Dadaku terasa panas dan juga sakit melihat gambar itu. Gegas aku menelepon seseorang yang mengirimkan gambar ini kepadaku. Hati ini masih saja tidak percaya dengan apa yang aku lihat disini.
"Halo, Ta. Kamu yakin kalau itu memang dia?" tanyaku setelah terdengar suara dari sana. Suaraku tercekat dan terasa bergetar.
"Kamu sudah yakin kalau ini memang Mas Hilman? Jangan bercanda kamu, Ta!" tanyaku lagi. Rasanya berharap kalau ini hanya lelucon Tata saja. Tata adalah salah satu temanku.
"Benar, Yu. Itu status whatapp-nya Ardian. Maaf, Yu. Aku juga kaget saat tadi melihat statusnya dia. Untung aja sempat aku SS, gak lama setelah itu status itu sudah gak ada lagi, Yu." Nada suara Tata terdengar penuh dengan kesungguhan. Tata menyebut nama Ardian, dia adalah sepupu Mas Hilman. Tata berteman lewat aplikasi hijau itu dengan Ardian karena ternyata mereka pernah dekat di masa lalu.
Ingin tidak percaya tapi hati ini terlanjur sakit, apalagi mendengar nama Ardian disebutkan. Memang dia adalah sepupu Mas Hilman yang paling dekat.
"Yu! Ayu?!" Suara Tata terdengar melemah karena aku menjauhkan hpku dari telinga. Air mata ini terus saja mengalir mendengar dan juga melihat kenyataan pahit ini.
Panggilan Tata tidak aku hiraukan lagi, segera aku mematikan panggilan itu tanpa pamit. Dengan tangan yang bergetar, ku cari status WA dari Ardian, atau dari keluarga Mas Hilman yang lainnya. Tidak ada! Tidak ada foto yang semacam itu.
Ku cari nomor Mas Hilman dan segera aku hubungi dia. Tidak ada jawaban. Nomor Mas Hilman aktif sekitar satu jam yang lalu, itu tidak lama setelah dia mengirimkan pesan padaku. Bodohnya aku. Kenapa aku tidak langsung telepon padanya tadi.
Aku juga menghubungi nomor Ardian, kebetulan nomor itu sedang aktif. Berkali-kali mendengar nada tunggu, sampai hati ini rasanya tidak sabar. Ardian juga tidak mengindahkan panggilanku, bahkan setelah itu nomornya tidak aktif lagi.
Nomor yang lain juga sama, tidak ada yang menjawab. Namun, pada saat aku melakukan panggilan pada ibu mertuaku, akhirnya panggilan itu dijawab.
"Kamu ngomong apa sih, Yu. Jangan ngada-ngada kamu!" Ibu membentak saat aku bertanya tentang kebenaran foto itu.
"Tadi Ayu dapat kiriman foto saat Mas Hilman dengan wanita, Bu. Apa benar Mas Hilman menikah lagi?" Aku berseru. Aku yakin tidak salah melihat dengan gambar itu.
"Halaah, kamu ini Yu. Sudah. Ibu sedang sibuk disini!"
Tuut ...
Panggilan terputus. Aku terduduk lemas menyandarkan punggung ku di kursi. Rasa di dalam dada begitu membuncah karena marah dan juga sangat sakit. Ku padangi foto yang ada di layar hp. Meski aku ingin menolak jika itu bukan Mas Hilman tapi tulisan yang ada di layar atas hpku jelas tertulis dengan nama Ardian, dan juga dari ucapan Ibu tadi, Ibu bilang sedang sibuk. Apa yang ibu lakukan sampai Ibu bilang sedang sibuk seperti itu? Ibu bukan orang yang suka menyibukkan diri dengan pekerjaan.
Sambil menyeka air mata di wajahku, aku bergegas pergi ke kamarku, mengganti celana panjang dan juga memakai jaket tebal. Aku harus bertemu dengan Mas Hilman meski aku tidak tahu ada dimana dia.
