Hingga malam hari aku mengurung diriku di kamar, tidak peduli dengan Mas Hilman yang masih terdengar suaranya di luar. Panggilannya juga ku abaikan. Aku hanya duduk diam di atas kasur sambil memeluk lututku sendiri. Sungguh sangat kacau keadaanku saat ini.
"Yu, ayo kita makan! Aku sudah masak!" Suara ketukan di pintu terdengar, nada suaranya membujukku dengan lembut. Biasanya itu menjadi hal yang menyenangkan jika Mas Hilman memasak, aku juga akan disuapinya, tapi sekarang aku tidak ingin bertemu dengannya sama sekali.
"Ayu!" suara ketukan di pintu terdengar kembali, aku tetap bertahan dengan kediamanku.
"Ya sudah kalau kamu gak mau makan sekarang. Tolong keluar dan nanti kamu makan, ya. Ingat lambung kamu, Yu. Jangan sampai sakit lagi. Kalau kamu butuh apa-apa aku tidur di kamar sebelah ya." pamitnya memberi keterangan padaku. Aku masih diam, tidak lagi mendengar suaranya atau mendengar pintu diketuk lagi.
Semua yang terjadi tidak membuatku merasa lapar, apalagi aku tidak ingin melihatnya lagi.
Kuusap air mata yang kini masih menggenang. Payah! Sudah mencoba menguatkan hati, tapi ini memang tidak mudah. Air mata ini terus keluar meski hanya sedikit.
Tidak peduli dengan rasa laparku, aku membuka hpku dan menekan aplikasi biru yang menjadi lapakku kini mencari kesenangan. Beberapa hari jadwal update ku kacau, beberapa komen dan juga chat pribadi di aplikasi biru itu banyak yang masuk menanyakan dan juga meminta aku untuk publish bab baru.
Aku tersenyum setidaknya masih ada orang lain yang memberikan semangat untukku, meski yang mereka ucapkan semangat update. Anggap saja jika mereka juga menyemangatiku untuk melupakan rasa kesal dan marahku.
Setelah mencuci muka, aku kembali ke depan laptopku. Rasa hati yang marah, kecewa, dan juga tersakiti membuat aku ingin menciptakan cerita lain. Gegas aku membuat sebuah judul yang baru.
Suasana yang tenang menjadikan aku sampai lupa waktu. Kurasakan jika punggung dan tangan ini mulai pegal. Aku menoleh ke arah jam dinding, sempat tidak percaya jika sekarang ini sudah lebih dari jam satu malam. Lima jam berkutat di depan laptop.
Aku memandang tidak percaya pada angka yang tertera di salah satu sudut layar, hampir sepuluh ribu kata aku mengetik dengan tema cerita baru ini. Entah apa yang aku pikirkan hingga otak ini begitu lancar dan juga sinkron dengan jari jemari. Sampai aku lupa juga dengan cerita lama yang harusnya publish secepat mungkin.
Perut ini lapar. Sedari siang memang aku belum mkan, sarapan pun hanya sedikit, sudah mulai trasa perih. Gegas aku mencari obat hijau dengan rasa mint, makan itu sebelum makan makanan yang berat, mengurangi rasa perih yang akan terasa saat nanti perut ini diisi makanan.
Aku terpaku saat melihat Mas Hilman yang kini duduk bersandar di kursi di ruang makan. Matanya terpejam dengan mulut yang terbuka. Suara dengkuran halusnya terdengar di tengah suasana tengah malam yang sunyi.
Cetrek.
Kompor aku nyalakan. Panci aku isi dengan air lalu menyimpannya di atas kompor yang menyala. Ku ambil sebungkus mie instan kuah dari atas kulkas.
"Ayu, kamu sudah bangun?" Suara Mas Hilman terdengar saat aku memasukkan mie ke dalam air yang sudah mendidih.
Aku tidak menjawab pertanyaannya.
Suara langkah kakinya terdengar mendekat, aku sama sekali enggan untuk mengalihkan pandanganku ke arahnya.
"Yu, kenapa kamu gak makan yang aku masak? Makan mie instan gak baik loh Yu buat kamu." Mas Hilman kini telah berhenti satu langkah tepat di sampingku.
