Angin dingin menerpa tubuhku, debu jalanan, asap knalpot, dan juga klakson saling besahutan menemaniku selama dalam perjalanan menuju rumah ibu. Tubuhku sudah kedinginan, aku melupakan jaket yang biasa aku kenakan saat berkendara memakai motor.
Air mata terkadang menutupi pandangan dari jalanan di depan. Sesekali aku berhenti di tepi jalan untuk sekedar mengusap air mata yang sedari tadi tidak bisa berhenti mengalir. Mencoba menguatkan hati ini untuk terus berusaha supaya tabah.
Sesak rasanya di dalam dada ini, setelah satu minggu pamit untuk bekerja di luar kota, pulang hanya untuk memberi kejutan. Tiga malam tidak pulang dan hari ini, dia membawa seorang wanita asing pulang ke rumah kami tanpa meminta izinku. Lagi!
Entah apakah aku benar atau tidak pergi dari rumah, yang jelas aku merasa suasana hatiku buruk saat ini apalagi melihat ada wanita lain yang memakai dapurku,
Suara klakson dari belakang membuat aku terkejut dan segera tersadar, aku menyingkir dari tengah jalan dengan menyalakan lampu sen ke kiri, dengan perlahan aku memberi jalan untuk mobil di belakangku untuk lewat. Pikiranku kacau, hampir saja aku membahayakan diriku sendiri dan juga pengendara lain.
Hampir satu jam lamanya aku berkendara, tidak terasa lebih cepat dari biasanya. Entah aku tadi melajukan motor ini dengan kecepatan berapa.
Gang menuju rumah ibu sudah terlihat dari kejauhan sini. Aku berhenti sejenak. Rasanya bingung juga jika tiba-tiba saja aku datang, apalagi tidak seperti biasanya tanpa mengabari ibu terlebih dahulu. Gegas aku kembali melajukan motorku ke depan sedikit untuk ke jalur putar arah, ingat jika di belakang sana adalah penjual marabak kesukaan ibu. Ibu sangat suka sekali jika aku datang dan membawakan beliau makanan manis itu.
Dua bungkus martabak kini sudah tergantung di depan kakiku. Rasanya panas terkena kaki karena aku hanya memakai rok sepanjang betis yang tadi aku pakai saat ibu mertuaku datang juga kaos tipis belel yang lupa untuk aku ganti.
Ah ... Sudahlah, jika ibu bertanya nanti aku harus bisa menjawabnya dengan baik.
"Assalamulaikum ...." Aku berseru sambil masuk ke dalam rumah yang masih terbuka pintunya dengan lebar.
Seorang gadis muda terlihat beberapa detik kemudian, menyibak tirai yang menjadi penghalang pintu antara ruangan depan dan ruang tengah.
"Waalaikum salam ... Eh, Mbak Ayu! Kok datang gak kasih kabar?" Sinta,anak tetangga yang aku minta untuk menemani ibu semenjak aku tinggal dengan Mas Hilman, terkejut saat melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Aku hanya tersenyum sambil menyerahkan dua bungkus martabak itu kepada Sinta. Dia menerima makanan itu dan lalu berteriak.
"Budhe! Budhe, ini Mbak Ayu datang!" Seperti biasanya juga gadis ini berteriak memanggil ibu yang entah ada dimana.
"Budhe lagi ada di kamar, lagi kurang enak badan, Mbak. Tadi sore dibawa ke dokter." Lapornya padaku, Aku terkejut karena tidak ada yang memberitahuku sama sekali. Segera aku melangkah dengan cepat pergi ke kamar ibu.
"Kok Mbak gak dikasih tau?" tanyaku dengan nada marah menoleh ke arah Sinta yang mengikuti langkahku di belakang. Gadis itu terlihat menundukkan kepalanya.
"Maaf, Mbak. Tadi Sinta udah coba telepon Mbak Ayu, tapi Mbak Ayu gak angkat teleponnya." terang Sinta. Aku sadar aku juga yang salah tadi, memang ada nomor ibu yang melakukan panggilan dan aku tertidur saat itu.
"Oh, maaf. Mbak ketiduran tadi." ujarku meminta maaf pada Sinta. Aku membuka pintu kamar ibu dengan lebar. Terlihat ibu sedang duduk dan memakai kerudungnya, wajah ibu terlihat pucat. "Ibu." Aku sedikit berlari dan menghambur ke pelukan ibu. Ibu menyambutku dan mengusap kepalaku dengan lembut.