Dengan langkah cepat aku keluar mengambil motor di garasi, tak lupa semua pintu dan jendela aku kunci. Aku harus bertemu dengan Ibu untuk menanyakan keberadaan Mas Hilman.
Hampir dua jam aku berkendara ke rumah orang tua Mas Hilman. Tidak ku hiraukan kecepatan yang kini di atas rata-rata. Aku hanya ingin segera sampai di sana. Beberapa kendaraan aku salip, tidak peduli mereka membunyikan klakson atau bahkan mengumpati diriku yang mengambil jalannya begitu saja.
Sampai di rumah orang tua Mas Hilman. Suasana di sana sepi, tidak seperti biasanya. Pintu yang biasanya terbuka kini tertutup, begitu juga dengan jendela.
"Bu. Ini Ayu, Bu!" Aku mengetuk pintu, beberapa kali tidak ada sahutan dari dalam membuat semakin gundah hati ini.
Kemana gerangan mereka semua?
"Bu, Pak!" Kali ini aku memanggil semua orang yang ada di rumah ini. Tidak hanya di pintu depan, aku juga berlari ke arah belakang rumah. Di sana biasanya ibu dan Yana, menantunya dari anak pertama suka berbincang, Disini pun sepi, tidak ada orang sama sekali. Aku kembali ke teras depan.
"Loh, Mbak Ayu disini?" Seorang tetangga datang saat aku kembali mengetuk pintu rumah ini. Sudah sepuluh menit tapi masih tidak ada yang membukakan pintu untukku.
"Ini pada kemana, ya Bu?" tanyaku pada Bu Sri, tetangga ibu, rumahnya tepat ada di samping. "Kok pada gak ada orangnya?" Jujur saja aku mulai takut.
Bu Sri terlihat kebingungan. Keningnya terlihat mengkerut dengan alis yang hampir menyatu.
"Loh, emang Mbak Ayu gak tahu? Kan Bu Widia sekeluarga sedang ada acara nikahan di kota sebelah." tutur Bu Sri.
Deg ....
Ya Allah. Pernikahan siapa?
"Pe-Pernikahan siapa, Bu?" tanyaku pada Bu Sri.
"Loh, Mbak Ayu serius gak tau? Jadi Mas Hilman menikah lagi gak bilang sama Mbak Ayu?" tanya Bu Sri yang kini menatap iba padaku.
Blammm ....
Rasanya ada sebuah gada yang kini dipukulkan ke dadaku dengan keras. Kakiku gemetar, lututku melemas, nyawa seakan tercabut dari raga ini. Aku terduduk di lantai dengan tangan memegang pilar. Mata ini tak mampu berkedip, hanya saja air mata terus bercucuran tanpa bisa aku tahan lagi.
Jadi foto itu benar adanya?
Bu Sri berlari ke arahku, mengguncang tubuh ini. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara apapun yang terdengar dari sana. Telinga dan mataku seakan kini tertutup.
Pernikahan ....
Tega kamu, Mas ....
"Mbak Ayu! Mbak eling, Mbak. Istighfar!" Lamat suara Bu Sri terdengar lagi oleh telingaku. Aku menoleh padanya, Bu Sri menatapku dengan penuh kekhawatiran.
"Yang sabar ya, Nduk." Tangannya yang gempal mengurut punggungku lembut. Justru membuat aku semakin rapuh. Ku tubrukkan diri ini ke tubuh berisi Bu Sri dan menangis dengan memeluknya erat.
Kini aku berada di rumah Bu Sri. Bu Sri tidak tega melihat keadaanku yang syok berat. Hingga sore begini Ibu dan yang lainya belum juga pulang. Bu Sri setia menemaniku.
Entah berapa puluh panggilan aku mencoba menelepon Mas Hilman. Begitu juga dengan pesan, tidak peduli dengan jariku yang sudah pegal. Pesan yang aku kirimkan masih saja centang satu, belum berubah biru.
Tidak hanya ada Mas Hilman, aku juga masih berusaha untuk menghubungi yang lainnya. Jika aku tahu dimana mereka, sekarang juga aku akan menyusul dan menghancurkan kebahagiaan mereka!