"Gak usah peduli sama aku." ucapku ketus sambil membolak-balikan lembaran mie di dalam panci. "Urus saja istri baru kamu."
"Yu, tidak bisakah kita bicara baik-baik?" Mas Hilman mencoba melangkah mendekat ke arahku. Aku menggeser tubuhku menjauh darinya.
"Ayu aku mohon, kita bisa bicara berdua."
"Menjauh, Mas. Atau aku akan siram kamu dengan air ini!" ancamku padanya, tangan ini sudah siap memegang panci yang airnya bergejolak mendidih. Mas Hilman kini diam di tempatnya.
Makananku sudah matang, segera kuambil piring dan juga sendok lalu menuangkan lembaran mie dan kuahnya dengan cepat.
"Ayu. Mas mohon, kita harus bicara," pintanya menghiba. Mas Hilman masih tetap berdiam di tempatnya.
"Oke. Aku yang bicara. Ceraikan istri baru kamu, atau cerakan aku. Pilih saja." ucapku dengan tidak peduli.
Ku tatap sosok lelaki itu, masih hanya diam dengan raut wajah terlihat bingung.
"Pembicaraan selesai!"
Aku melangkah meninggalkan Mas Hilman di dapur, tidak ku lirik sama sekali, entah dia mengikutiku atau tidak. Aku tidak peduli. Aku lapar, dan tidak mau selera makanku keburu menghilang karena pembahasan yang menyakitkan ini.
Makan dengan deraian air mata, sungguh rasanya tidak nikmat sekali, tapi perut ini mesti diisi juga. Aku tidak mau sakit dan terlihat lemah karena masalah ini.
...***...
Suara motor terdengar saat aku sedang membersihkan bagian dalam rumah. Seorang wanita paruh baya turun dari atas motor bersama dengan anak sulung lelakinya. Dengan langkah anggun berjalan mendekat ke arahku yang masih memegang kemoceng di tangan.
"Assalaamualaikum." Suara nyaring itu terdengar di ambang pintu yang terbuka.
"Waalaikum salam." Segera ku jawab lalu mempersilahkan mereka masuk. Sadar akan diri yang hanya memakai celana pendek sebatas paha aku bergegas masuk kamar setelah mereka duduk di ruang tamu, ku pakai rok setinggi betis. Setelah itu aku pergi ke dapur untuk membuatkan mereka minuman dan menyuguhkan camilan.
"Maafkan kami Yu yang datang gak kasih kabar. Ibu sekalian lewat tadi." Ibu berbicara, sedangkan anak sulungnya memilih meminum air yang aku suguhkan. Wajahnya terlihat kaku dan canggung tidak seperti biasanya yang ramah.
"Mengenai pernikahan Hilman, Ibu minta maaf. Memang ibu yang memaksa Hilman untuk menikah lagi. Kamu jangan marah sama Hilman ya," ujar ibu. Aku hanya diam, tidak ingin bicara sama sekali sebenarnya. Perlakuan ibu mertua dan keluarganya ini membuat aku malas untuk bersikap hormat lagi padanya.
"Ibu mohon Yu, kamu harus mengerti. Ibu juga ingin punya cucu dari Hilman. Kalian sudah menikah lama, tidak juga ada tanda-tanda kamu akan hamil. Ibu harap kamu mengerti kemauan Ibu dan bapak." Ibu menatapku, sedangkan Mas Gandi anak pertamanya, melengos menatap ke arah luar saat aku menatap mereka bergantian.
"Aku ini istri sahnya, Bu. Bukankah pernikahan tidak akan sah jika tidak ada izin dari istri pertama? Lalu apa ibu tidak memikirkan bagaimana perasaan aku saat ini?" tanyaku dengan nada datar dan dingin. Ibu bergerak gelisah, menunduk, dan tidak tenang dalam duduknya.
"Ibu juga memikirkan perasaan kamu, Yu, tapi kalau Hilman bicara sama kamu, apa kamu akan izinkan dia menikah lagi?" tanya ibu yang membuat luka hati ini bertambah.