Aku sangat merindukan ibu, sudah hampir tiga minggu aku tidak bertemu dengan beliau. Tadinya setelah kepergian Mas Hilman ke luar kota, aku akan pergi sore harinya kesini, tapi aku urungkan karena ada kiriman foto yang menyebabkan aku batal datang kesini dan memilih mencari jawaban ke rumah orangtua Mas Hilman.
"Ibu sakit, ya? Ibu kenapa lagi, sih Bu?" Ku genggam tangan ibu yang semakin lama semakin kurus. Air mata ini kembali tumpah kali ini untuk alasan yang lebih kuat. Aku menarik diriku dan menatap ibu, matanya terlihat cekung dengan banyak garis halus yang terlihat karena kulitnya yang kehilangan isi. Ibu hanya menggeleng sambil tersenyum, senyum yang selalu saja membuat aku tenang dan juga selalu rindu akan sosok wanita pemberi nyawa untukku.
"Ibu gak apa-apa, cuma kecapekan dikit." Ibu mengusap air mata di wajahku. "Sudah lah Yu. Kamu pulang kok nangis. Kamu ini sudah besar loh, bukan anak kecil lagi." Ibu tertawa kecil mengejekku.
"Budhe itu bandel loh, Mbak. Sinta sudah larang Budhe buat kerja tanam-tanam sayur dan buah di belakang kok ya tetep ngeyel, jadinya tadi kecapekan dan ngedrop lagi. Untung aja Sinta sama bapak cepat bawa Budhe ke dokter tadi, kalau tidak Budhe sudah dirawat di rumah sakit." Sinta berucap dengan nada kesal kepadaku, logat jawa kentalnya terdengar lucu di telinga ini.
"Apa sih Sin? Budhe kan cuma duduk di bangku plastik doang kok, yang kesana kesini kan kamu juga." Ibu tidak mau mengalah.
"Iya, Budhe emang cuma duduk di bangku plastik, tapi kan kepanasan di bawah terik matahari, gak mau neduh masuk rumah. Mbok yo kalau siang itu tidur manis, Budhe. Denger apa yang tadi siang dokter bilang sama Budhe, istirahat yang banyak." Sinta semakin kesal dengan sikap ibu yang tidak mau menurut terhadapnya. Dua orang beda generasi ini memang ajaib. Bahkan, aku saja yang anaknya tidak bisa menentang atau mendumel kepada ibu seperti Sinta.
"Halaaah ... kamu ini gak tahu aja Sin, kalau Budhe itu kesel cuma diem dan gak lakuin apa-apa. Coba kalau kamu nanti sudah tua seperti Budhe dan juga gak ada kegiatan, kamu pasti akan rasain gimana bosannya cuma diam di rumah. Ibu kamu sih enak, Masmu sudah punya anak bisa urus cucu di rumah."
Deg.
Ucapan ibu yang baru saja menyentil perasanku yang terdalam. Betapa hal itu yang membuat ibu mertuaku menikahkan Mas Hilman dengan gadis muda.
"Ibu mau nonton tv saja. Sana kamu buatkan minuman untuk Mbak mu." titah ibu pada Sinta yang segera dilaksanakan oleh gadis itu.
Ibu bangkit dan aku membantu ibu untuk berjalan ke luar dari kamarnya ke ruang tengah yang terdapat tv besar, kami duduk di kursi sofa yang sudah lepek.
"Kamu sama Hilman? Kok gak kasih kabar ibu?" tanya ibu padaku, mata ibu berputar ke sekeliling seperti mencari sesuatu. Aku tercekat di tenggorokan. Bingung juga akan mengatakan apa pada ibu.
"Enggak, Bu. Ayu datang sendiri. Ayu belikan Ibu Martabak Bang Kumis. Ibu mau gak? Sin, tolong martabak yang tadi bawa kesini, ya. Malam ini kalau kamu mau tidur di rumah gak apa, bawa itu martabak satu buat ibu sama bapak kamu. Mbak akan menginap disini!" Aku berteriak pada Sinta yang kemudian terdengar menjawab dengan teriakan juga dari belakang sana.
"Tadi sepi, Bu. jadi Ayu gak lama nunggunya." Aku meringis seb isa mungkin menyembunyikan rasa sedihku dari ibu.
Tak lama Sinta datang dengan nampan di tangannya, dua gelas teh hangat dan sepiring martabak yang masih panas kini terhidang di atas meja kayu di depan kami.
"Terima kasih, Sin. Itu yang satu bungkus kamu bawa pulang saja, ya." Aku mengulangi ucapanku tadi. Sinta mengangguk seraya mengucapkan terima kasih dan juga pamit untuk pulang ke rumahnya.
Ibu mengganti acara yang ada di tv dengan sinetron kesukaannya.
