar seperti biasanya saat dia protes.
"Kamu marah sama aku?" dia bertanya lagi.
"Yu?"
"Aku kira kamu nggak akan balik lagi sini Mas."
"Maaf. Aku cuma terlambat."
"Terlambat beberapa jam? Bagus sekali! Kamu sudah buat ibu khawatir, dan menunggu kamu sampai ibu telat makan." ujar ku dengan hanya melirik sedikit ke arahnya.
"Maaf Yu, Hana ...."
"Kenapa? Dia tidak mau ditinggal lagi" tanyaku memotong ucapannya. Sungguh dia anak yang manja, sampai membuat Mas Hilman ingkar janji dan terlambat kembali ke sini.
Pikiranku yang tadi membuat aku benci kepada diriku sendiri.
"Bukan itu, Yu. Bukan karena itu. Aku terlambat datang ke sini, karena mengantarkan Hana terlebih dahulu ke rumah ibu. Maaf. Selain untuk mengambil baju, aku mengantarkan dia ke rumah ibu karena dia takut sendirian di rumah."
Ha ... sudahlah. Aku pusing dan tidak mau membahas masalah itu.
"Maafkan aku ya. Aku nggak tega juga meninggalkan dia sendiri di rumah.
Aku hanya diam tidak menjawab. Kasur disampingku terasa bergoyang saat Mas Hilman bangkit berdiri.
"Aku mau makan dulu ya, kamu cepetan tidur. Jangan mainan hp terus." peringatnya kemudian dia berjalan keluar dari kamar. Aku menatap pintu yang kini tertutup, ternyata praduga ku ternyata salah. Aku kira Mas Hilman ....
Tiga hari kami tinggal di rumah ibu. Selama itu juga Mas Hilman pulang pergi bekerja dari sini. Kasihan juga sebenarnya, jarak rumah ini dari kantor cukup jauh, tapi aku juga belum berani meninggalkan ibu mesti ada Sinta yang menemani ibu.
Sungguh sulit sekali bersikap seperti biasa dengan Mas Hilman disaat keadaan kami yang seperti ini. Meskipun aku sudah menerima pernikahan Mas Hilman yang kedua dengan wanita itu, tapi itu dengan terpaksa aku menerimanya.
Keadaan ibu sudah lebih baik, seperti saat aku datang kemari. Bahkan, kini ibu sudah aktif pulang pergi ke warung sendiri, berbelanja kebutuhan dapur dan sebagainya. Aku sudah melarang ibu, tapi ibu memang keras kepala, 'kalau sudah tua hanya berbagi saja tidak enak. Bikin badan sakit' katanya. Ya sudahlah selama itu tidak berlebihan dan membuat ibu lelah aku tidak bisa melarangnya. Hanya saja meminta Sinta untuk membantu ibu lebih ketat lagi.
Sore ini aku dan Mas Hilman pulang ke rumah. Aku membawa mobil, sedangkan suamiku membawa motorku di belakang. Bukan aku tega, tapi Mas Hilman sendiri yang meminta ku untuk pulang mengendarai mobil. Bingung juga jika di rumah tidak ada kendaraan, selain ke arah jalan raya lumayan jauh aku juga butuh untuk pergi-pergi ke tempat lain. Misal belanja ke supermarket atau ke pasar.
Menjelang magrib kami sampai di rumah, aku memarkirkan mobil ku di garasi. Terlihat sebuah motor terparkir di depan membuat mobil ku tidak bisa masuk seluruhnya ke dalam garasi.
Aku turun dari dalam mobil. Baru saja menutup pintunya, Mas Hilman menghentikan motornya di dekatku.
"Kok di parkir di sini?" tanya Mas Hilman dengan heran sambil membuka helm di kepalanya.
"Tuh!" Aku menunjuk ke arah motor yang sangat aku kenal dengan daguku. Mas Hilman melihat kearah yang aku tunjuk. Motor Mas Dirga. Ada apa dia di sini?
Aku dan Mas Hilman masuk ke dalam rumah, pintunya terbuka dan terlihat Mas Dirga duduk di kursi sofa sambil merokok dengan tenang.
" kalian sudah pulang?" tanya Mas Dirga lalu mematikan puntung rokok nya pada sifat yang ada di atas meja.
" ada apa ke sini mas?" tanya Mas Hilman.
"Aku mengantarkan Hana pulang." Mendengar nama itu disebut tiba-tiba aku merasa kesal. Wanita itu lagi. Meski dia tidak punya salah denganku, tapi tetap saja aku merasa tidak suka jika mengingat di adalah madu ku.
"Kalian sudah pulang?" suara seorang wanita yang tidak lain tidak bukan adalah ibu mertua ku. Datang dari arah belakang dan berjalan dengan cepat ke arah kami.
"Kamu ini bagaimana sih, Man. Meninggalkan istri di rumah ibu selama tiga hari. Kamu kemana saja? Kok ya tega meninggalkan Hana? Apa kamu nggak kasihan sama hana? Dia itu istri kamu juga loh!" ibu berseru dan kini ibu duduk di kursi sofa dengan anggun nya.
"Hilman kan sudah bilang ibunya ayu sedang sakit dan kami tidak bisa meninggalkan ibu di rumah sendirian." Mas Hilman menjawab. Mas dirga menggeser kan tubuhnya ke dekat ibu. Kami berdua duduk di kursi sofa. Terlihat ibu menatapku dengan sinis, berbeda sekali dengan tatapan yang dulu.
" lah kan ibunya ayu sudah ada yang menemani. Kalian nggak perlu menginap di sana sampai tiga hari kan? Atau bisa kamu ayu yang menginap di sana. Hilman kan sekarang ada istri baru. Kasihlah kesempatan dia untuk bisa dekat dengan istri keduanya. Biar dia bisa cepat mempunyai anak. Jangan hanya kamu saja yang memiliki hilman. Ingat yu kalau sekarang kalian bertiga"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Adiba Shakila Atmarini
susahx klo sudah ada ikut cmpur tangan martua..klo untuk kbaikn sih tak masalah..ini mnyakitkn prasaan yg lain..
2024-02-17
0
Kristina Siagian
mundur sj yu, akan sulit kedepannya
2023-02-07
0
Veronica Maria
mertua itu hrsnya lbh bijaksana. bkn menyuruh anak kawin lgi. tpi berobat ke dokter dulu. anak itu titipan dan tdk semua org lsg bs punya anak
2022-06-08
0