Seperti yang sudah direncanakan, tidak ada seorang pun yang mengangkat atau membalas telepon dariku. Aku hanya bisa menahan sesak di dada ini sendirian.
Hari sudah menjelang malam, tidak ada tanda-tanda siapapun akan pulang ke rumah itu. Beberapa kali ada mobil yang lewat berharap jika itu mobil yang membawa keluarga besar Mas Hilman, tapi ternyata bukan.
"Saya pamit saja, Bu. Terima kasih saya sudah diizinkan menunggu disini." Aku mengambil tasku dan memasukkan hp ke dalam sana.
"Loh, gak nginep aja disini. Rumah Mbak Ayu kan jauh." Bu Sri melarang.
"Gak apa-apa, Bu. Ayu pulang aja. Gak enak kalau nginep disini." Aku bergegas bangkit, Bu Sri menatapku dan ikut berdiri.
"Oh, sebentar Mbak Ayu, diantarkan saja ya pulangnya sama bapak sama Arman. Ibu takut terjadi apa-apa sama Mbak Ayu di jalan." Bu Sri mengusulkan.
"Tidak usah, Bu, Terima kasih. Ayu pulang sendiri saja." Aku menolak usulan Bu Sri, sudah merepotkan selama disini, tidak mau merepotkan keluarganya yang lain.
"Sudah toh, Mbak Ayu. Jangan sungkan seperti itu. Pak! Bapak!" Bu Sri berteriak memanggil Pak Hendra, tak lama yang dipanggil datang.
"Ada apa, Bu?" Pak Hendra datang dari ruangan lain.
"Ini, Pak. Mbak Ayu mau pulang. Bapak antarkan Mbak Ayu sama si Arman ya." Bu Sri meminta pada suaminya.
"Jangan, Bu. Tidak enak dilihat yang lain." Aku tetap menolak. Bagaimanapun juga mereka adalah orang lain, tidak enak juga jika dilihat orang lain lalu ada yang melapor pada mertuaku.
"Sudah lah, Mbak Ayu. Pikiran Mbak Ayu ini lagi kalut. Jangan sungkan pada kami. Biar diantar saja. Ibu takut Mbak Ayu melamun di jalan."
Aku bingung, menerima atau menolak sama-sama tidak baik juga.
"Begini saja deh kalau Mbak Ayu sungkan. Saya sama Arman ngikutin motor Mbak Ayu dari belakang sampai ke rumah, ya?" tawar Pak Hendra.
Jika dipikir itu lebih baik. Akhirnya aku setuju.
Dengan kecepatan yang sedang aku, diikuti Pak Hendra di belakang, akhirnya kami pergi. Beberapa kali Arman menekan klaksonnya, entah sepertinya aku sempat melamun hingga saat mendengar suara klakson motor Arman aku tersadar.
"Mbak. Hati-hati, Mbak. Jangan melamun!!" Pak Hendra berteriak dari belakang tubuh putra sulungnya yang sedang mengemudikan motor.
Perjalanan pulang membutuhkan waktu yang lumayan lama. Hingga akhirnya kami sampai di rumah lebih dari jam sembilan malam.
"Kami pulang dulu, ya Mbak." Pak Hendra dan Arman pamit tanpa masuk ke rumahku. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih banyak pada mereka berdua atas bantuannya.
...***...
Tiga hari sudah berlalu, tapi Mas Hilman belum juga ada kabar. Bahkan pesan yang aku kirimkan juga masih saja centang satu dan belum berubah warna. Mas Hilman juga terakhir online saat dia mengabarkan bahwa dirinya sedang istirahat di rest area.
Beberapa kali aku pergi ke rumah ibu mertuaku, tapi masih tetap tidak ada orang. Seakan mereka sepakat untuk menghindar dariku.
Hati ini semakin gundah, semakin gelisah. Rasa sakit atas penghianatan suamiku membuat aku lelah hanya menangis, dan menangis. Sudah tiga hari pula aku tidak menyentuh laptopku.