"Kok Hilman gak datang? Apa Hilman ke luar kota? Sudah lama ya gak datang kesini." Ibu tanpa menoleh ke arahku, masih tetap pandangannya ke arah tv yang kini masih menayangkan iklan. Tangan kurusnya mengambil satu potong martabak dari piring dan meniupnya lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Iya, Bu. Mas Hilman belum pulang dari luar kota. Ayu bosan juga diam di rumah jadi kesini." Satu kebohongan aku buat untuk menutupi keadaan diriku.
"Oh ..." Kami terdiam menonton tv bersama. Ibu yang biasanya banyak bicara saat menonton kini hanya diam sambil menikmati makanan yang aku bawa. Aku sedikit senang ibu mau makan, semenjak sakit memang napsu makan ibu berkurang banyak.
"Kamu kesini sendiri malam-malam gak ada masalah sama suami kamu, kan Yu?" pertanyaan ibu membuat aku tersentak. Apa ibu tahu dengan apa yang terjadi padaku?
Ibu lalu menolehkan kepalanya kepadaku, menatapku dengan matanya yang sayu, terlihat lelah di raut wajahnya yang tidak lagi muda.
"Enggak kok, Bu. Ayu gak ada masalah sama Mas Hilman." Kualihkan pandanganku ke arah makanan yang ada di depan kami lalu memakannya dengan cepat, mencoba menetralkan dan menenangkan degup jantung yang kini berdetak tidak karuan. Rasanya ingin menangis saja aku berbohong seperti ini pada ibu.
"Bener kamu dan Hilman gak apa-apa?" tanya ibu mendesakku. Aku menggeleng dengan cepat membuat makanan yang ada di dalam mulutku terdorong ke tenggorokan, menyakitkan sekali dan membuat nafasku sesak. Aku terbatuk dan segera menyambar teh hangat yang tadi Sinta buatkan.
Ah ... lega sekali rasanya, setelah makanan yang tersangkut itu kini meluncur turun ke bawah.
Aku menatap ibu, ibu juga masih menatapku. Tiba-tiba teringat dengan kejadian di masa lalu yang membuat ibu drop karena mendengar keluhanku. Dulu aku pernah bercerita pada ibu tentang orang lain yang mengatakan jika aku ini mungkin mandul, karena di usia pernikahan yang kelima aku belum juga mengandung. Apalagi sekarang ini, jika aku berkata kalau Mas Hilman menikah lagi, apa yang akan terjadi kemudian pada ibu? Aku takut sesuatu terjadi pada ibu seperti dulu. Hanya ibu yang aku punya kini.
"Ayu gak apa-apa, Bu. Bener deh. Ibu jangan khawatir." Aku merebahkan diri ini di pangkuan ibu. Rasanya hangat sekali. Sudah sangat lama sekali aku tidak melakukan hal ini pada ibu, tidak pernah bermanja-manja lagi dengan ibu setelah aku menikah denga Mas Hilman. Bagai kehilangan pedoman dan panutan serta tempat bersandar.
"Kalau kamu ada masalah kamu cerita sama ibu, Lah Yu. Siapa tau Ibu bisa bantu carikan solusinya." tutur Ibu dengan lembut. Aku semakin ingin menagis saja mendengar ucapan ibu ini.
"Enggak kok, Bu. Gak ada apa-apa. Ayu baik-baik saja."
Terdengar helaan nafas dari bawah hidung ibu.
"Bu, jangan abai dengan kesehatan ibu, ya." pintaku dengan ucapan yang lirih.
"Kamu juga abai dengan kesehatan kamu, Yu. Kamu gak pakai jaket, ya?" tanya Ibu. Aku hanya memeluk tangan ibu yang mengusap kepalaku lembut.
"Pakai kok, Bu. Ada di jok motor." Lagi aku berdusta.
"Oh ..."
Ya Allah. Sungguh aku berdosa karena aku berdusta pada ibuku sendiri.
Maafkan Ayu, Bu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
guntur 1609
mngkn ni yg membuat ayu jadi gamang. trs dia akan menerima Hilman. dasar ayu bodih. makin besar kepala si Hilman dan keluarganya. dan mereka akan berbuat semena2 sma kamu
2024-12-04
0
Har Tatik
Thor...u sukses buat aq nangis😭😭sy d fase pejuang garis 2 bnyk titel yg melekat SM sy salah 1 nya d katain mandul
2022-12-09
0
Nenk Ayay Ardiansyah
bener banget yu..
sakit banget rasanya kalo ada yg bilang kita mandul..
padahal mungkin blm waktunya aja kita punya anak.
2022-05-14
0