"Ada satu cara Bu, kami bisa mengambil anak salah satu saudara, kan? Tidak perlu ibu menyuruh Mas Hilman untuk menikah lagi." aku membicarakan pemikiranku beberapa hari ini.
"Anak saudara bukan darah daging Hilman, Yu. Yang Ibu dan Bapak mau anak Hilman, bukan anak orang lain!" Ibu menatap dengan tajam ke arahku. Nada suaranya penuh dengan penekanan.
"Tapi dia masih sedarah dengan kalian, kan?" aku keukeuh dengan pemikiranku.
"Tetap saja yang ibu mau anak Hilman, Yu. Kamu mengerti keinginan ibu dan Bapak, dong!" Ibu membentakku dengan suara keras kali ini. Hal yang tidak pernah ibu lakukan padaku sejak dulu hingga hari ini. Mas Gandi pun sampai menoleh ke arah ibu dengan wajah yang terlihat kebingungan, sementara ibu terlihat marah menatapku.
Aku tercekat di tenggorokan. Rasanya sangat sulit sekali untuk bernafas
"Ayu juga sudah berusaha untuk berobat, Bu. Dokter bilang Ayu tidak ada masalah. Memang kami belum diberikan keturunan. Mas Hilman juga selalu sulit untuk aku aja ke dokter ...."
"Jadi kamu menuduh anak saya bermasalah begitu?" tanya ibu dengan tatapan marahnya.
"Bukan itu maksud Ayu, Bu. Ayu tidak bilang seperti itu. Ayu hanya ingin ibu bersabar sebentar lagi. Kami juga sedang berusaha ...."
"Sampai kapan?" tanya ibu dengan ketus.
"Sampai kapan kami harus menunggu?!" tanya ibu dengan penekanan di dalam kalimatnya. "Jangan egois kamu, Ayu! Kamu mau sampai kami meninggal nanti kami tidak bisa melihat keturunan Hilman? Kamu mau kami mati penasaran?" tanya ibu dengan kesal.
Aku menundukkan kepala. Aku juga tidak tahu akan hal itu. Aku tidak tahu kapan hal itu akan datang dan terjadi padaku.
Terlihat oleh sudut netraku saat lutut ibu bergerak, "Keputusan kami ternyata benar! Hilman memang seharusnya menikah lagi. Percuma bicara dengan wanita keras kepala seperti kamu yang tidak memikirkan keluarga! Ingat Ayu, kamu harusnya bersyukur, Hilman tidak mau melepas kamu yang tidak bisa memiliki anak. Siapa orang yang bisa menerima wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?"
Duaarrr ....
Perkataan ibu seperti kilat dan petir yang menyambar hatiku, padahal siang hari ini sangat cerah. Aku menatap ibu dengan tidak percaya. Teganya ibu berkata kejam seperti itu. Aku menatap ibu yang kini telah berdiri, lalu juga ikut berdiri.
"Bu, kenapa Ibu bicara seperti itu? Ayu bisa, Bu. Kalau kami berobat dengan ...."
"Ibu sudah terlalu sabar dengan kamu, Yu. Semua keputusan ini kamu tidak bisa ubah lagi. Kalau kamu tidak bersedia dengan nasib pernikahan kalian, kamu juga tahu apa yang terbaik untuk kamu!" Ibu memotong ucapanku dan menatapku dengan tajam. Kami saling bertatapan dengan penuh emosi, bak ada kilatan kemarahan di dalam mata kami masing-masing. Mas Gandi menyentuh tangan ibu dan mengusapnya.
"Sabar, Bu."
"Kita pulang, Gandi!" tanpa menunggu jawaban dari anak sulungnya itu, ibu melangkah keluar dari rumah ini. Mas Gandi pun sama kini berdiri dan merapikan bajunya.
"Maaf, Yu. Mas gak bisa melakukan apa-apa jika ibu sudah ada keinginan." Mas Gandi berkata dengan nada pelan, sorot tatapannya iba terhadapku.