Sadar akan diri yang akan terpuruk jika terus melakukan hal konyol ini, lebih baik aku melupakannya dengan aktifitasku yang lain. Mungkin jika aku kembali mengetik aku akan melupakan rasa yang menyakitkan ini. Setidaknya, aku tidak akan terlalu memikirkan masalahku meski aku juga tidak yakin akan hal itu.
...***...
Pintu diketuk dari luar. Gegas aku berjalan menuju pintu. Ku putar kunci, tapi tak lantas langsung membuka pintu itu untuknya. Siapa lagi yang akan datang ke rumah ini? Ya, Mas Hilman telah pulang. Pulang dari acara pentingnya.
"Assalamualaikum, Yu." Senyumnya lebar terlihat sumringah saat aku membuka pintu ini lebar-lebar.
"Waalaikum salam." Meski dalam hati ini aku marah, salam tetap wajib untuk dijawab. Aku mengutuk sikapnya yang dengan tega menduakan aku.
"Yu, kamu kok gak sambut aku?" tanya Mas Hilman yang kini mengikuti langkah ku. Mungkin bingung karena biasanya aku menunggu dia pulang bekerja dan lalu memeluknya setelah membuka pintu.
"Buat apa aku sambut kamu. Dasar pembohong!" ucapku tanpa berhenti atau sekedar menoleh padanya.
"Apa maksud kamu, Yu?" Mas Hilman tidak terima, tanganku dipegangnya dan ditarik hingga aku berhenti melangkahkan kakiku. Diputarkannya tubuh ini menghadap ke arahnya.
"Kamu ini kenapa, Yu? Tidak biasanya kamu tidak menyambut kepulangan aku?" protesnya, tapi aku tidak peduli. Aku menarik tanganku kasar. Terlalu sakit hati ini saat melihat foto itu. Apalagi kini orang yang ada di poto itu berlagak tidak tahu dan juga tidak mengerti.
"Jangan pura-pura kamu, Mas? Kamu kenapa bohong sama aku? Kamu kenapa nipu aku, Hahh?!!" Aku menjerit tepat di depan wajahnya, tidak tahan dengan rasa hati ini. Hal yang sama sekali tidak pernah aku lakukan selama ini pada sosok suami yang sayangnya kini penghianat di dalam hidupku.
"Bohong apa? Apa yang kamu maksud aku gak ngerti?" Mas Hilman masih berkilah. Dia benar-benar tidak mau mengaku? Sungguh keterlaluan suamiku ini!
Aku pergi meninggalkan Mas Hilman untuk mengambil hpku yang ada di meja dapur, lalu dengan cepat kembali ke tempat Mas Hilman berdiri tadi. Dada ini rasanya mau meledak dengan ketidakjujuran pria ini. Hanya bisa kembang kempis dengan amarah yang hampir meledak.
Dengan gerakan cepat aku mencari gambar yang beberapa hari terakhir ini sangat mengacaukan dan menghancurkan hatiku.
Mas Hilman terkejut dan terdiam saat aku menunjukkan gambar itu di depan matanya.
"Ini. Bisa kamu jelaskan?" tanyaku dengan nada geram. Mataku sudah panas, tapi tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.
"Kamu ... darimana kamu dapatkan gambar ini?" Mas Hilman meraih hp di tanganku. "Ini ... Ini buk ...."
"Kamu mau bilang itu bukan kamu, Mas?!" teriakku padanya saat dia belum selesai bicara. Mas Hilman hanya terdiam tidak menjawab.
"Apa mungkin ada yang wajahnya mirip sama kamu, terus dia meminjam jam tangan kamu saat dia akad nikah? Kamu mau bilang begitu?!" teriakku lagi.
Mas Hilman kini benar-benar diam menerima teriakanku yang lantang. Air mataku kini kembali mengucur. Aku kira aku akan kuat berhadapan dengannya untuk waktu seperti ini, tapi tidak aku sangka jika aku tidak sekuat itu.
"Maaf." Mas Hilman berkata dengan lirih. Pandangannya ia alihkan ke samping, menghindari tatapan dariku.
