Dua hari aku di rumah ibu, tidak ada satu pesan atau panggilan dari Mas Hilman yang ditujukan kepada ku.
Entah apa karena aku masih berharap atau mungkin aku yang merasa sangsi dengan pria itu. Seringkali aku mengecek hp, tapi semua yang aku ingin lihat nihil. Tidak ada sama sekali pesan.
Aku berharap apa? Dia menelponku? Dia bilang pernikahan keduanya ini karena paksaan ibunya, tapi kenapa dia tidak memberian perhatian padaku? Misal bertanya aku sedang apa? Sudah makan atau belum? Atau hanya untuk menyuruhku pulang. Tidak ada satupun!
Sedari kemarin aku sudah berpikir, aku akan mempertahankan pernikahan ini demi ibu. Meski rasa cintaku pada Mas Hilman kini sedang goyah dan rasanya juga tidak akan mudah untuk bisa kembali mencintainya seperti dulu. Ada juga aku berpikir jika pada akhirnya mereka mungkin berpisah nanti ....
Ah, aku ini kenapa? Aku sampai memikirkan hal yang sejauh itu, apa mungkin nanti mereka akan berpisah? Apa yang aku harapkan? Bahkan, mereka baru saja menikah beberapa hari yang lalu.
Aku mengenyahkan segala pemikiranku, segera ku memasukkan bumbu yang sudah aku iris ke dalam minyak panas. Aroma rempah tercium wangi di bawah hidung. Aku harus cepat selesai memasak sebelum ibu pulang dari acara pengajiannya.
Tadi ibu bilang, ingin aku masakkan oseng asin cumi dengan cabe hijau yang banyak, bijinya sudah aku buang hingga ibu tidak akan terlalu kepedasan memakan ini. Tak lupa dengan lalapan kol rebus dan juga selada, sambal tomat juga sebagai pelengkap hidangan makan siang kali ini.
Ku lirik jam yang ada di dinding, masih jam sepuluh pagi, ibu akan pulang sekitar jam sebelas siang. Pengajian memang dilaksanakan pagi hari setelah jam tujuh, biasanya di madrasah akan dilaksanakan solat duha sebelum acara pengajian di mulai. Di lanjut dengan acara lain yang entah apa lagi. Dan akan pulang sekitar jam sepuluh pagi, di tambah dengan perjalanan, biasanya sekitar jam sebelas ibu dan para tetangga akan kembali.
Dulu aku pernah ibu ajak untuk kepengajian rutin yang diadakan setiap hari minggu itu, tapi baru tiga kali aku ikut, aku undur diri karena salah satu teman ibu terus saja menargetkan aku untuk jadi menantunya, sedangkan aku waktu itu sudah bertunangan dengan Mas Hilman.
Andai dan andai. Andaikan aku dulu dengan putra teman ibu ... entah lah. Kadang aku berpikir mungkin aku tidak akan bernasib seperti sekarang ini, atau malah lebih parah dari ini?
Aku menggelengkan kepalaku dan lanjut untuk mengaduk isi di dalam wajan. Wangi aroma asin cumi terasa harum apalagi setelah aku tambahkan tomat sesaat sebelum makanan itu matang. Aku dan juga ibu tidak terlalu suka dengan tomat yang layu di dalam masakan.
"Assalamualaikum. Assalamualaikum!" Suara seseorang terdengar saat aku akan merasai kuah masakan. Dengan cepat aku meniup permukaan tanganku yang tadi aku oleskan kuah tersebut dan mencicipnya sedikit. Kurang gula.
"Assalamualaikum!" Terdengar suara salam lagi dari depan. Tumben sekali ada tamu di pagi hari, gegas aku matikan kompor dan segera berlari ke arah pintu depan sambil mencoba membuka ikatan celemek di punggungku. Mendadak salah menarik, membuat talinya semakin kencang tidak bisa aku lepaskan.
"Wa'alaikum salam!" Aku sama berteriak dan terus melangkah.
"Ayu!"