Aku hanya diam, tidak mampu menjawab. Rasanya suara ini enggan ke luar hanya untuk sekedar menjawab penyesalannya. "Kami pamit dulu," ucap Mas Gandi kemudian menyusul ibu keluar dari sini.
Suara deru mobil terdengar masuk ke halaman rumah, kemudian terdengar mesin mobilnya mati. Aku masih terduduk di ruang tamu, pembicaraan dengan ibu membuat aku kini bagai patung, hanya diam dan menahan sesak di dalam dada.
"Kamu harusnya gak usah urusin istri kamu itu, Hilman! Dia istri yang tidak tahu berterimakasih. Apa Ibu salah kalau Ibu hanya ingin cucu?!"
Terdengar suara ibu yang berbicara dengan keras dan dengan nada marah ditujukan pada Mas Hilman. Hatiku sakit mendengar ibu menyebutkan aku istri yang tidak tahu berterimakasih. Apa maksudnya ibu bicara seperti itu?
"Sudah untung kamu gak ceraikan dia, tapi dia tetap saja tidak mengakui kekurangannya dan bilang kalau mungkin kamu yang bermasalah! Tidak ada yang bermasalah di keluarga kita!" Aku memejamkan mataku. Rasa perih di mata ini membuatku kembali ingin menangis.
"Akui dan terima saja kalau memang tidak bisa memberikan keturunan. Dasar wanita mandul!"
Suara Mas Hilman terdengar lirih berkata, terdengar menenangkan ibu. Pria itu hanya mengatakan jika dia akan memberikan pengertian padaku. Pengertian apa lagi?
Gegas aku berjalan ke arah pintu dan membanting pintu itu dengan keras, terserah orang mau mengatakan apa. Aku tidak peduli. Setelah itu aku berjalan ke arah kamarku. Sama, aku juga membanting pintu kamar sebagai rasa kesal dan sakit hatiku ini terhadap ucapan ibu. Siapa yang suka disebut mandul?
"Tuh lihat kamu, Man. Istri macam apa yang tidak mengantar mertuanya akan pulang dan juga menyambut kepulangan kamu? Sudah. Memang kamu pantas menikah dengan Hana!" Suara Ibu terdengar lagi, masih berbicara dengan keras dan menyebutkan nama seseorang. Kamarku memang dekat dengan garasi mobil hingga masih terdengar dengan jelas suara-suara itu.
"Sudah, toh Bu. Ayo kita pulang. Biar Hilman yang urusi soal ini. Ayu pasti akan mengerti, Bu." Itu suara Mas Gandi, suara motor kemudian terdengar menyala dan lalu lamat tidak terdengar lagi.
Aku menjatuhkan diriku di atas tempat tidur. Memeluk bantal guling yang sudah beberapa malam ini menjadi teman tidur ku. Menangis tersedu mengingat apa yang dikatakan ibu tadi. Wanita mandul. Aku menolak dikatakan seperti itu. Bahkan, dokter pun tidak mengatakan jika aku mandul, memang hanya belum diberikan rezeki oleh Yang Maha Kuasa. Apa itu salahku?
Pintu kamar diketuk dari luar, terdengar pelan dan membujuk suaranya Mas Hilman memintaku untuk keluar.
"Ayu, kita bicara sebentar bisa?" suara Mas Hilman terdengar bertanya. Pintu diketuk lagi, masih dengan pelan.
"Yu, Ayu. Kita bicara sebentar, Yu. Ayu, Sayang!"
Aku tidak mau menjawab. Rasa sakit di dalam hati ini semakin bertambah di kala mengingat pria yang memanggilku sayang ini adalah suamiku yang telah berkhianat.
"Yu!" panggilnya lagi.
"Aku gak mau bicara, Mas!" teriakku. Tangis yang sedari tadi terpendam kini pecah dan membasah di wajahku.
Suara ketukan tidak terdengar lagi. Aku menangis pilu dalam kesedihan.
Malam telah menjelang, aku keluar dari kamar untuk mandi, handuk tersampir di bahuku. Sedari siang menangis dan juga tak sadar sampai tertidur pulas. Panggilan ibu di telepon juga sama sekali tidak terdengar. Setelah bangun tadi aku kirimkan chat pada ibu akan menghubunginya setelah selesai mandi.