"Aku terpaksa, Yu. Ibu sangat ingin cucu, dan aku tidak bisa menolak permintaan ibu kali ini." Perkataan itu membuat aku kini meluruhkan tubuhku pada dinding, hingga merosot ke lantai. Sungguh aku tidak kuat lagi menahan diri ini. Aku tidak sekuat yang aku bayangkan kemarin.
Mas Hilman perlahan berjongkok, kedua lututnya berada di lantai. Entah apa lagi yang dia lakukan, aku menelungkupkan kepalaku di atas lutut.
"Maaf, Ayu. Aku tidak tahu harus bicara apa sama kamu, kamu pasti akan menolak permintaan ibu ini kan?"
"IYA!! Tentu aku akan menolak, Mas!" Aku berteriak seraya mengangkat kepalaku, menatapnya dengan tajam.
"Kamu kira siapa orang yang rela dimadu? Siapa yang suka jika dirinya diduakan? Siapa orang yang mau itu Mas? Dan parahnya kamu bohong sama aku dengan alasan pekerjaan di luar kota?" Aku berteriak lagi. Ku rasakan bibir ini bergetar karena emosi yang sangat besar terhadapnya.
"Maafkan aku, Ayu. Aku minta maaf. Aku terpaksa menikah dengannya. Aku mohon kamu mengerti posisi aku, Yu. Ibu dan bapak ingin punya cucu dari aku. Ibu bilang aku harus menceraikan kamu. Aku gak mau, Yu. Aku gak mau pisah dari kamu."
Aku tidak menjawab perkataannya. Hanya bisa menangis sambil memukuli dada ini yang terasa sesak. Begitu teganya ibu padaku.
"Ini juga bukan mauku, Mas. Aku juga tidak mau seperti ini. Aku juga mau punya anak. Huu....."
Pernyataan Mas Hilman membuat luka hati ini menganga semakin lebar. Aku menangis tersedu, Mas Hilman mengambil bahuku dan meraihku ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat seperti biasanya menenangkan hatiku, tapi kini sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik.
"Aku mohon, Yu. Ini juga tidak mudah untuk aku. Aku mohon kamu mau menerima dia. Jangan anggap dia sebagai madumu. Anggap lah dia sebagai adikmu."
Aku menghentikan tangisku mendengar ucapannya barusan. Ku tegakkan kepala ini dan menatapnya dengan tajam.
"Apa kamu bilang, Mas? Terima dia sebagai adikku? kamu gila!" cercaku lalu mendorong tubuhnya hingga terjengkang ke belakang.
Aku berdiri dan menunjuk lantang padanya.
"Satu kesalahan, kamu berbohong sama aku tentang perjalanan kerja kamu. Kesalahan kedua, kamu menyembunyikan pernikahan kamu. Dan kesalahan ketiga, kamu menyuruhku untuk menganggap dia adikku? Kamu gila, Mas!" ucapku dengan nada yang dingin. Mas Hilman menatapku dengan sorot penuh penyesalan.
Aku menggelengkan kepalaku, tidak sanggup lagi mengatakan hal apapun terhadapnya kini. Rasa di dalam dada semakin bergejolak dengan amarah. Kutinggalkan Mas Hilman yang masih terdiam di tempatnya, gegas aku berjalan cepat ke dalam kamar.
"Ayu!" teriak Mas Hilman dari belakang. Aku mempercepat langkahku untuk masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.
Suara pintu terdengar digedor dari luar, aku tidak peduli dengan teriakan Mas Hilman yang memanggil namaku dan memintaku membukakan pintu untuknya.
Aku menutup telingaku. Berharap tidak lagi mendengar suara teriakan itu.
"Aaaarggghhhhh!!!!" Hanya berteriak yang bisa aku lakukan untuk mengeluarkan rasa sesak di dalam dada ini.
Jangan lupa dukungannya ya 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
guntur 1609
enak kali kau ngomongnya bodat
2024-12-04
0
guntur 1609
tuntut kepolisi
2024-12-04
0
Ari Peny
nyeseeeeek dd aq 😭😭😭😭
2022-12-28
0