Aku menolehkan kepalaku kepada suara yang memanggil namaku, terpana melihat si Dia yang kini berdiri terdiam di ambang pintu dengan senyumnya yang meneduhkan. Suamiku. Sayang, senyum itu kini bukan hanya milikku.
"Ayu." Dia maju melangkah sementara aku mundur juga satu langkah, begitu juga seterusnya hingga dia berhenti karena melihat gerakan tanganku yang mengisyaratkan dia untuk berhenti.
Tiba-tiba rasa tercekat di tenggorokan ini sangat menyakitkan. Rasanya sangat sakit sekali untuk menelan salivaku sendiri, bagai menelan sebongkah batu yang ukurannya lumayan besar.
"Ayu, kenapa kamu nggak pulang Yu?" Mas Hilman bertanya kepadaku. Matanya sayu, wajahnya terlihat lesu, lingkaran hitam terdapat pada bawah matanya. Dia menatapku dengan penuh harap.
"Aku nunggu kamu pulang Yu. Kenapa kamu gak pulang-pulang?" Dia bertanya lagi. Rasa sakit di dalam hati ini sangat terasa.
"Untuk apa aku pulang? Kamu juga sudah tidak peduli lagi sama aku!" Aku mendesis dengan tatapan yang tajam kepadanya. Mencoba menahan rasa sesak di dalam dada.
"Aku peduli sama kamu. Aku khawatir sama kamu. Kenapa kamu pergi malam itu?"
Dia bodoh atau bagaimana? Tentu saja aku pergi karena tidak mau satu rumah dengan dia, wanita yang kini menyandang status istri kedua untuk suamiku.
"Kamu yang sudah tidak peduli dengan aku, Mas. Kamu yang tidak menganggapku sebagai istri kamu."
"Ya Allah, Yu. Kenapa kamu bicara seperti itu?" Mas Hilman menatapku dengan tatapan yang menghiba.
"Kamu bilang sama aku kalau kamu ada kerja di luar kota, tapi nyatanya apa? Kamu menikah lagi Mas! Dan kemarin itu kamu bawa dia ke rumah kita. Apa kamu minta pendapatku sebelum kamu melakukan semua itu? Enggak kan? Jadi wajar kalau aku merasa tidak dianggap istri oleh kamu!" Aku bicara dengan nada berseru, tapi tetap menjaga nada ini agar tidak berteriak dan mengundang perhatian dari tetangga.
"Aku sudah bilang minta maaf kan sama kamu yu, semua ini bukan keinginan aku. Ini ibu yang mau."
"Apa kamu tidak bisa menolak keinginan ibu? Atau setidaknya kamu bisa berbicara dulu sebelum kamu melakukan hal itu. Aku ini istri yang seperti apa? Tidak dianggap sama sekali!" tanpa terasa air mata ini keluar melewati pipi. Aku yang sedari kemarin mencoba mengatakan kepada diriku sendiri agar aku bisa kuat saat bertemu dengan dia, nyatanya hari ini saat dia ada di depanku, aku merasa tidak kuat.
"Maaf Ayu, aku sudah bicara dengan ibu, tapi ibu tetap memaksa. Ibu bilang ...."
"Aku tahu, Mas. Aku memang belum bisa memberikan kamu anak, tapi setidaknya kamu bicara dulu sama aku Mas. Aku seperti istri yang tidak dianggap sama kamu!" Kali ini aku menjerit. Mengeluarkan emosi yang beberapa hari ini bersarang di dalam hati. Mas Hilman menatapku dari tempatnya berdiri. Matanya kini memerah.
"Maaf Mas Yu. Aku tidak bisa menolak saat itu, ibu mengancam akan bunuh diri kalau Mas tidak menuruti apa kata ibu. Dan aku juga tidak yakin kalau kamu akan setuju aku menikah lagi dengan dia. Maafkan aku. Aku bingung saat itu," ucap Mas Hilman dengan menyesal.