Wangi aroma masakan tercium di bawah hidungku. Sangat harum dan juga menggugah selera untuk orang yang tengah lapar sepertiku.
"Hana gak tau, Mas. Apa Mbak Ayu mau makan masakan Hana? Kami belum saling mengenal, dan dari cerita Mas Hilman tidak mungkin Mbak Ayu mau terima Hana dengan mudah."
Aku terdiam menatap seseorang kini sedang memasak di dapurku. Mas Hilman duduk menungguinya. Sebatang rokok tersemat di antara jarinya, mengepulkan asap tipis yang selalu tidak aku suka aromanya.
Seorang wanita dengan tubuh mungil, lincah bergerak ke kanan dan ke kiri, tangannya sedang mengaduk masakan di dalam wajan.
Ada wanita lain yang berani memakai dapurku!
"Apa Mas yakin, Hana harus tinggal disini. Nanti kalau Mbak Ayu melarang bagaimana?" tanya wanita yang menyebut dirinya sebagai Hana.
"Aku akan beri pengertian sama Ayu. Kamu ...."
"Pengertian apa lagi, Mas?!" tanyaku memotong ucapan mereka. Kedua orang itu terkejut dan serentak mengalihkan pandangannya ke arahku. Dadaku bergerak naik turun melihat kedua orang yang ada di hadapanku ini. Berani-beraninya pria ini membawa madunya ke rumah ini.
Mas Hilman langsung bangkit dari kursinya, sementara wanita itu menunduk dalam, tidak berani menatapku.
"Ayu, Mas bisa jelaskan!" Kini langkahnya cepat menghampiri, kedua tangannya terulur untuk memegang lenganku, aku segera mundur dan menahan pergerakannya, mendorong tubuhnya agar tidak lagi mendekat.
"Ayu, Mas mohon ... Dengarkan penjelasan Mas dulu."
"Tidak perlu, Mas. Kamu tega bohongin aku, kamu menikah lagi, dan sekarang kamu mau bawa dia tinggal disini?" lirihku.
"APA KAMU SUDAH GILA, MAS?" teriakku pada akhirnya. Tidak tahan lagi dengan pikirannya yang sudah di luar batas. Dia sudah melakukan beberapa kesalahan, dan sekarang ingin menambah daftar kesalahannya lagi.
"Ini permintaan ibu, Yu. Aku bisa apa?" Aku menggelengkan kepalaku. Tatapan matanya terlihat bingung dengan penuh permohonan padaku.
"Kamu bawa belati di dalam rumah tangga kita, Mas." Hatiku sakit, tentu saja, setelah dibohongi, kini dia membawa orang ketiga itu kesini.
"Kenapa kamu bawa dia kesini? Apa tidak bisa dia ditempatkan di rumah lain?"
"Aku gak bisa, Yu. Hana takut sendirian, aku gak bisa tinggalkan dia dirumah lain! Aku mohon kamu mau terima dia di rumah ini, ya ...." Bahkan, dia tahu ketakutan wanita itu.
"Kalau begitu, tinggalkan saja dia dirumah ibu, Mas! Disana banyak orang dia gak akan kesepian. Jangan biarkan dia tinggal disini!" teriakku lagi, aku ingin kembali menangis, tapi air mataku seakan enggan untuk keluar lagi.
"Rumah ibu jauh dari kantor, aku gak sanggup pulang pergi sejauh itu."
"Terserah!! Terserah kamu mau bawa dia kemana yang penting jangan di rumahku!" teriakku lagi. Aku sungguh tidak mau melihat dia ada disini.
Dengan langkah cepat aku mendekat ke arahnya, terhalang oleh meja makan aku berhenti dan menunjuk lantang kepada wanita itu.
"Kamu! Pelakor! Kamu tau kan Mas Hilman sudah punya istri? Kenapa juga kamu mau menikah dengan dia, huh?!!" perasaanku semakin emosi melihat dia yang hanya berdiri dengan gelisah. Kepalanya masih tertunduk dalam. Jari jemarinya saling meremat satu sama lain.