Hidup dengan dia, selama tujuh tahun, aku tahu jika yang dia bilang bukan kebohongan. Tidak aku lihat kebohongan itu di matanya, tapi aku tetap saja tidak bisa terima dengan apa yang telah dia dan keluarganya lakukan.
Tiba-tiba saja Mas Hilman menunduk, dia merendahkan tubuhnya. Kedua lutut nya kini bersimpuh di lantai. Aku terkejut dengan apa yang dia lakukan. Kulihat satu titik bulir air mata turun pada pipinya.
"Aku harus apa supaya kamu maafkan aku. Aku sungguh tidak berdaya saat itu. Aku bingung, Ayu. Aku tidak bisa memilih kamu atau ibu. Kalian adalah dua orang yang aku sayangi. Aku harus apa supaya kamu mau maafkan aku." Mas Hilman berkata dengan lirih, tapi penuh dengan nada kesungguhan.
Dulu sekali aku melihat dia seperti ini, saat dia melamar ku di hadapan teman-teman kami. Namun, kali ini aku melihat dia bersimpuh untuk mendapatkan kata maaf dariku.
"Ayu, aku tahu ini tidak mudah untuk kita, tapi asal kamu tahu aku belum pernah menyentuh dia sampai saat ini karena aku masih memikirkan kamu. Jujur aku nggak bisa sama dia, aku hanya ingin menyenangkan hati ibu." Suaranya terdengar bergetar, dia terisak.
"Lalu kenapa kamu sama sekali tidak menghubungi aku selama aku di sini? Kenapa kamu juga tidak menyusul ku saat malam itu?!" aku bertanya dengan menjerit. Tidak ada pesan dan juga telpon darinya, membuat aku berpikir kalau Mas Hilman sedang bersenang-senang dengan madunya.
"Hpku diambil ibu, dan belum dikembalikan. Aku tidak bisa menghubungi kamu, karena Hana juga tidak punya hp. Dan aku tidak bisa menyusul kamu karena Hana takut sendirian."
Hana dan Hana. Lagi-lagi dia menyebutkan nama itu.
"Lalu bagaimana dengan aku , Mas? Kamu lebih memilih menemani dia daripada menyusul aku ke sini? Keterlaluan kamu!" Tiba-tiba saja aku berpikir bagaimana jika malam itu saat aku pulang ke sini aku mengalami kecelakaan di jalan, sudah pasti aku akan pulang hanya tinggal nama. Apa dia juga tidak memikirkan itu?
"Maaf. Maafkan aku. Aku memang bukan suami yang baik." Pecah sudah tangisku saat ini.
"Aku mohon Yu. Kita pulang ya." pinta nya. Aku menggelengkan kepala, rasanya tidak ingin jika di rumahku ada orang asing.
Mengingat hal itu, bagai melupakan semua hal yang aku pikirkan kemarin, untuk mengalah karena ibu, aku berkata kepadanya dengan lantang. "Aku ingin berpisah saja dengan mu mas, aku nggak kuat untuk hidup bertiga."
Ku usap air mata ini dengan menggunakan punggung tangan. Masalah ibu, aku akan bicarakan baik-baik saja. Mungkin saja ibu akan bisa menerima jika aku berkata yang sejujurnya. Aku pikir aku akan kuat, tapi nyatanya tidak.
"Mbak Ayu!" Seseorang berteriak dari luar, dengan cepat terlihat tubuhnya yang berhenti di ambang pintu. Dadanya naik turun, dia membungkuk kedua tangannya tertopang pada lutut. Sinta menatapku dan menunjuk ke arah luar.
"Mbak Ayu, Budhe ... Pingsan!" Suara Sinta terputus-putus. Aku tersentak kaget, begitu juga dengan Mas Hilman yang kini bangkit dari lantai. Segera aku mendekat kearah Sinta.
"Di mana ibu?" tanyaku dengan mengguncang bahu Sinta.
"Di mobil." Tunjuk Sinta ke arah mobil yang kini berhenti di depan rumah. Mobil bak tanpa atap itu yang biasa di sewa oleh jamaah pengajian.
Beberapa orang telah menurunkan tubuh ibu yang tidak sadarkan diri. Aku segera meng hambur ke arah ibu. Panik dan juga takut terjadi sesuatu kepadanya, membuat aku hanya bisa menangis melihat tubuh ibu yang kini di bawa masuk oleh beberapa orang itu ke dalam kamar. Aku mengikuti mereka dari belakang.
Ku ucapan kata terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu ibu. Mereka lalu pamit untuk pulang. Kini tinggal lah aku, Sinta, Mas Hilman, dan juga Yu Tarni, ibunya Sinta.
"Ibu kok bisa pingsan sih, Yu?" Mas Hilman bertanya kepada Yu Tarni. Aku terlalu shock sampai aku hanya terdiam menatap ibu.
"Saya nggak tahu, tapi tadi udah pucat wajahnya. Mau diantar pulang, ibu kamu nggak mau Yu," jawab Yu Tarni.
"Kita bawa ke rumah sakit saja. Ibu harus diperiksakan ke dokter." Mas Hilman berkata dengan khawatirnya. Aku hanya bisa mengangguk menyetujui usulannya.
Aku, Mas Hilman, dan Yu Tarni membawa ibu ke mobil, sedangkan Sinta aku suruh untuk mencarikan kartu berobat ibu. Gegas kami berempat membawa ibu ke rumah sakit.
Ibu sudah ada di ruangan sedang diperiksa oleh dokter, sedangkan kami berempat menunggu di luar. Aku panik dan khawatir dengan keadaan ibu, tidak bisa diam dan duduk dengan tenang, jadilah kini aku berjalan mondar-mandir di depan pintu.
Mas Hilman berdiri bersandar kan dinding, Sinta dan Ibunya duduk di kursi tunggu. Kami semua menunggu dengan cemas.
"Mbak Ayu." Sinta memanggil, aku menoleh ke arahnya. "Mbak lebih baik buka celemeknya." Aku menatap ke bawah tubuhku, tidak sadar masih memakai celemek. Segera aku meraih tali yang ada di belakang pinggang. Sulit untuk melepaskannya karena tadi aku menariknya sembarangan. Aku berjalan mendekat kearah Sinta dan meminta bantuannya.
Mendadak aku teringat, apa aku sudah mematikan kompor?
Ah ... Pikiranku bercabang sekarang, aku lupa apa kompor sudah kumatikan atau belum? Semua ini membuat aku menjadi pelupa. Semoga saja sudah aku matikan.
Tak lama dokter keluar dari ruangan ibu, kami berempat segera menghambur ke arah dokter dan menanyakan kondisi ibu.
"Ibu Isti tidak apa-apa, hanya kelelahan. Mungkin karena terlalu banyak berpikir. Diharapkan jangan membuat Ibu Isti stress ya, bisa memacu kinerja jantungnya dan membuat Ibu Isti pingsan." Dokter berbicara membuat kami bisa menghela nafas dengan lega.
"Sudah boleh dilihat, silahkan masuk tapi jangan gaduh ya." Dokter memperingatkan. Kami menggangguk dan mengucapkan terima kasih banyak kepada dokter. Dokter berlalu meninggalkan kami, dan kami pun merangsek masuk ke dalam ruangan.
Tanganku tertarik ke belakang hingga menghentikan langkah ini.
"Ayu. Apa kita tidak bisa bersama lagi?" tanya Mas Hilman kepadaku. Sorot matanya terlihat memburam karena air mata.
Aku tidak menjawab, menarik tanganku dengan kasar lalu masuk ke dalam ruangan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Adiba Shakila Atmarini
g mudah hidup 1 atap dngn orang asing.apa lgi bersetatus istri k2.
2024-02-17
0
Ari Peny
mending pisah dan merawat ibu aja
2022-12-28
0
Yuli Yati
bersabarla ayuu
2022-08-04
0