"Ayu, jangan keterlaluan kamu! Jaga ucapan kamu, dia itu wanita baik-baik!" Mas Hilman mendekat ke arah ku dan berbicara dengan membentakku. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini.
Ku alihkan tatapanku ke arah Mas Hilman. Dia juga sama menatapku, berbeda dengan sorot matanya tadi, kali ini sorot itu terlihat ada kilatan amarah di dalam sana.
"Wanita baik mana yang menikah dengan pria beristri? Wanita mana yang menyodorkan dirinya untuk disebut pelakor, dan menjadi orang ketiga?! Mengganggu kedamaian rumah tangga orang lain?!"
Tangan besar itu seketika naik hingga sejajar dengan telinganya. Telapak tangannya jelas terlihat melebar dan siap untuk melayang, aku menantang Mas Hilman dengan tatapanku. Tak ada sedikitpun rasa takut akan dirinya
Air mataku kembali mengalir, menetes dengan deras. Sikapnya jelas sudah berubah.
Dia hanya terdiam, tangannya hanya menggantung tanpa dia gerakkan lagi, padahal pipi ini sudah siap jika tamparan itu akan mengenainya. Bagus malah, itu bisa aku jadikan laporan KDRT untuk pengadilan nanti.
Tangan besar itu perlahan turun, tubuhnya yang tegap kini melemah di hadapanku. Wajah yang marah seketika berubah menjadi sendu.
"Maaf, Yu. Mas khilaf." Satu lelehan air bening mengalir melewati pipinya. Pundak Mas Hilman kini tidak tegak lagi.
"Ayu gak tahan, Mas. Silahkan kalau Mas mau melanjutkannya. Ayu mundur saja." Berat, sakit, perih, saat aku mengatakan hal itu. Aku tidak bisa melanjutkan rasa sakit ini dengan dia.
Gegas aku melangkahkan kaki ini ke arah kamarku, mengambil koper yang ada di samping lemari dan kemudian mengeluarkan beberapa pakaianku dari lemari. Tanpa merapikannya aku memasukan baju-bajuku. Gantungan baju aku lempar sembarangan, rasanya aku tidak sabar untuk pergi dari rumah ini.
"Ayu kamu mau kemana?" tanya Mas Hilman kini ada di sampingku. Dia merebut pakaian yang sedang aku masukkan ke dalam koper dan juga melemparnya sembarangan ke lantai.
"Aku mau pulang!" Aku tidak peduli dengan dia yang terus saja mengeluarkan kembali bajuku dari sana. Aku mengambillnya dan memasukkan baju lain.
"Gak boleh. Kamu gak boleh pergi dari rumah ini. Aku bagaimana kalau gak ada kamu, Yu?" tanya mas Hilman dengan memohon.
Ku tatap dirinya yang kini wajahnya memelas.
"Kamu lupa kalau kamu ada istri yang lain? Dia bisa mengurus kamu. Kamu sudah gak perlu aku lagi, Mas." Teriakku tidak tahan. Aku mengambil, dompet, hp, dan kunci motor yang ada di atas nakas lalu pergi tanpa membawa koperku. Dengan langkah yang cepat aku pergi ke luar dan mengambil motor di garasi. Helm ku pakai tanpa aku kunci talinya dengan benar. Ingin segera pergi dari sini secepat mungkin.
"Ayu, tunggu Ayu. Jangan pergi. Ayu!" Suara teriakan Mas Hilman terdengar saat aku sedang membukakan pintu pagar. Aku hanya menolehkan kepalaku sekilas, meihat dia yang berlari, di belakangnya terlihat wanita itu sedang menatap ke arahku. Segera aku melajukan motorku ke luar dari sana dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli dengan rasa dingin yang kini menerpa kulitku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
guntur 1609
bodoh kau yu. polisi kan saja
2024-12-04
0
guntur 1609
ya pasti Hilman nya yg mandul
2024-12-04
0
Farrel Mahardika
kok gw bacanya juga ikutan emosi kayak ayu yah,jadi pengen ketok kepalanya hilman...
2022-11-15
0